Perbedaan Skenario Film Laskar Pelangi dari Novel

Perbedaan Skenario Film Laskar Pelangi dari Novel



Akankah Kisah Novel Berbeda Dengan Kisah Dalam Filmnya?

Mengangkat sebuah novel menjadi sebuah film layar lebar mempunyai taraf kesulitan tersendiri sebab tak semua nan ada di dalam novel itu dapat disajikan dalam bentuk gambar. Bahkan ada cerita nan harus diubah agar tak menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Bagaimanapun, kisah dalam film nan bertutur lewat gambar itu lebih memberikan imbas dibandingkan dengan tulisan nan ada dalam novel. Misalnya, film Ayat-Ayat Cinta nan dibesut oleh Hamnung Bramantyo.

Di novelnya, Maria meninggal dalam Islam setelah menikah dengan Fakhri. Tetapi di filmnya, Maria digambarkan sembuh dari sakitnya dan bahkan ada adegan nan membuat banyak hati wanita tak mau menerimanya. Adegan kehidupan berpoligami itu sangat menyakitkan sehingga menuai protes. Tidak ada adegan Maria masuk Islam sebab dikhawatirkan akan menjadi perdebatan nan tidak kunjung usai. Disparitas ini membuat penonton nan telah tahu kisah novelnya sedikit kecewa. Apalagi dengan adegan rumah tangga nan berpoligami.

Bagi masyarakat Indonesia, poligami masih dianggap sesuatu nan halal tetapi tak banyak nan mau melakukannya. Siapa nan mau berbagi suami kalau bukan sebab sesuatu nan sangat terpaksa. Tidak ada wanita nan rela suaminya bersama dengan wanita lain. Tidak mudah buat ikhlas merelakan suami dengan wanita nan dipilihnya menjadi istrinya nan kesekian. Kecuali ada pertimbangan-pertimbangan lain nan memaksanya berpoligami.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa ada nan mau dan dapat hayati nyaman dan terlihat bahagia. Bahkan seorang ibu nan mengetahui anak laki-lakinya menikah lagi, mengatakan kepada istri baru anaknya kalau tak tahan berpoligami, silahkan mundur dari kehidupan anaknya. Padahal istri baru anaknya diberitahu oleh suaminya bahwa ia telah bercerai dan ia tak berpoligami. Tetapi sang ibu mengira anaknya berpoligami.

Melihat fenomena bahwa cerita novel itu dapat saja berbeda dengan cerita filmnya inilah nan membuat banyak orang menjadi penasaran, apakah kisah novel Laskar Pelangi akan mendapatkan perlakuan nan sama? Beberapa film barat nan diangkat dari novel pun mengalami perubahan kisah. Kebanyakan orang nan telah membaca novelnya mengatakan bahwa mereka kecewa dengan filmnya. Kisah dalam novel terasa lebih fantastis dan menggelitik daripada kisah dalam filmnya.

Apalagi kalau ada kisah nan diubah sehingga semakin berbeda dengan kisah dalam novel. Sebut saja film Scarlet Letter. Filmnya malah kurang menggigit. Kisah tentang percintaan seseorang nan dianggap alim dengan seorang wanita lugu. Film ini malah menampilkan adegan nan seharusnya tak perlu ditampilkan secara vulgar. Film ini sendiri sebenarnya menyinggung hal nan cukup sensitif sebab menyangkut agama tertentu.

Kejadiannya pada abad sebelumnya. Tetapi kini pun banyak peristiwa serupa. Bahkan lebih mengerikan lagi sebab di lakukan dengan sesama jenis. Keadaan ini tentu saja membuat banyak orang khawatir. Mereka mengharapkan adanya kesucian nan absolut sehingga tak ada keraguan dalam memeluk apa nan diyakininya. Ada juga film lain nan dianggap dari novel nan berusaha keras menyamai atau tak membuat disparitas sama sekali dengan novelnya.

Hal ini dilakukan agar tak mengecewakan pembaca dari seluruh global nan telah menikmati novelnya. Film tersebut ialah Harry Potter dalam beberapa episode. Film Harry Potter ini dibuat semirip mungkin dengan apa nan digambarkan dalam novelnya. Memang ada kesulitan. Namun demi satu kepuasan, maka semua itu harus dilakukan. Inilah satu usaha nan harus dihargai. Tidak mudah melakukannya sebab penulis seimajinatif J.K Rowling tentu saja mempunyai perspektif dan penggambaran nan cukup rumit.

Nyatanya filmnya sukses. Dari awal para penonton telah konfiden bahwa filmnya tak akan berbeda dengan isi novel. Tidak heran kalau para penontonnya hingga mengantri seperti semut menanti pemutaran perdana film nan memberikan laba nan luar biasa ini. Pembuatan film Harry Potter tentu saja menjadi satu surat keterangan nan bagi bagi pembuat film Laskar Pelangi. Mereka pun tak mau mengecewakan para pembaca novel nan kini menjadi salah satu novel dari Indonesia nan meraih best seller internasional.



Pembuatan Skenario Untuk Film Laskar Pelangi

Novel dapat menceritakan apapun sinkron dengan keinginan penulis sebab novel hanya berisi tulisan-tulisan dimana pembaca dapat mengkhayalkan apa nan ditulis oleh penulis novel sinkron dengan khayalan masing-masing. Sedangkan film berisi gambar nan dapat langsung dilihat oleh penonton tanpa memerlukan khayalan khusus. Selain itu sebuah film harus menyajikan cerita nan runtut dari awal hingga akhir cerita. Tidak dapat terlalu banyak melompat dari satu kisah ke kisah lainnya sebab akan membuat bingung penonton.

Kejadian-kejadian maupun setting cerita nan ada di dalam novel dapat saja diartikan berbeda oleh setiap pembaca. Hal tersebut nan membuat film nan mengadaptasi sebuah novel biasanya mendapat banyak kritikan sebab para pembaca sebuah novel belum tentu setuju dengan khayalan penulis skenario film nan dibuat berdasarkan adaptasi dari novel.

Tetapi dalam skenario buat film Laskar Pelangi, Salman Aristo dan kawan-kawan ternyata dapat menggambarkan novel Laskar Pelangi dalam sebuah film nan bagus. Bahkan Andrea Hirata sendiri mengatakan bahwa film Laskar Pelangi lebih baik daripada novelnya. Janji ini memang ditepat sehingga para penonton film Laskar Pelangi membludak. Mereka ingin membuktikan apakah sahih seperti dalam novelnya. Memang tak mengecewakan.

Bahkan setelah penayangan filmnya, pariwisata di Belitong meningkat. Bayangkan hingga ada tour Laskar Pelangi. Inilah kekuatan sebuah film. Film mampu membangkitkan khayalan para penonton hingga benar-benar ingin pergi ke suatu tempat.



Perbedaan Skenario Film Laskar Pelangi dari Novel

Dalam skenario buat film Laskar Pelangi, Salman Aristo membuat sedikit perubahan dari cerita orisinil nan ada di dalam novel. Alasan utamanya ialah agar cerita lebih hayati dan dapat menggugah emosi penonton. Misalnya saja penambahan tokoh-tokoh baru nan sebelumnya tak ada di dalam novel. Kita sebut saja Mahmud nan diceritakan mempunyai perasaan spesifik terhadap Bu Muslimah. Walaupun tokoh ini kurang dieksplor, setidaknya ada rona nan berbeda ketika Mahmud berusaha mendekati Bu Muslimah.

Dalam segi cerita, skenario film Laskar Pelangi juga mengalami banyak perubahan. Misalnya saja ketika Pak Harfan meninggal dunia. Padahal adegan tersebut tak ada di novel. Meninggalnya Pak Harfan ini membuat Bu Mus begitu terpukul dan mogok mengajar tetapi anak-anak tetap semangat belajar. Lintang kemudian menjadi guru dari anak-anak nan lain. Adegan ini tentu saja memperkuat bagaimana semangat anak-anak Laskar Pelangi buat terus belajar dalam berbagai kondisi.

Cerita lain dalam skenario film Laskar Pelangi nan berbeda dari novel ialah ketika Mahar menyanyikan lagu Seroja nan khas Melayu menggantikan lagu Tenasse Waltz. Hal ini semakin memperkuat suasana melayu dalam skenario film Laskar Pelangi.

Kekurangan Film Laskar Pelangi
Ada pepatah nan mengatakan bahwa tidak ada gading nan retak. Film Laskar Pelangi nan mendapat banyak pujian dari para penonton juga mendapat banyak kritikan dari para penontonnya. Misalnya saja setting cerita nan tak seindah pelukisan nan ada di dalam novel, adegan-adegan nan terkesan tempelan saja dan hanya buat menampilkan apa nan ada di dalam novel.

Kurang maksimalnya ekskavasi adegan saat karnaval dimana kostum anak-anak Laskar Pelangi terkesan seadanya dan ketika mereka gatal-gatal, dan beberapa kekurangan nan lain. Tentu saja kekecewaan penonton tersebut sebab para penonton sudah membaca terlebih dahulu novel Laskar Pelangi. Dan ketika menjadi pembaca novel, masing-masing mempunyai khayalan sendiri-sendiri dalam memaknai tulisan nan ada di novel.

Selain itu ketika novel tersebut diangkat menjadi skenario sebuah film Laskar Pelangi, tak semua adegan dalam film dapat mewakili apa nan ada di dalam novel. Di balik kekurangan skenario film Laskar Pelangi, film ini layak menjadi tontonan nan menggugah terutama tentang pendidikan di Indonesia.