Jatuh Bangun FFI dan Piala Citra

Jatuh Bangun FFI dan Piala Citra

Berbicara mengenai film, tentu tak lepas dari pembicaraan mengenai ajang penghargaan terhadap insan film baik nasional maupun internasional. Ajang pemberian anugrah terhadap perfilman ini dimiliki oleh setiap negara buat memberikan penghargaan buat sineas film negara masing-masing. Di Amerika Serikat, penghargaan tersebut dikenal dengan nama Piala Academy Award. Di Indonesia, penghargaan paling tinggi buat sineas film tanah air dikenal dengan nama Piala Citra. Pembagian piala tersebut diadakan dalam sebuah festival, nan bertajuk Festival Film Indonesia (FFI) dan dimulai sejak 1955.

Latar belakang festival ini yaitu, buat memberikan penghargaan kepada para sineas, maka dibuatlah sebuah piala nan namanya kemudian ditentukan oleh Presiden Suharto, Piala Citra. Piala ini mulai diberikan pada 1973. Melalui FFI dan Piala Gambaran ini, para sineas film di tanah air akan terus meningakatkan kualitasnya. Sama halnya dengan penghargaan lain, penghargaan ini dibagi menjadi berbagai kategori.

Sebenarnya, selain Piala Gambaran masih terdapat enam nama lagi nan diusulkan Badan Perfilman Nasional sebagai nama piala perfilman kita. Di antaranya ialah Mayarupa (bayangan nan terwujudkan), Kumara (cahaya badan), Wijayandaru (cahaya kemenangan). Rupanya, nama piala gambaran lebih memiliki kekuatan tersendiri dan menjadi terkenal sampai saat ini.

Piala Gambaran sendiri berbentuk sesosok tubuh seorang artis nan menjunjung tinggi layar putih nan di dalamnya terdapat sumber cahaya. Hal ini dimaksudkan buat menggambarkan adanya cahaya dan bayangan nan menggambarkan unsur primer penjelmaan film. Mendapatkan film ini merupakan suatu apresiasi nan besar terhadap karya nan dihasilkan. Piala Gambaran dapat menjadi lambang pernghargaan seluruh masyarakat Indonesia terhadap sieas film tanah air.



Pelaksanaan FFI

Sebagai sebuah ajang penghargaan terhadap global perfilman, ternyata dalam perjalanannya, ajang bergengsi ini tak selalu dapat berjalan mulus tiap tahunnya. Planning awalnya, FFI ingin diadakan setiap tahun, tapi ternyata tak selalu bisa dilaksanakan. Begitupun pada pembagian kategori, tak setiap tahun ada film nan ditunjuk sebagai film terbaik nan akan dianugerahkan Piala Citra.

Tercatat dalam sejarah perfilman tanah air, pada tiga kali penyelenggaraan yaitu 1967,1977, dan 1984, penghargaan bagi film terbaik tak bisa diberikan. Lalu pada tahun 1985, panitia melakukan kesepakatan buat dapat menentukan film terbaik dan mendapat penghargaan. Artinya, saat itu panitia berusaha agar setiap tahun setiap tahun diselenggarakan pemilihan film terbaik nan bisa dianugerahi Piala Citra.

Meski Festival Film Indonesia merupakan ajang penghargaan paling tinggi di global perfilman Indonesia, pelaksanaannya juga mengalami persoalan. Selain itu, juga dilakukan berbagai perubahan baik dalam hal bentuk piala hingga sistem nominasi. Pada tahun 1979, FFI memang sudah menggunakan sistem nominasi, tetapi sistem tersebut berhenti dan kembali digunakan pada tahun 2004. Bahkan, FFI juga memberikan anugrah pada film televisi berupa Piala Vidia.



Piala Gambaran dan Sejarahnya

Piala Gambaran nan digunakan hingga FFI 2007 merupakan karya artis patung Sidharta. Sebelumnya, FFI merupakan acara nan diselenggarakan oleh Yayasan Film Indonesia (YFI). Namun, pada tahun 1979, FFI dipegang penuh oleh pemerintah. Ratifikasi buat diselenggarakannya FFI oleh pemerintah dilakukan oleh menteri penerangan, yaitu Ali Murtopo.

Sejarah panjang FFI ini telah melahirkan berbagai persoalan sekaligus kemajuan bagi perfilman Indonesia. Hingga saat ini, terdapat 12 kategori dalam Festival Film Indonesia. Kategori nan berhubungan dengan adegan dan cerita antara lain, Film Bioskop Terbaik dan Penyutradaraan Terbaik. Sedangkan kategori nan berhubungan dengan pemeran dalam film dibedakan atas Pemeran Primer Pria Terbaik, Pemeran Primer Wanita Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Kategori buat penataan film juga diberi apresiasi tersendiri, yaitu kategori Penyuntingan Terbaik, Tata Artistik Terbaik, Tata Suara Terbaik, dan Tata Musik Terbaik.

Kategori lain nan pernah masuk dalam Festival Film Indonesia pada tahun 2008 ialah Skenario Terbaik. Sedangkan pada tahun 1992 FFI juga pernah memberikan anugrah buat kategori cerita orisinil terbaik. Hingga saat ini, pemegang anugrah terbanyak ialah film nan berjudul Tiga Hati Dua Global Satu Cinta. Film ini mendapat lima piala dari enam piala utama. Piala tersebut diantaranya buat kategori Film Bioskop Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Primer Pria Terbaik, Pemeran Primer Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik.

Festival ini dimeriahkan oleh penampilan pemusik tanah air. Acaranya dilakukan secara meriah dan ditampilkan oleh salah satu televisi partikelir terbaik Indonesia. Artis-artis nan membacakan nominasipun merupakan artis-artis papan atas Indonesia. Aplikasi Festival Film Indonesia nan megah ini telah mencuri perhatian masyarakat luas. Dengan adanya Piala Citra, diharapkan mampu melahirkan artis-artis berbakat, sutradara, serta penataan film nan semakin maju. Bahkan, juga apresiasi masyarakat nan semakin mencintai film protesis negeri sendiri.



Jatuh Bangun FFI dan Piala Gambaran

Di era 90-an, perfilman indonesia mengalami kelesuan nan hebat. Seolah-olah wafat suri. Saat itulah Piala Gambaran beserta acara bergengsi FFI pun ditiadakan. Hal ini membuat perfilman Indonesia terpuruk di tengah maraknya film-film luar negeri nan semakin maju. Namun, tentu saja hal ini menjadi salah satu pelajaran tersendiri bagi insan perfilman Indonesia buat bangkit kembali.

Kebangkitan perfilman Indonesia dimulai ketika muncul sebuah film musikal anak bertajuk Petualangan Sherina nan langsung merebut kembali kecintaan para sineas muda terhadap perfilman Indonesia. Film tersebut sukses menggaet banyak sekali penonton hingga pada minggu pertama dan kedua pemutarannya, karcis pun selalu habis. Meski aliran nan diangkat berupa petualangan anak-anak, Petualang Sherina memiliki sebuah cerita nan menarik buat semua usia.

Setelah mengalami keterpurukan luar biasa dan vakum hampir selama 12 tahun, akhirnya FFI diadakan kembali pada 2004. Ajang bergengsi ini mendaulat film drama Arisan sebagai penerima anugerah piala Gambaran sebagai film terbaik. Bahkan Tora Sudiro sebagai pendatang baru didaulat sebagai aktor terbaik dalam film Arisan . Tampaknya, FFI mulai ujuk gigi setelah tertidur cukup lama dan mengalami rehat nan panjang.

Setelah ajang bergengsi ini bergulir rutin kembali, seolah pasir waktu sudah kembali ke tempatnya semula, mendadak terjadi sebuah kasus. Tepatnya terjadi dua tahun setelah FFI bangkit, yaitu tahun 2006, ketika ajang bergengsi ini kembali digelar. Kasus ini menjadi suatu bahan penilaian buat para juri FFI nan saat itu memilih salah satu film buat menjadi nan terbaik dan mendapat piala Citra.

Semua terjadi dampak para juri FFI mendaulat Eskul sebagai film terbaik. Seluruh sineas film nan pernah menerima penghargaan Piala Gambaran sebelumnya, mengembalikan seluruh penghargaan mereka sebagai bentuk protes terhadap keputusan juri. Mereka menganggap bahwa film Eskul tidak layak sebagai film terbaik, di antaranya sebab adanya unsur plagiat terhadap soundtrack film Eskul .

Festival Film Indonesia merupakan suatu ajang buat memberikan penghargaan bagi film nan benar-benar berkualitas. Piala gambaran merupakan sebuah motivasi besar buat insan film dalam menciptakan film-film nan bukan hanya berisi hiburan saja. Film nan hebat ialah film nan menghibur dan sekaligus memberikan pendidikan pada penonton seluruh tanah air. Kebangkitan FFI dan pelaksanaannya nan semakin megah, tentu harus diiringi dengan kemajuan perfilman tanah air.

Film-film hebat seperti Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, dan sebagainya merupakan contoh keberhasilan film tanah air. Meski dipadukan dengan aliran percintaan atau nan lainnya, film-film berkualitas ini mampu memberikan pendidikan dan pembelajaran mengenai kehidupan kepada masyarakat. Diharapkan pada era selanjutnya, film-film orisinil Indonesia akan lebih maju lagi dengan cerita nan orisinil, berisi nilai kehidupan, dan membekas di hati penontonnya.