Industri Blue Film, Industri nan Tak Pernah Mati, Ironi!

Industri Blue Film, Industri nan Tak Pernah Mati, Ironi!

Seorang Ibu muda kaget sebab anaknya nan masih berusia SD sudah mengerti apa itu blue film . Banyak pelajar SMP nan terlibat pergaulan bebas sebab banyak melihat blue film. Sepasang suami istri bahkan bercerai hanya sebab suaminya kecanduan dengan blue film. Beberapa fenomena miris nan saat ini sudah tidak asing lagi kita temukan di lingkungan sekitar kita.



Blue Film Lebih Mematikan daripada Racun

Ada sebuah ungkapan nan menyatakan bahwa bila ingin membunuh suatu bangsa jangan dengan menggunakan bom, namun rusaklah moral masyarakatnya. Blue film disinyalir sebagai salah satu cara pihak-pihak eksklusif nan ingin merusak moral dan mental masyarakat di sebuah negara agar menjadi tidak berdaya.

Bila dibandingkan dengan racun, blue film mungkin dapat dikatakan lebih ganas. Virus nan berakibat pada rusaknya moral bernama blue film ini juga lebih menakutkan daripada narkoba. Kerusakan otak nan disebabkan oleh blue film dikatakan permanen daripada kerusakan otak sebab hal nan lain. Jadi, sudah jelas bahwa virus blue film tidak dapat dianggap sebelah mata.



Blue Film di Kalangan Remaja

Virus blue film saat ini rupanya semakin merajalela masuk pada global remaja. Lewat majemuk cara virus mematikan tersebut bahkan menyusup ke global anak-anak. Game online , film kartun, anime, komik, buku bacaan nan seolah-olah buat anak-anak padahal bukan, tayangan televisi, dll. Remaja digempur habis-habisan dengan tayangan blue film baik nan terlihat jelas maupun tidak, melalui media-media tersebut.

Ada dua faktor sebenarnya nan menyebabkan remaja jadi kehilangan arah dan menjadi kecanduan blue film. Faktor-faktor tersebut ialah sebagai berikut.



1. Blue Film - Faktor Internal

Sudah menjadi insting bahwa pelajar memang penasaran hal-hal nan seperti itu. Terutama bila mereka baru saja memasuki usia puber (SMP). Baik pelajar nan dalam kehidupan sehari-hari tergolong diam maupun nan sebaliknya, keduanya memiliki sifat dasar nan sama sebagai remaja puber, yaitu selalu ingin tahu dan penasaran terhadap hal-hal nan baru.

Pelampiasan dampak sebuah tekanan terhadap diri sendiri. Remaja nan berada pada usia puber memiliki dua kemungkinan, yaitu memiliki kepercayaan diri nan hiperbola atau tak memiliki kepercayaan diri sama sekali.

Remaja nan memiliki kepercayaan diri nan hiperbola tak dapat disebut aman, namun remaja nan tak memiliki kepercayaan diri sama sekali malah lebih berbahaya sebab mereka dapat melampiaskannya dengan hal-hal nan tak baik salah satunya dengan mengonsumsi blue film.

Serial komik berjudul Train Man mungkin dapat kita jadikan pembelajaran di mana orang pendiam tidak dapat selamanya disebut pendiam. Pendiam sebab memang aslinya seperti itu (pendiam tanpa ada tekanan) tentu tak berbahaya. Namun pendiam sebab tertekan atau menutupi rasa tak percaya diri akan sangat berbahaya bila tak segera diatasi.

Dalam komik Train Man tersebut, diceritakan bahwa seorang laki-laki pecandu anime ( otaku ) nan tidak hanya mengoleksi majemuk anime melainkan juga blue film. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki muda tersebut dapat dibilang cupu.

Hal tersebut dapat dijadikan peringatan buat para orangtua atau pendidik, bahwa tidak selamanya pelajar nan terlihat pendiam dan lugu itu memang aslinya seperti itu. Banyak kasus di mana pelajar nan lugu dan polos malah dapat berbuat hal-hal nan tidak-tidak. Dan ternyata setelah diselidiki pelajar tersebut getol menonton blue film. Miris bukan.



2. Blue Film - Faktor Eksternal

Sebenarnya faktor eksternal mengapa pelajar dapat kecanduan blue film sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, di antaranya ialah sebagai berikut.

  1. Teknologi nan semakin canggih nan memudahkan banyak orang buat men- download dan meng- upload foto dan video, termasuk foto dan video nan tak layak.

  2. Hubungan anak dan orangtua nan semakin renggang sebab kesibukan menyebabkan si anak kadang melampiaskannya dengan hal-hal nan tak benar.

  3. Rumah nan hampir setiap hari selalu kosong, hanya ada anak dengan pembantu sebab orangtua nan memang sering pergi ke luar.

  4. Pengaruh teman nan sudah terinfeksi virus blue film terlebih dulu.


Industri Blue Film, Industri nan Tak Pernah Mati, Ironi!

Ingin bisnis dengan laba nan tinggi? Blue film banyak menjadi pilihan. Bila dulu ada di negara-negara eksklusif saja, sekarang ini industri blue film (terselubung) sudah beredar di mana-mana. Mirisnya, banyak remaja nan ikut menceburkan diri buat menjadi salah satu bagian dari industri tersebut. Alasannya bermacam-macam, misalnya membutuhkan uang saku, ingin kaya selagi muda, ingin senang-senang, membantu orangtua, hingga coba-coba. Memang, bila dilihat dari sisi ekonomis, industri blue film ialah industri nan tak pernah wafat sehingga sudah niscaya menguntungkan.

Namun, tentu saja kita tidak serta merta hanya berdalih alasan ekonomi saja sehingga membenarkan tindakan nan dapat merusak moral remaja sebagai generasi penerus bangsa. Aborsi nan semakin meningkat, sedikit banyak ialah sebab pengaruh blue film. Pergaulan bebas, menjadi orang tua di bawah umur, hingga pemerkosaan, semuanya ialah sebab pengaruh blue film.

Bisa kita bayangkan bila di masa depan industri ini semakin maju maka kondisi negara akan semakin kacau. Pun dapat kita bayangkan bila 90% remaja sudah kecanduan dengan virus tersebut, bagaimana mereka dapat nyaman dengan hayati mereka. Tak heran bila banyak remaja nan saat ini sedikit-sedikit stres dan galau. Bagaimana tidak, mereka dewasa sebelum waktunya sebab virus blue film.

Jadi, apakah sebanding bila laba dari sisi ekonomi nan sangat tinggi harus dibayar dengan kerapuhan mental serta penyakit psikis nan terus bertambah. Tentu jawabannya tidak.

Sayangnya masih banyak juga pihak nan dengan alasan ekonomi tak mau menghentikan bisnis mereka. Dengan dalih blue film akan kondusif bila dikonsumsi oleh orang dewasa nan sudah menikah, para pebisnis tersebut tetap menjalankan aksinya.

Padahal, ditonton oleh siapa pun, dikonsumsi oleh orang dari kalangan usia mana pun, nan namanya virus tetap saja virus dan tidak akan mungkin dapat berubah menjadi obat. Virus bukan obat. Pengaruh negatif blue film tidak hanya dapat dirasakan oleh pelajar atau remaja saja namun juga semua kalangan.

Bila memang tidak ada lagi alasan buat mempertahankan blue film, lalu mengapa hingga saat ini blue film masih berjaya? Seperti pertanyaan telor atau ayam lebih dulu mana, pun dengan blue film nan masih tetap eksis hingga hari ini.

Permintaan konsumen ataukah penawaran dari pebisnis nan tinggi, tidak ada nan tahu pasti. Yang jelas dua kubu tersebut sama-sama memberikan kontribusi sehubungan dengan masih eksisnya blue film. Sebanyak apa pun peredaran blue film, bila tidak ada nan merespon, tentu lama-lama pebisnis di bidang tersebut akan menghentikan usahanya.

Bagaimanapun juga mereka tidak mau rugi. Atau sebaliknya, setinggi apa pun permintaan masyarakat terhadap blue film, bila tidak ada nan memproduksi tentu tak akan terjadi “jual beli”. Namun, pemaparan tersebut hanyalah delusi sebab pada kenyataannya blue film masih beredar hingga saat ini.