Studi Kasus Kartu Kredit

Studi Kasus Kartu Kredit

Berdasarkan studi kasus , Bank-bank Cina menghadapi perubahan nan dramatis selama 10 tahun mendatang. Diharapkan holistik keuntungan dari sektor ini meningkat pada taraf 10% per tahun, sumber pendapatan ini akan berubah secara signifikan dari tahun 2006 ke tahun 2013.Andil dari Korporat banking, pada keuntungan sektor ini saat ini akan menurun lebih dari setengah kenaikan keuntungan ritel banking nan meningkat lebih cepat.

Tiga kekuatan primer dari studi kasus pembangunan ini adalah:

  1. Peningkatan konsumsi nan cukup kuat nan disebabkan pertumbuhan GDP. Kemakmuran akan meningkatkan permintaan produk pinjaman-ritel, seperti kredit mobil, kartu kredit dan hipotik.

  2. Permintaan produk-produk corporate-banking tradisional seperti tabungan dan pinjaman akan menurun. Seiring dengan perusahaan Cina memusatkan manajemen kas mereka, maka jumlah tabungan nan dimiliki oleh setiap operasi profinsi mereka akan sangat berkurang.

    Selain itu, perusahaan Cina sekarang hampir mengandalkan semuanya pada pinjaman bank buat pendanaan, namun pada 10 tahun mendatang diharapkan pengambangan capital market buat mengurangi permintaan pinjaman.

  3. Pada 5-7 tahun mendatang, dipercaya bahwa pemerintah Cina menarik regulasi taraf suku kembang secara bertahap. Hal ini akan mengurangi margin tabungan dan pinjaman perusahaan secara signifikan.



Studi Kasus Bank Ritel

Berdasarkan studi kasus, pergeseran dari perpaduan keuntungan dari korporat ke ritel memberikan kesempatan emas bagi bank asing buat masuk secara cepat ke pasar bank Cina dengan membidik nasabah makmur, nan merupakan segmen paling menarik. Walaupun mereka terdiri dari 2% nasabah ritel bank Cina, mereka menyumbang sebanyak 55-65% keuntungan ritel banking. Segmen ”massa-makmur” menyumbang 18% dari seluruh nasabah dan 40-50% keuntungan ritel banking, sementara 80% nasabah pada segmen mass-market sangat tak menguntungkan.

Nasabah-nasabah makmur sangat terpusat secara geografis: tiga per empatnya tinggal di Beijing dan kota-kota besar dekat pantai seperti Shanghai dan Guangzhou. Studi kasus membuktikan bahwa bank-bank domestik tak bisa melayani segmen ini secara efektif sebab pada operasi bank-bank tersebut kurang keterampilan menilai resiko pinjaman ritel dan budaya layanan dan sales.

Beberapa institusi besar bahkan tak tahu nasabah-nasabah makmur mereka sebab sedikitnya informasi terpadu mengenai orang-orang nan menjadi nasabah. Survey McKinsey mengenai mengenai nasabah bank Asia menunjukkan bahwa orang-orang Cina nan makmur kurang puas dengan taraf layanan nan mereka terima dibandingkan daerah lain dan mereka bersedia beralih ke bank nan menyediakan layanan lebih baik bahkan jika biaya dan taraf bunganya lebih tinggi.

Bank-bank Asing dengan pengalaman nan lebih banyak dalam melayani nasabah makmur dengan demikian bisa memposisikan diri dengan baik buat memperoleh kesempatan ini, hanya dengan menyediakan cabang-cabang nan sedikit di beberapa kota besar.

Pendirian jaringan cabang-cabang nan dimiliki sepenuhnya merupakan komponen kritikal dalam taktik buat menang pada studi kasus ini, sebab mereka menyediakan platform buat akses nasabah dan pembuatan brand.

Grup bank asing nan primer seperti Citibank dan HSBC membangun jaringan cabang mereka sendiri di lokasi-lokasi pusat (seperti: Distrik Finansial Bund dan Pudong di Shanghai) dan memikat nasabah-nasabah utama.

Namun cabang-cabang dari bank tersebut terbatas oleh peraturan deposit mata uang asing dan pinjaman, terutama pada ekspatriat dan orang lokal nan makmur. Namun dengan adanya penarikan regulasi pada 2007, mereka akan bebas buat mengambil deposit mata uang lokal dan buat menawarkan kartu kredit reminbi-denominated, hipotik, dan produk-produk pinjaman lainnya, suatu pasar di mana labanya akan tumbuh 30% tiap tahun.

Mereka juga memiliki hak buat memasarkan produk-produk lain seperti asuransi jiwa dan reksadana. Menilik pada studi kasus, maka Kerjasama dengan institusi Cina mungkin akan diperlukan oleh bank-bank asing nan berharap buat bersaing pada pasar makmur. Aliansi merupakan jalan buat menyesuaikan diri, menguasai keterampilan nan dibutuhkan buat meraih sukses.



Studi Kasus Kartu Kredit

Kartu Kredit ialah contoh studi kasus saling menguntungkan dari kerjasama. Produk-produk pinjaman-ritel pada pasar bank Cina, beberapa akan tumbuh cepat, menurut estimasi pendapatan dari pendapatan kembang dan biaya merchant akan meningkat lebih dari 50% per tahun, buat mencapai $5 miliar pada 2013.

Kerjasama bisa membantu pemain layanan-finansial asing buat memasuki pasar nan menarik ini secara cepat. Walaupun kondisi kesepakatan Cina dengan WTO mencegah pemain asing mengeluarkan kartu-kartu dengan mata uang lokal hingga 2007, jika mereka menunggu hingga 2207 maka kemungkinan nasabah-nasabah nan menarik akan sudah memiliki kartu kredit dari bank-bank domestik.

Bahkan jika bank-bank asing bisa menawarkan kartu kredit sendiri sekarang ini, mereka tak memiliki dasar penanam deposit mata uang lokal. Sekitar 80% nasabah-nasabah Cina nan mengajukan kartu kredit memperolehnya dari bank primer mereka sebab pembayarannya lebih mudah jika mereka memiliki fasilitas pembayaran otomatis pada rekening tabungan mereka. Bekerja dengan bank Cina tak hanya membantu bank asing menghadapi peraturan-peraturan tetapi juga memberikan akses instan buat nasabah.

Studi kasus dan penelitian menunjukkan bahwa nasabah-nasabah kartu kredit nan prospektif tak melihat nilai lebih pada kartu kredit nan diterbitkan atau diterbitkan atas kerjasama dengan bank-bank asing. Namun sikap ini kemungkinan akan berubah seiring dengan berjalannya waktu bank-bank tersebut membangun brand mereka di China.

Bekerjasama dengan bank Cina memiliki laba krusial tambahan jangka panjang, seperti akses pada segmen massa-makmur. Karena, bank asing bisa menunjukkan keberadaannya hanya pada satu propinsi baru setiap tahun, ber-partner dengan institusi bisa menyediakan akses tersebut buat jaringan cabang nan lebih besar pada cakupan pasar geografis nan lebih luas.

Bank-bank Cina dengan pool-pool nasabah ritel nan sangat besar, jaringan cabang nan luas, dan nama-nama brand mereka terlihat sudah ditempatkan dengan baik buat meraih kesempatan menerbitkan kartu kredit sendiri, namun mereka tertahan oleh kebijakan tradisional Cina buat tak memberikan pinjaman uang tanpa jaminan, dengan kurangnya keterampilan nan dibutuhkan buat memasarkan kartu kredit pada nasabah-nasabah nan menarik dan kesulitan menangani risiko pada pasar di mana tak adanya data biro kredit di luar Shanghai.

Sebagai ilustrasi dari studi kasus ini, pertimbangkan penerbitan kartu dan pengendalian resiko. Sekitar 4 - 5 juta kartu kini beredar pada pasar China namun jumlah pemegang kartu nan aktif mungkin hanya 1/3 nya. Fenomena ini mencerminkan pendekatan dari bank-bank China. Daripada membidik secara individual, institusi-institusi ini memberikan kartu pada karyawan-karyawan nasabah korporat banking mereka tanpa menilai apakah kartu tersebut akan digunakan.

Pendekatan tanpa sasaran tersebut tak terhindarkan oleh banyak bank-bank domestik sebab mereka memiliki sedikit data nasabah nan terpusat, dan kurang keteramplan model buat mendapatkan data apa nan mereka miliki. Di banyak bank pengendalian resiko tak terpusat dan sangat tergantung pada keterampilan-keterampilan nan terbatas dari staf frontline di cabang.

Suatu bank bisa mengambil banyak tindakan-tindakan besar jika portfolio jutaan kartu kreditnya menjadi jelek dampak menurunnya ekonomi atau buruknya praktek evaluasi risiko. Pada 2003, banyak penerbit kartu kredit Korea Selatan terbesar harus menghapus kerugian nan sangat besar dampak strategi pemasaran nan tak fokus dan tak adanya batasan pengendalian resiko.

Bank-bank domestik harus memperkerjakan tenaga-tenaga pakar dari pasar nan berbahasa China seperti Hong Kong dan Taiwan. Beberapa bank termasuk Bank Merchant China telah melakukannya namun beberapa lebih mengandalkan aliansi dengan bank-bank asing buat memperoleh keterampilan nan mereka butuhkan buat membangun dan mengelola bisnis kartu kredit.

Bank-bank asing dan monoline kartu kredit (perusahaan layanan finansial nan fokus hanya di satu bidang yaitu kartu kredit) memiliki pola pikir pengambil resiko dan keterampilan pengembangan produk, pemasaran, dan pengelolaan resiko nan tak dimiliki Bank-bank China.

Pada studi kasus kartu kredit ini, sebagaimana dengan pasar produk-produk lain, bank asing menetapkan interaksi partner nan harus menemukan rumusan buat mengasumsikan pengendalian operasional bisnis sementara memelihara fleksibilitas interaksi partner nan lain. Rumusan harus bisa diterima oleh pembuat anggaran finansial China nan berkuasa, China Banking Regulatory Commission (CBRC).