Memerangi Kemiskinan

Memerangi Kemiskinan

Permasalahan nan berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan gizi pada tubuh manusia dapat dikatakan tak pernah selesai. Selama masalah ekonomi masih menjadi batu sandungan, permasalahan pemenuhan gizi pun masih menjadi pekerjaan rumah. Khususnya, di Indonesia. Busung lapar dan gizi jelek merupakan citra konkret permasalahan pemenuhan gizi tersebut. Mayoritas masyarakat Indonesia nan menurut beberapa data masih berada di bawah garis kemiskinan, masih menjadi persoalan fundamental permasalahan ini.



Benarkah Hanya Kemiskinan Sebagai faktor Penyebabnya?

Benarkan kemiskinan menjadi kambing hitam terjadinya busung lapar? Mungkin saja. Buktinya ialah apa nan menimpa beberapa orang nan ada di wilayah Gunung Kidul, Papua, dan beberapa wilayah lainnya di daerah Jawa beberapa waktu nan lalu. Kemiskinan ini membuat masyarakat tidak mampu lagi berbuat banyak buat memenuhi kebutuhan makannya. Apalagi diikuti dengan adanya gagal panen seperti nan terjadi di Papua. Cukup menyedihkan melihat terutama anak-anak dengan tubuh nan sangat ceking dan perut nan sangat besar. Mata mereka konkaf dan terlihat sekali kalau ada perkembangan otak mereka nan terhambat.

Akibat busung lapar itu, mereka menjadi anak nan kehilangan beberapa sel otaknya. Kalau kejadian ini berlangsung lama dan menimpa semakin banyak penduduk Indonesia, maka bangsa ini akan menjadi satu bangsa nan kehilangan satu generasi nan dibutuhkan dalam pembangunan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan gizi seimbang sangat dibutuhkan agar perkembangan otak dapat maksimal dan optimal. Tanpa gizi seimbang, otak tidak mampu berkembang dengan baik.

Untungnya kejadian ini langsung terekspos dengan luas sehingga masyarakat nan tinggal di wilayah lain menjadi tahu bahwa tidak harus jauh melihat anak-anak berperut buncit seperti nan ada di benua Afrika, di Indonesia pun ada. Menyedihkan sekali. Tetapi itulah fenomena nan harus diterima. Pembagian jatah pangan nasional harus lebih teliti lagi agar kejadian ini tak terulang lagi. Bangsa ini membutuhkan para penerus negeri nan pandai dan cerdas dengan tubuh sehat.

Bagaimana dengan gizi buruk? Apakah hanya anak-anak dari kalangan tak berduit sajakah nan mengalaminya? Ternyata tak juga. Anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas juga dapat mengalami keadaan gizi buruk. Mereka bahkan bagai tikus nan wafat di lumbung padi. Kehidupan orangtua mereka nan sangat sibuk telah membuat asupan gizi mereka kurang. Mereka hanya ditinggal dengan pembantu nan belum tentu paham dengan gizi seimbang. Hal ini sangat memprihatikan. Perkembangan otak anak-anak nan kurang perhatian orangtua ini sangat mengenaskan. Mereka seolah menjadi anak-anak hilang nan tidak tahu mau lari ke mana.

Seharusnya orangtua nan paham dengan ilmu tentang perkembangan anak, hal ini tak harus terjadi. Majemuk multivitamin dan makanan sehat lainnya terdapat di berbagai tempat. Memang tak mudah memberikan pencerahan kepada para orangtua nan sangat sibuk itu. Mereka sendiri sebenarnya merupakan orang-orang nan berpendidikan tinggi. Kurangnya pencerahan atau kurangnya keinginan buat mencetak generasi super atau kurangnya keinginan mempunyai anak dengan kecerdasan tinggi, nan membuat mereka seolah tidak peduli dengan perkembangan gizi anaknya. Jadi, tak tepat bila dikatakan hanya kemiskinanlah nan menyebabkan busung lapar dan gizi buruk .



Memerangi Kemiskinan

Mengentaskan kemiskinan bukan perkara mudah. Sama halnya dengan mengubah nasib banyak orang. Hingga kini, berbagai upaya peningkatan tingkat hayati masyarakat Indonesia masih dalam termin perjuangan. Pemenuhan gizi dalam kehidupan manusia menjadi satu hal wajib. Tubuh manusia nan terdiri dari beberapa sistem tersebut membutuhkan gizi buat "bekerja" dengan baik. Jika gizi dalam tubuh kurang atau bahkan tak terpenuhi sama sekali, metabolisme tubuh pun akan terganggu.

Asupan gizi bukan hanya dibutuhkan oleh orang-orang dewasa. Gizi justru lebih banyak dibutuhkan oleh anak-anak nan masih berada dalam termin pertumbuhan. Pada tubuh anak, tubuh manusia nan masih sangat muda, gizi berfungsi sebagai pembentuk jaringan-jaringan tubuh. Misalnya, jaringan pada sistem otak, jaringan pada sistem kekebalan tubuh, dan jaringan pada tulang agar anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.

Bagaimana akan memberikan gizi nan baik kalau orangtua tidak mampu melakukan apa-apa. Pekerjaan mereka hanyalah memberikan penghasilan nan sangat minim. Tidak dapat memaksakan orangtua harus mampu memberikan gizi seimbang ini. Sayangnya, terkadang para bapak malah lebih mementingkan membeli rokok daripada membeli bahan makanan murah tetapi cukup mengandung gizi seperti tahu dan tempe. Pencerahan memang harus terus ditingkatkan.

Upaya pemerintah membantu kalangan miskin ini dengan cara memberikan donasi beras dan penyediaan makanan bergizi buat anak-anak sekolah dasar. Pengaktifan kembali beberapa Posyandu nan sempat vakum juga merupakan satu cara memangkas jumlah anak-anak dengan gizi buruk. Kalau anak-anak itu tak sehat, bagaimana mereka akan dapat bangkit memperbaiki nasib mereka di masa depan. Hal inilah nan menjadi satu pemikiran nan sangat serius. Bangsa ini tentunya tak mau mencetak generasi nan akan hayati di bawah garis kemiskinan lagi.



Pengertian Busung Lapar dan Gizi Buruk

Busung lapar dan gizi jelek merupakan dua kelainan kesehatan nan paling banyak diderita oleh anak-anak. Terutama, anak-anak nan lahir dan tumbuh di lingkungan nan tak mendukung terpenuhinya asupan gizi bagi mereka. Saat tubuh mereka tengah banyak membutuhkan asupan gizi, di saat bersamaan pula mereka harus "merelakan" bahwa hal itu sulit buat terpenuhi. Miris, namun kenyataannya memang demikian.

Busung lapar dan juga gizi jelek ialah permasalahan kesehatan nan serius. Kedua kenyataan ini dapat menjadi tolok ukur kemakmuran sebuah negara. Jika jumlah masyarakat atau anak-anak pada suatu negara masih banyak nan berada dalam kondisi seperti ini, negara tersebut belum dapat digolongkan ke dalam negara nan kaya. Caranya mungkin terkesan tak adil, namun kedua hal tersebut merupakan citra konkret paling sederhana dari kemiskinan sebuah negara.

Bisa dibayangkan bagaimana pandangan orang luar ketika mengetahui bangsa Indonesia dengan jumlah kekayaan alam nan melimpah dan tanah nan subur, ternyata masih mempunyai sejumlah penduduk dengan keadaan nan sangat mengiris hati dan hati nurani itu. Ke mana saja para aparat negara ini? Ke mana saja masyarakat sekitar nan ada di dekat loka kejadian? Sudah begitu tak pedulinyakah masyarakat ini sehingga tak tahu kalau ada tetangganya nan kelaparan. Padahal semua juga tahu bahwa kalau ada orang lain nan lapar nan tinggal dekat rumah sedangkan kita merasa kenyang, maka keimanan kita dipertanyakan?

Sepertinya rakyat negeri ini harus meningkatkan rasa kesetiakawanan nan sebenarnya. Tidak dapat hanya berdiam diri saja dan menyaksikan semua kejadian nan mengerikan itu dari dalam televisi. Semua warga harus bergerak. Mereka harus menyisiri setiap sudut lingkungannya dan memperhatikan, apakah ada keluarga nan tak dapat makan dengan cukup setiap harinya. Kalaupun ada, maka semua warga nan mampu harus secara bergotong royong membantu keluarga nan malang itu. Jangan biarkan mereka wafat kelaparan sementara di bagian lain dekat rumahnya, orang kaya membuang makanan nan masih layak dimakan.

Ketimpangan seperti ini harus segera dikurangi atau sekaligus diberantas agar negeri ini kondusif sentosa. Kalau semua rakyat bergerak, maka fungsi pemerintah hanya mengkoodinasi semuanya. Jangan sampai masyarakat nan miskin itu merasa hayati sendirian. Kalau mereka merasa tidak diperhatikan, taraf kejahatan niscaya akan semakin tinggi. Kemiskinan akan mampu membuat orang gelap mata.



Kesimpulan

Kemiskinan merupakan penyebab busung lapar dan gizi jelek nan tidak terbantahkan. Namun, kemiskinan ternyata bukan satu-satunya penyebab terjadinya busung lapar dan gizi buruk. Rendahnya pencerahan masyarakat, khususnya orangtua terhadap pentingnya asupan gizi pada tubuh, juga dapat melengkapi derita anak-anak. Pencerahan terhadap gizi nan rendah juga disebabkan oleh taraf pendidikan nan juga rendah.

Sebagian orang menganggap bahwa tujuan makan nan terpenting ialah kenyang. Tanpa memikirkan hal-hal lain, termasuk gizi nan terkandung dalam makanan. Selain itu, pandangan bahwa makanan bergizi ialah makanan nan mahal sepertinya juga perlu diubah. Makanan sehat tak harus mahal. Gizi nan cukup buat anak juga dapat diperoleh dengan harga terjangkau. Gizi nan terkandung dalam tempe, tahu, dan telur, misalnya. Ketiga bahan pangan tersebut memenuhi kriteria makanan sehat bagi anak. Untuk mendapatkannya pun, tak perlu merogoh kocek terlalu dalam.