Ajaran Kepemimpinan

Ajaran Kepemimpinan

:

Bagaimanakah sejarah Suku Jawa di Indonesia? Indonesia ialah negara nan mempunyai keragaman suku bangsa paling banyak di seluruh dunia. Salah satu suku bangsa nan tinggal di Indonesia ialah Suku Jawa. Suku ini boleh dibilang paling banyak dan mendominasi di Indonesia.

Suku Jawa ialah masyarakat daerah nan tinggal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Madura tak termasuk dalam suku Jawa, meskipun berada di Jawa Timur. Penduduk orisinil di Jawa Barat bukan termasuk Suku Jawa, sebab mereka lebih suka menyebut dirinya Suku Sunda–tatar Sunda.

Sejarah Suku Jawa tinggal dan menetap di Pulau Jawa ini telah tertulis dalam sejarah nan berusia panjang. Berdasarkan banyak kitab hikayat, asal mula Suku Jawa diawali dari munculnya seorang ksatria pandita nan bernama Ajisaka ke Pulau Jawa. Ajisaka datang dan memunculkan satu syair nan kemudian menjadi dasar dari abjad huruf Jawa hingga saat ini. Huruf itu dinamakan ho no co ro ko.

Kedatangan Ajisaka ke tanah Jawa inilah nan kemudian menjadi penentu awal kalender Saka. Penentuan kalender ini ialah kreasi seorang raja di Kerajaan Mataram , yaitu Sultan Agung setelah sekian abad peristiwa kedatangan Ajisaka di tanah Jawa.

Selain berdasarkan hal tersebut, definisi Suku Jawa ialah mereka nan menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi, meskipun tak secara langsung berasal dari Pulau Jawa. Secara garis besar, ada dua jenis bahasa Jawa nan digunakan oleh masyarakat Suku Jawa, yaitu sebagai berikut.

  1. Bahasa Jawa Ngoko, ialah bahasa Jawa nan digunakan oleh orang nan sudah akrab. Seumuran, atau orang lain nan status sosialnya lebih rendah.
  2. Bahasa Jawa Krama, ialah bahasa Jawa nan digunakan buat orang nan baru kenal dan belum akrab. Dari orang muda buat orang tua, atau buat orang nan status sosialnya lebih tinggi.

Pada bahasa Kromo , sebenarnya masih dibagi menjadi Kromo Madyo dan Kromo Inggil. Di mana, Kromo Madya digunakan sebagai bahasa pergaulan nan lebih sopan daripada bahasa Ngoko. Kromo Inggil digunakan buat orang nan lebih tua dan memiliki jabatan atau status sosial nan jauh lebih tinggi dibandingkan nan berbicara.



Penggolongan Sosial Suku Jawa

Dalam kebudayaan masyarakat Jawa, terdapat penggolongan sosial nan pernah dilakukan oleh seorang antropolog dari Amerika Perkumpulan bernama Clifford Geertz. Antropolog ini membagi Suku Jawa dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut.



Kaum Santri

Golongan ini ialah mereka nan memeluk agama Islam dan menganutnya sebagai jalan hayati nan mereka pilih.



Kaum Abangan

Golongan ini masih berpegang pada adat istiadat Jawa , meski mereka memeluk berbagai macam agama. Golongan ini lebih dikenal sebagai kaum kejawen. Hal inilah nan secara generik menimbulkan istilah Islam Kejawen, Kristen Kejawen, dan sebagainya. Beberapa tokoh priyayi masuk dalam golongan ini.



Kaum Priyayi

golongan ini ialah mereka nan bekerja sebagai pegawai atau para cendekiawan . Pada umumnya, mereka bekerja di pemerintahan atau pihak partikelir dengan status sosial nan lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan.

Penggolongan bahasa seperti nan telah kita kupas sebelumnya, digunakan buat melakukan komunikasi dengan masing-masing golongan sosial. Hal itu merupakan teknik komunikasi tersendiri sebagai bentuk penghormatan kepada orang nan lebih tua, dituakan, pejabat, atau orang nan lebih muda dan sebagainya.



Pandangan Hidup, Watak, dan Kepercayaan

Dalam sejarah Suku Jawa, telah diatur hingga kini mengenai interaksi sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan nan digunakan ialah bilateral. Interaksi ini berasal dari kedua orang tua, ayah dan ibu. Sistem ini berbeda dengan sistem nan ada di suku bangsa lainnya nan hanya mempunyai satu garis saja.

Masyarakat Suku Jawa juga mempunyai falsafah etos nan mereka percayai hingga saat ini. Suku Jawa sangat meyakini adanya kesatuan hayati nan harus dipelihara secara harmonis. Manusia itu satu kesatuan dengan alam semesta.

Hal ini membuat masyarakat Jawa konfiden bahwa hayati manusia ialah sebuah pengembaraan jiwa nan penuh dengan pengalaman nan religius. Suku Jawa mempunyai pandangan mengenai adanya dua jenis alam, yaitu sebagai berikut.

  1. Jagad gede – Bawana Agung – Makrokosmos ialah alam semesta jagad raya nan sifatnya penuh rahasia dan supranatural.
  2. Jagad cilik – Bawana Alit – Mikrokosmos ialah alam semesta kecil nan ada pada diri manusia secara pribadi.

Tujuan dari setiap manusia Jawa ialah menciptakan interaksi nan serasi di antara keduanya. Sehingga, terjadi ekuilibrium alam makrokosmos dan mikrokosmos. Saat kedua hal ini dapat selaras dan harmonis, maka cipta, rasa, dan karsa menjadi seimbang harmonis.

Dan akhirnya, terbentuklah ketenteraman hati dan pikiran. Situasi hati dan pikiran nan gelisah, galau, dan penuh masalah, sebenarnya ialah sebab adanya ketidakseimbangan di antara kedua hal tersebut.

Masyarakat Suku Jawa juga mempunyai karakter nan khas. Tabiat khasnya ialah penuh tata krama, berbudi pekerti halus, ulet mengerjakan sesuatu, dan cenderung tertutup, serta tak berterus terang.

Tentang tabiat nan cenderung tertutup dan tak berterus terang ini ialah tabiat nan paling terkenal pada Suku Jawa. Hal ini mereka lakukan sebab masyarakat Suku Jawa tak menyukai konflik dan ingin selalu membina interaksi nan harmonis.



Ajaran Kepemimpinan

Dalam kitab, babad, dan serat sejarah Suku Jawa ada banyak pelajaran kepemimpinan nan tersirat. Salah satu pola ajaran kepemimpinan nan tampaknya masih digunakan dan diterapkan oleh para pemimpin di era sekarang ialah pola kepemimpinan dari Patih Gajah Mada.

Patih Gajah Mada terkenal dengan pola kepemimpinan dan sumpahnya nan terkenal, yaitu Sumpah Palapa. Hal inilah nan menjadi semangat tersendiri bagi para pemimpin era sekarang.

Secara garis besar, kepemimpinan ala Gajah Mada bisa dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu sebagai berikut.

1. Dimensi spiritual , nan mengandung tiga prinsip, yaitu:

  1. wijaya – tenang, sabar, dan bijaksana;
  2. masihi samasta buwana – mencintai alam semesta; serta
  3. prasaja – hayati sederhana.

2. Dimensi moral, mempunyai enam prinsip, yaitu:

  1. mantriwira – berani membela dan menegakkan kebenaran serta keadilan;
  2. sarjawa upasama – rendah hati;
  3. tan satrsna – tak pilih kasih;
  4. sumantri – tegas, jujur, bersih, dan berwibawa;
  5. sih samasta bhuwana – dicintai dan mencintai seluruh lapisan rakyat; serta
  6. nagara gineng pratijna – mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga.

3. Dimensi manajerial, mempunyai sembilan prinsip yaitu:

  1. natangguan – mendapat dan menjaga kepercayaan dari masyarakat;
  2. satya bhakti prabu – loyal dan setia kepada nusa dan bangsa;
  3. wagmiwag – pandai bicara dengan sopan;
  4. wicaksaneng naya – pandai diplomasi, strategi, dan siasat;
  5. dhirotsaha – rajin dan tekun bekerja dan mengabdi buat kepentingan umum;
  6. dibyacitta – lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain;
  7. nayaken musuh – menguasai musuh dari dalam dan dari luar;
  8. ambeg paramarta – pandai menentukan prioritas nan penting; serta
  9. waspada purwartha – selalu waspada dan introspeksi buat melakukan pemugaran diri.

Hal-hal inilah nan menjadi dasar bagi Gajah Mada. Dan, hal inilah nan juga merupakan beberapa bagian ilmu kepemimpinan nan disimpan dalam sejarah Suku Jawa, sebagai ilmu-ilmu misteri hingga saat ini.

Belajar dan memahami Suku Jawa ialah salah satu hal nan mampu menambah wawasan nusantara. Dengan memahami pola pikir, pola sikap, dan tindakan dari masyarakat nan bhineka suku bangsa, kita harapkan akan tumbuh satu pengertian dan pemahaman.

Perbedaan bukanlah hal nan kemudian digunakan buat bibit permusuhan. Disparitas ialah sebuah kekayaan, dan sebuah afeksi Tuhan buat kita masyarakat Indonesia.

Tuhan telah menciptakan keberagaman ini agar manusia dapat saling mengenal dan saling belajar, agar manusia dapat hayati rukun berdampingan menciptakan perdamaian abadi di muka bumi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat buat kita semua.