Sejarah Tekhnologi 3D

Sejarah Tekhnologi 3D

Gambar tiga dimensi (3D) ialah gambar nan memiliki ukuran tiga dimensi (x,y,z) nan dihadirkan melalui media nan hanya berukuran dua dimensi, misalnya kertas, kanvas dan lain-lain. Gambar tiga dimensi juga sering disebut dengan gambar perspektif, karena objek nan dituangkan ke dalam gambar hanya mengambil salah satu sisi nan menonjol dan dianggap menarik. Oleh sebab itu, setiap orang akan memiliki perspektif nan berbeda dalam satu objek, tergantung dengan selera keindahan masing-masing.

Gambar perspektif berusaha menonjolkan salah satu sisi saja dari objek, dan dituangkan dalam ukuran tiga dimensi (x,y,z), objek nan lebih dekat dengan mata akan digambar lebih besar daripada objek nan lebih jauh dari mata. Semakin jauh dengan mata semakin kecil, nan akhirnya menghilang pada titik horizontal, titik ini juga disebut disebut titik hilang /lenyap.

Gambar tiga dimensi atau gambar perspektif sering dimanfaatkan buat keperluan arsitektur dan penggambaran grafis,seperti membuat pola ruang, skema bangunan, dan sebagainya. Ada beberapa unsur pokok dalam membuat gambar tiga dimensi, antara lain:

• Garis Horizon atau juga biasa disebut dengan garis cakrawala, yakni batas pandang dari semua benda horizontal.

• Garis horisontal, yakni garis nan mendatar

• Garis vertikal, garis tegak lurus

• Titik hilang atau lenyap, merupakan sebuah titik loka hilangnya semua pandangan dari jangkauan mata (benda nan terlalu jauh, ketika jangkauan pandangan mata tak sampai maka benda itu hilang/tidak kelihatan). Titik hilang ini berada disepanjang garis Horizon.

Unsur-unsur dalam gambar perspektif tersebut harus benar-benar diperhatikan agar gambar nan dituangkan dapat benar-benar mewakili keberadaan objek aslinya. Selain itu, hukum-hukum dalam gambar perspektif juga harus diperhatikan. Hukum-hukum ini nan mengatur atau berisi aturan-aturan dalam gambar perspektif.

• Tinggi garis Horizon ialah sejauh mata memandang. Oleh sebab itu, tinggi antara orang nan sedang berdiri dengan duduk berbeda. Begitu juga orang nan sedang berjongkok dan merangkak.

• Titik hilang berada pada garis Horizon.

• Semua garis (objek) nan sejajar dengan Horizon, maka juga akan digambar sejajar dengan garis Horizon

• Semua garis (objek) nan tegak lurus dengan Horizon, maka akan digambar tegak lurus dengan Horizon.

• Garis sejajar nan tak sejajar dengan garis Horizon, maka akan digambar berjumpa di dalah satu titik hilang.

Gambar tiga dimensi atau gambar perspektif atau 3D, tak hanya digunakan buat keperluan-keperluan arsitektur ataupun grafis. Bentuk gambar ini juga digunakan dalam global kreatif, seperti film, nan sering dikenal dengan film 3D. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai teknologi 3D, sebaiknya kita menilik bagaiamana sejarah awal dan perkembangannya.



Sejarah Tekhnologi 3D

Tekhnologi 3D sudah muncul sejak pertengahan abad 19, yakni tidak lama setelah teknologi fotografi muncul pertama kali. Dengan sedikit pengembangan pada tahun 1856, JC d’Almeida menawarkan sebuah demonstrasi mengenai gambar-gambar stereoscopik. Dari sinilah cikal bakal tekhnologi 3D muncul dan kemudian berkembangseperti nan ada saat ini.

Gambar stereoscopik ialah penyajian dua gambar foto secara dengan perspektif nan sedikit berbeda, satu sama lain kira-kira berjarak dua setengah inchi, hal ini merepresentasikan jeda kedua bola mata. Kedua gambar ini diproyeksikan secara cepat dan bergantian dengan menggunakan slide dan dibantu cahaya lentera berwarna merah dan hijau. Melalui kaca mata merah dan hijau tersebut, penonton dapat melihat gambar dalam bentuk tiga dimensi.

Penemuan ini terus dikembangkan oleh para ilmuwan . Pada tahun 1890, mematenkan penemuannya mengenai sistem anaglyph, yakni dua lembar film transparan positif stereoscopik nan ditumpuk. Dengan memakai kacamata anaglyph, penonton bisa melihat hasil proyeksi nan berupa bentuk 3D atau tiga dimensi.

Akhirnya teknik dan sistem 3D mulai merambah ke global perfilman. Pada tahun 1897, C. Grivolas mengadaptasi sistem anaglyph buat memutar sebuah film (gambar nan bergerak) agar mendapat bentuk 3D. Namun teknik ini baru diaplikasikan dalam film layar lebar baru sekitar tahun 1922, film layar lebar pertama kali nan memakai format 3D ialah The Power of Love garapan Harry K. Fairall. Selain menggunakan sistem anaglyph, dalam film ini juga digunakan sistem dual film strip projection. Hal ini berarti ada dua strip film nan diputar secara bersamaan dengan dua proyektor nan sejajar.

Mulai saat itu, format 3d semakin berkembang dan banyak film-film nan memakai format ini. Sampai akhirnya pada tahun 1932, seorang ilmuwan bernama Edwin Land mematenkan penemuannya, yakni filter Polaroid. Filter Polaroid merupakan dari tumpukan lapisan-lapisan filter nan sangat tipis transparan nan dimiringkan berdasarkan sudut eksklusif nan bertujuan buat menghilangkan silau nan dilewati filter. Akhirnya, filter Polaroid ini juga diaplikasikan ke dalam tekhnologi 3D. Gambar 3D nan dihasilkan lebih bagus dibanding dengan sistem anaglyph, karena prinsip filter Polaroid ialah menyaring tak memblokir warna. Oleh sebab itu, rona apapun dapat dinikmati secara tiga dimensi.

Tekhnologi film 3D semakin berkembang ketika munculnya sistem parallax stereogram. Sistem ini dikembangkan oleh E. Estenave, A. Berthier, dan Frederick Ives. Berbeda dengan anaglyph dan Polaroid, dengan sistem parallax stereogram, penonton dapat menikmati tampilan gambar 3D tanpa menggunakan kacamata.

Seiring dengan perkembangan film dunia, tekhnologi film 3D pun juga semakin berkembang. Film dengan format 3D menacapai masa keemasannya pada tahun 1950-an. Banyak film-film Hollywood nan memakai format 3D, seperti film Bwana Devils (1952) nan disutradarai oleh Arch Oboler. Film ini dianggap sebagai film layar lebar pertama nan memakai sistem Polaroid dan 3D dual strip. Kemudian diikuti film-film layar lebar lainnya, seperti Inferno, House of Wax, Cerature From The Black Lagoon, Man in The Dark, dan lain-lain.

Namun, kesuksesan film-film dengan format tiga dimensi ini tak bertahan lama. Adanya berbagai hambatan mengenai teknis ataupun biaya, masa keemasan film 3D mulai pudar. Produksi film dengan format 3D mulai menurun. Beberapa hal nan menyebabkan turunnya popularitas film 3D ialah sebagai berikut:

• Berkenaan dengan biaya, distributor film menganggap biaya nan dikeluarkan buat film 3D tak sebanding dengan hasilnya. Film 3D nan menggunakan sistem dual strip, mengharuskan distributor film buat menyewa dua copy film. Berarti harga sewa dalam satu film dua kali lipat, namun penonton tak mau membeli tiket dengan harga dua kali lipat.

• Sistem dual strip nan dipakai, secara teknis cukup rumit sebab harus menggunakan dua proyektor nan saling terkait dan harus dipastikan gambar dari kedua proyektor tersebut sesuai setiap saat. Hal ini buat menghindari imbas pusing dan mata pegal pada setiap penonton. Sementara itu, copy film nan sudah diputar berkali-kali memiliki kesamaan mengalami kerusakan pada bagian-bagian tertentu. Untuk film biasa (bukan 3D), biasa proyeksionis membuang bagian-bagian nan rusak dan menggantinya. Namun, buat sistem dual strip, jumlah dan panjang frame harus sama. Hal ini merupakan hambatan teknis nan muncul buat film 3D.

• Ketika proyeksionis sedikit saja membuat kesalahan, salah satu gambar tak fokus, maka dapat membuat pusing dan mata pegal pada penonton.

Semenjak saat itu film 3D semakin turun popularitasnya. Masa keemasaannya ialah tahun 1950-an dan hanya seumur jagung. Namun seiring dengan perkembangan zaman, 3D perlahan-lahan kini mulai bangkit lagi. Awalnya 3D, setelah keruntuhannya, banyak diputar di wahana-wahana permainan, seperti Disneyland, Universal Studio, dan lain-lain. Namun semenjak tahun 2000-an, banyak pengarah adegan Hollywood nan ingin menghidupkan kembali film 3D. Hal ini bisa dilihat dengan munculnya beberapa film dengan format 3D, seperti, Ghost From Abbys (2003) garapan pengarah adegan terkenal James Cameron, Spy Kids 3-D: Game Over (2005), The Adventure of Sharkboy and Lavagirl (2005), dan lain-lain.