Proses Penerjemahan Literal

Proses Penerjemahan Literal

Tahukah Anda tentang Literal Translation ? Penerjemahan ialah salah satu bab krusial dalam lingkup ilmu bahasa atau linguistik . Pernahkah Anda bayangkan jika ilmu translasi tak pernah ada? Mungkin kita tak akan dapat membaca cerita-cerita atau mengunyah pengetahuan nan berasal dari bahasa-bahasa di luar bahasa ibu atau negara kita.

Inti penerjemahan merujuk pada pengubahan ide dari bahasa asal (source language) ke dalam bentuk nan sama dalam bahasa tujuan (target language). Poin krusial nan dapat ditarik dari pengertian sederhana ini ialah bahwa hasil terjemahan nan telah diubah dalam bahasa sasaran haruslah dapat mewakili ide nan dibawa oleh bahasa asal. Mengingat disparitas budaya dari tampat asal bahasa, tentunya sine qua non penyelarasan bahasa nan tepat.

Proses transfer dari satu bahasa dan bahasa lain ini sangat rentan menimbulkan kesalahan nan mengakibatkan tak tersampaikannya ide sinkron dengan aslinya. Oleh sebab itu, ada dua hal krusial nan harus diperhatikan dala proses terjemahan; yaitu kemampuan si penerjemah dan metode terjemahan nan digunakan.

Metode penerjemahan memiliki ragam nan cukup banyak; nan dapat diterapkan buat model teks orisinil (dalam bahasa asal) nan bhineka pula. Salah satunya ialah literal translation; atau penerjemahan secara literal.



Definisi Penerjemahan Literal

Terjemahan literal dapat disebut pula dengan terjemahan setia; sebab masih mempertahankan sebagian besar makna orisinil dari bahasa asal pada hasil terjemahan. Selain itu, penerjemahan literal juga sering disebut dengan penerjemahan nan lurus atau linear.

Penggunaan model terjemahan nan satu ini sering muncul pada abad ke-19; saat itu penerjemahan-penerjemahan kitab kudus seperti kitab Injil dan teks homogen dilakkan. Di samping itu, cara penerjemahan literal juga kerap dipakai buat teks-teks dari ilmu alam dan teknik nan tergolong ilmu pasti; serta hukum nan jelas melibatkan peraturan tentang kebenaran dan kesalahan nan tak seharusnya diartikan secara bebas.



Orientasi Terjemahan Literal

Ada dua fokus atau orientasi dalam global terjemahan. Yang pertama ialah fokus nan mengarah pada bahasa asal. Artinya, hasil penerjemahan lebih ditekankan buat mewakili karakter dan detail orisinil dari bahasa sumber.

Dalam hal ini, penerjemah akan berusaha sebaik mungkin buat mempresentasikan hasil nan benar-benar mirip dengan teks aslinya. Yang kedua ialah orientasi pada bahasa target; nan lebih mengedepankan kenyamanan pembaca (yang menguasai bahasa target) dalam memahami hasil terjemahan.
Untuk tujuan nan ini, penerjemah akan sekeras mungkin mengusahakan teks orisinil bisa dipahami dengan mudah dalam bahasa target.

Translasi literal, terkait dengna fokus terjemahan, menganut model nan pertama; yaitu lebih terpusat pada bahasa sumber dibandingkan dengan bahasa asalnya.



Proses Penerjemahan Literal

Menurut sejumlah ahli di global penerjemahan, penerjemahan literal dimulai dengan metode penerjemahan word by word alias kata per kata. Dalam proses ini, setiap kata dalam bahasa sumber akan diartikan secara harfiah. Penerjemah akan mencari padanan kata dalam bahasa sasaran nan memiliki arti sama dengan kata nan terdapat pada teks dalam bahasa sumber.

Setelah itu, barulah penerjemah mengubah struktur tata bahasanya; disesuaikan dengan gramatika pada bahasa tujuan.

Satu hal nan hilang dari penerjemahan literal ini ialah penyesuaian konteks kata ataupun bagian lain dari teks asli. Setiap kata diterjemahkan apa adanya secara mandiri; tanpa memerhatikan konteks dari kata tersebut. Inilah nan menyebabkan kurangnya fleksibilitas dari model literal translation ; artinya, cara terjemah literal ini tak dapat digunakan buat segala jenis teks di bahasa asli.



Kelebihan dan Kekurangan Penerjemahan Literal

Setiap metode terjemahan tentu memiliki kelebihan dan kekurangan; juga mengetengahkan taraf kesulitan nan bervariasi satu sama lain. Begitu pula dengan penerjemahan literal.

Apa saja kelebihan dan kekurangan terjemahan secara literal?

Kelebihan dari metode terjemahan ini akan terasa di awal-awal proses penerjemahan. Dengan mengetahui arti kata per kata dalam teks asli, penerjemah sudah mengambil langkah awal dalam memahami teks. Pemahaman teks orisinil ialah bagian krusial nan harus dikuasai dengan baik oleh si penerjemah.

Selain itu, penerjemahan literal juga lebih tepat digunakan dalam teks-teks nan memang sifatnya saklek; misalnya seperti kitab suci; sehingga terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap isi dari teks orisinil tersebut (yang dilakukan oleh para pembaca hasil terjemahan di bahasa target) bisa dicegah lebih dini.

Sejarah mencatat bahwa tipe terjemahan ini memang kerap dipakai dalam menerjemahkan kitab suci, terutama di masa lalu.

Literal translation jelas memiliki kekurangan, mengingat tak adanya perhatian nan cukup terhadap penyesuaian antara bahasa orisinil dan bahasa target. Hanya struktur gramatikalnya nan diperhatikan sedangkan unsur lain tidak; bahkan konteks pun tidak. Padahal, konteks bisa memberikan pengaruh nan signifikan pada arti sebuah kata.

Misalnya saja dalam penerjemahan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia atau sebaliknya. Ada sejumlah kata nan memiliki arti lebih dari satu; nan artinya berbeda bergantung konteks. Begitu pula kata-kata nan digabung menjadi bentuk tetap seperti idiom; tentu penerjemahannya tak dapat tak melibatkan pemahaman konteks.

Dipinggirkannya konteks dalam proses terjemahan literal mengurangi nilai dari hasil terjemahan itu sendiri; sebab dapat jadi, pembaca mendapatkan ide nan berbeda dari nan dimaksud dalam teks asli. Di sisi lain, pekerjaan besar terjemahan ialah menyampaikan ide dari teks dalam bahasa sumber dalam bentuk nan dipahami oleh pengguna bahasa target.

Berdasarkan fakta inilah, tak disarankan buat menerjemahkan bentu-bentuk seperti puisi, idiom, dan teks nan banyak menggunakan kata ambiguitas di dalamnya.

Bahkan, sejumlah pendapat menyebut translasi literal ialah cara nan jelek buat menerjemahkan sebuah teks.

Terjemahan mesin. Istilah ini sering dikaitkan dengan penerjemahan literal. Di masa sekarang ini, contoh nan mungkin paling dekat dengan kita ialah penerjemahan dengan search engine Google; atau Google Translate.

Sistem penerjemahan mesin ini lebih mengandalkan database arti satu kata dalam sejumlah bahasa target; sehingga ketika kata orisinil dimasukkan, nan akan keluar sebagai hasil terjemahannya hanya berdasar database; kata demi kata.

Hal ini disebabkan oleh minimnya atau bahkan tak adanya database nan memuat kata dalam bentuk frase atau idiom eksklusif nan memiliki arti berebda. Tidak heran jika kita sering menemukan kalimat dengan susunan atau arti absurd ketika menggunakan mesin penerjemah model ini.

Salah terjemah. Saking tak tepatnya hasil penerjemahan dengan metode terjemahan literal sejumlah orang bahkan menyebutnya sebagai translasi nan salah. Penguasaan kesalahan ini terletak pada pemaknaan idiom dalam bahasa asal; nan hasilnya seringkali malah dijadikan bahan guyonan.

Dari nan sudah ada di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan dengan sistem literal seringnya tak cukup dapat mewakili bahasa orisinil di dalam masyarakat pengguna bahasa target. Oleh sebab itu, penerjemah harus berpikir ulang buat menggunakan metode ini dalam penerjemahan teks tertentu.

Meskipun demikian, literal translation tetap memiliki manfaat, yaitu membantu penerjemah memahami teks dalam bahasa asal; di fase awal penerjemahan, buat kemudian menjadikannya lebih representatif dan dapat dimengerti ketika telah diubah ke dalam bahasa target.