Si Penyendiri nan Genius, Berjuang Melawan Penyakit

Si Penyendiri nan Genius, Berjuang Melawan Penyakit

Satu babak kehidupan akan menjadi satu kisah nan sangat dramatis dan akan selalu dikenang sebagai satu perlawanan terhadap nasib dan perjuangan terhada hidup. Siapapun orangtnya ketika perlawanan itu terus dilakukan dengan ketabahan dan tanpa keluhan, perlawanan itu akan menjadi satu inspirasi nan sangat kuat. Seolah tidak perlu kata-kata nan menerangkan kekuatan perlawanan terhadap apa nan harus dihadapi. Dalam biografi Beethoven , dijelaskan bagaimana sang jenius ini melawan keterbatasannya. Banyak orang terharu betapa ia tidak menyerah dengan keadaannya. Ia tidak berhenti dengan segala keterbatasan nan menyerangnya. Ia terus saja maju dan menggunakan perasaannya nan sangat tajam sehingga global tahu kalau ia ada dan tak wafat dalam agresi keterbatasan nan melandanya.



Tak Ada Pendengaran, Insting pun Ada

Bagi musisi, alat pendengaran merupakan hal nan paling penting. Bagaimana mau menciptakan nada jika tak dapat mendengar. Bagaimana akan tahu kalau satu anda dnegan nada lainnya mempunyai suara dengan harmoni nan latif kalau tak mendengar? Tapi tampaknya teori ini tak berlaku pada Ludwig van Beethoven. Meskipun ia tak dapat mendengar, ia terus menciptakan musik. Kisah ketulian nan dialaminya menjadi satu kisah nan menjadi satu titik balik kehidupan karir bermusik dan kisah kehidupan selanjutnya sang maestro musik. Kisah perlawanannya terhadap apa nan telah menyerang gendang telinganya ini menjadi bagian dari biografi Beethoven nan terpisahkan. Bahkan mungkin kisah perlawanan terhadap keterbatasan ini menjadi pusat galaksi dari biografi itu sendiri.

Pada zamannya, banyak orang nan menganggap karya Beethoven sulit dimengerti. Apalagi setelah Beethoven tak dapat mendengar total. Tapi menanggapi itu semua, Beethoven berkata, "Ciptaan ini bukan untukmu, tapi generasi sesudahmu”. Orang pada masa itu mengharapkan musik nan sarat dengan kisah. Mungkin seperti lirik lagu Adele nan banyak sekali seperti bergumam dan bertutur tentang kisah hayati nan dihadirkan dalam ‘percakapan imajiner’ dalam sebuah lagu. Namun, nan terjadi pada musik Beethoven ialah satu harmonisasi nan begitu membingungkan. Orang merasa bahwa musiknya menjadi aneh dan tidak nikmat lagi didengarkan.

Kata-kata pembelaan Beethoven terhadap karyanya itu bukan sesuatu nan mudah baginya. Mungkin saja dalam hatinya, sang maestro nan pernah begitu putus harapan dengan keadaannya tersebut membenarkan pendapat orang lain terhadap karyanya. Tetapi ia tak mau menyakiti dirinya sendiri. Ia tidak mau semua karyanya menjadi sia-sia. Semua pencipta, dalam bidang apapun, selalu berharap bahwa setiap karyanya akan didengar, dibaca, dinikmati, dan bahkan memberikan sesuatu kepada pembaca atau orang-orang nan bersentuhan dengan karya itu.

Kata-kata pembelaan itu mungkin saja sebagai kata-kata menghibur diri sendiri. Pada setiap masa, kesenangan dan kesamaan orang terhadap satu jenis musik itu akan berbeda sinkron dengan keadaan dan pengaruh nan didapatkan mereka pada saat itu. Beethoven sahih ketika mengatakan bahwa karya bukan buat generasinya melainkan buat generasi nan akan datang. Sama seperti jenis musik melayu. Dahulu jenis musik ini ialah primadona. Kini nan menjadi primadona ialah jenis musik dan lagu nan dipengaruhi oleh K-Pop. Pergantian selera ini lumrah saja.

Keoptimisan Beethoven bahwa karyanya akan dapat dinikamti oleh generasi sesudahnya memang masuk akal dan ternyata memang benar. Setelah kematiannya, orang malah semakin dapat menikmati karya-karyanya nan sempat dianggap aneh tersebut. Sayang memang sang pencipta tidak dapat menikmati kebahagiaan orang-orang nan mendengarkan karyanya itu. Beethoven juga tak tahu kalau banyak orang nan terinspirasi dari musik-musiknya nan terdengar agak aneh dengan lengkingan nada nan seolah emnjerit histeris memanggil kekuatan Tuhan agar datang memberikan kedamaian di hati manusia.

Lengkingan itu tak lain ialah ungkap jiwa nan rapuh. Jiwa nan berusaha tetap tegar dan bangkit dari rasa nan tidak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Nada-nada dengah kecepatan tinggi membutuhkan energi ekstra buat memainkannya. Beethoven nan tuli itu mempunyai energi nan luar biasa dalam mencipta. Ia seakan tak pernah merasa lelah. Hal ini sebab pelariannya terhadap rasa nan ia alami memang hanya kepada musiknya. Ia mengadukan perasaannya lewat nada-nada nan bagai menggerutu. Ia kerahkan semua kemampuannya demi memuaskan dahaganya buat melepaskan semua apa nan ada dalam benaknya.



Perjalanan Karir

Ludwig van Beethoven lahir di Bonn, sebuah kota nan saat ini menjadi kota terbesar nomor 19 di Jerman. Ia dibaptis pada 1770 dan sudah mulai menunjukkan talenta musiknya pada usia nan sangat muda. Bahkan, pada umur 12 tahun ia sudah menerbitkan buku musik pertamanya. Ini ialah salah satu bukti betapa ia telah menemukan potensi dirinya dari sangat muda. Pada zaman sekarang mungkin orang tak terlalu kaget menemukan anak-anak usia 6 tahun sekalipun nan telah mampu menerbitkan buku. Pada zaman itu, fasilitas masih terbatas dan pengaruh luar pun belum terlalu banyak. Apa nan dilakukan seorang Beethoven muda memang luar biasa.

Beethoven belajar musik pada C.G. Neefe. Bahkan, ia sudah menjadi asistennya pada umur 11 tahun. Pada Neffe, ia belajar organ biola dan piano. Karena minat pada musik begitu besar, pada umur 13 tahun Beethoven dikeluarkan dari sekolahnya. Ini dimaksudkan agar ia dapat lebih berkonsentrasi lagi dalam bermusik. Ia menyadari bahwa bakatnya nan besar harus segeara disalurkan kalau ia tidak ingin kehilangan momen ini latif dalam hidupnya itu. Para guru musiknya memang sangat bijaksana. Ketika mereka mengetahui potensi seorang anak, mereka bukannya menahan sang anak dan memanfaatkan kelebihan sang anak. Mereka malah membantu sang anak buat lebih menemukan talenta dan potensinya nan lain agar dapat lebih berkembang pada masanya.

Orangtua Beethoven nan tak asing lagi dengan musik sangat menginginkan Beethoven kecil tumbuh seperti Mozart nan telah menunjukkan kepiawaiannya bermain musik pada usia nan sangat muda. Pada masa itu, pemain musik ialah selebritas nan mendapatkan penghormatan dan penghargaan nan tinggi dari semua kalangan termasuk dari kerajaan. Siapa nan tak bangga ketika diminta bermain di depan sang raja atau anggota keluarga kerajaan lainnya?

Pada abad 17 Wina ialah kiblat bagi global musik, maka Beethoven pun memutuskan buat pindah ke sana. Di Wina, ia berjumpa dengan Mozart. Pada 1792 Beethoven belajar pada Hadyn, seorang komposer terkenal di Wina. Hayati Beethoven pun dihabiskan di Wina. Di sanalah ia menelurkan banyak karya nan luar biasa seperti 9 simfoni, 32 sonata piano, 5 piano concerto, dan 10 sonata. Karirnya mencapai puncak pada saat lagu-lagu ini ia sukses ciptakan. Tapi sayang, penyakit pendengaran nan diderita membuat Beethoven tak percaya diri. Ia banyak mengucilkan diri dan merenung. Dalam biografi Beethoven disebutkan bahwa ia pun meninggal di kota ini pada usia 57 tahun.



Si Penyendiri nan Genius, Berjuang Melawan Penyakit

Beethoven disebut-sebut sebagai orang nan tak pandai berteman dan cenderung penyendiri. Sebenarnya ini ialah imbas dari penyakit nan membuatnya tak percaya diri. Ia cenderung seperti seorang anti sosial, walaupun menjalin interaksi dengan banyak gadis. Hingga akhir hayatnya, Beethoven tak pernah memiliki istri.

Ketika usianya hampir menginjak 30 tahun, Beethoven mulai merasakan ada nan tak sahih dengan pendengarannya. Ia merasa bahwa telinganya mulai tak dapat mendengar dengan jelas. Tapi ini tak menghentikan dirinya buat terus berkarya. Puncaknya pada saat usia 40-an, kala itu Beethoven hampir sama sekali tak dapat mendengar. Ini membuatnya tak dapat menggelar pertunjukan lagi. Beethoven depresi berat. Ia pun mengucilkan diri dari masyarakat. Ironis memang, seorang komposer terhebat pada zamannya harus menderita seperti ini.

Namun musisi genius ini tak menyerah, bahkan ia menggelar beberapa konser pada saat tuli total. Namun nan mengherankan ialah di saat menjadi tuli, ia menciptakan karya nan luar biasa. Karya-karyanya sangat berbeda. Cerita nan paling hebat terjadi pada 7 Mei 1824. Ia mementaskan Missa Solemnis dan Simfoni-9 di Wina. Konser ini berhasil besar. Penonton melakukan stading applause nan meriah buat sang maestro.

Tapi Beethoven sendiri tak sadar kalau konsernya sudah selesai. Sampai-sampai seorang solois altonya harus menarik pakaian Beethoven agar Ia sadar kalau konsernya telah berakhir. Beethoven mengajarkan pada kita, bahwa dengan segala keterbatasan, kita masih dapat melakukan sesuatu. Kuncinya satu: jangan mau kalah dengan keadaan.