Berita Kompas Memojokkan Islam?

Berita Kompas Memojokkan Islam?

Jika menonton film " Swing Girl ", ada catchphrase nan menarik di dalamnya. Global ini katanya, hanya terbagi dua. Swing dan tak swing . Berlaku pula pembedaan dalam global surat kabar. Surat kabar itu ada dua, nan pengecut beritanya, dan nan tak pengecut beritanya. Warta kompas sering di dudukan sebagai nan pengecut beritanya. Sebelum lebih jauh memahami apa itu warta Kompas , maka Anda harus memahami visi dan misi perusahaan di baliknya.

Berita Kompas memiliki visi dan misi demi mempertahankan citranya di masyarakat. Kompas memiliki visi dengan " Berpartisipasi dalam membangun masyarakat Indonesia baru, yaitu masyarakat dengan humanisme nan transendental, persatuan dalam perbedaan, menghormati individu dan masyarakat nan adil dan makmur" . Masyarakat Indonesia baru nan ingin diciptakan oleh Kompas melalui visinya ialah masyarakat dengan tabiat nan baik, profesionalisme, meghormati demokrasi, tak diskriminatif serta loyal kepada bangsa dan negara.

Sedangkan misi Kompas adalah, " Menjadi nomor satu dalam semua aspek usaha, di antara usaha-usaha lain nan homogen dan dalam kelas nan sama" . Hal tersebut dicapai dengan melakukan etika usaha higienis dan melaksanakan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan lain.

Selain itu, Kompas juga memiliki misi buat mencerdaskan dan mengembangkan bangsa, melalui warta Kompas. Berdasarkan solidaritas dan kemanusiaan, berpartisipasi dalam mencerdaskan dan mengembangkan bangsa melalui media komuniksai dan usaha (bisnis) lain, dengan manajemen nan sehat dan etika usaha bersih, nan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan karyawan.

Dari visi misi seperti di atas sebenarnya sudah dapat Anda tengarai mengapa berita Kompas tak cenderung memberitakan hal-hal nan superfisial, terlalu menggerutu, mengembangkempiskan kesempatan para pemimpin (jahat sekalipun, lihat efeknya jika pemimpin mudah dijatuhkan paksa tanpa cara konstitusional), oleh karenanya warta Kompas tidaklah begitu bombastis mengarah menusuk pemerintah.

Berita Kompas ada nan kritis tapi proposional, ada nan tajam tapi juga membawa semacam bandage aid setiap saat, sehingga nan dilukai bukan buat melukai, tapi mengeluarkan dan menyembuhkan penyakit.



Berita Kompas Terlalu NU?

Kompas pernah diberedel oleh Pangkopkamtib bersamaan dengan kasus Malari pada 1974, setelah itu, warta Kompas syahdan di katakan tiarap. Lebih membawakan perbedaan makna asal Bapak senang. Apakah ‘bapak’ nan dimaksud waktu itu senang? Tentu saja, tapi jurnalisme ialah mengenai kestabilan. Kehadiran dan kelahiran warta Kompa s dilahirkan oleh elemen Orde Baru dan Orde Lama. Ada presiden Soekarno sebagai perwakilan orde lama, ada jenderal Ahmad Yani, nan membuka gerbang orde baru. Di balik semua itu, warta Kompas ialah minority try to speak freely , minoritas katolik nan berupaya bicara.

Tentu saja ada misi katolik di Kompas , sehingga tak menutup kemungkinan ada upaya mengangkat gambaran kaum katolik di Kompas, dalam setiap warta Kompas. Namun apakah itu dilarang? Apakah itu bermasalah?

Jurnalisme ialah mengenai kestabilan, berita Kompas selalu mencoba memberi rona kestabilan, sebab sinkron dengan ucapan tokoh katolik Franz Magnis Suseno sendiri mengenai nasib minoritas Katolik di negara mayoritas muslim. " Bila mayoritas mantap, maka minoritas mantap ", artinya, ada asa dari Kompas melalui warta Kompas , suatu keinginan menjadikan Indonesia itu stay tune kepada kestabilan.

Jika Indonesia chaos , nasib jelek dapat diderita nan minoritas. Jika Indonesia bermuram, nasib lebih muram di terima minoritas. Karena minoritas selalu membawa dua jangkar dalam satu kapal. Pertama menjaga diri mereka kondusif selamat, ketika badai, kedua menjaga mayoritas kondusif damai ketika badai, agar pelampiasan mayoritas nan oleng tak di derita oleh minoritas.

Oleh sebab itu pula warta Kompas, selalu menonjolkan kerjasama dengan komunitas mayoritas terbesar, yakni Nadhlatul Ulama. NU mencintai Kompas , dan Kompas mencintai NU. Keduanya membawa kestabilan pada Indonesia. Berita Kompas selalu mengakat hal-hal nan terutama datang dari kegiatan NU. Politikus NU, kolumnis NU mendapat loka lapang di kolom-kolom warta Kompas . Rubrik asal-usul misanya di isi rutin oleh dua simpatisan Nadhliyin, entah H. Alm Mahbub Djunaidi, atau M. Sobari.

Tulisan alm. Gusdur, selalu rajin mampir di kolom warta Kompas . Entah kolom opini atau wawancara. Spot lainnya sering diberikan oleh Nadhliyin lainnya semisal Ulil Abshar Abdalla, Emha Ainun Nadjib, nan pokoknya ialah Islam kultural, dan sporadis sekali Islam modernis nan struktural. Hal ini tercermin pula pada warta Kompas tentang dunianya mayoritas muslim Indonesia. Yakni muslim nan apresiatif dan toleran kepada kebersamaan dan kebangsaan. Muslim nan mendukung kestabilan dan kekuasaan di atas prinsip demokrasi, tak diskriminatif.



Berita Kompas Memojokkan Islam?

Adapula berita Kompas yang digemborkan ‘memojokan’ Islam, menyerang ulu hati umat Islam, dengan menampilkan tulisan para pemikir muslim nan nyeleneh . Hal itu malah membuktikan bahwa rakyat Indonesia kebanyakan bukanlah santri. Karena tulisan ‘muslim’ nan dimuat di warta Kompas sudah niscaya tulisan santri, mereka nan menguasai ilmu ke-Islaman baik teks maupun konteks. Ada tudingan liberal, tudingan itu terlalu lemah dan terburu-buru.

Lalu warta Kompas nan terlalu menjilat AS, mendukung Israel, menghinakan Palestina, nan tampaknya perlu dipakai baku bagus membaca suatu berita. Karena berdasarkan visinya. Kompas tak menyajikan pengkabaran nan dikabarkan dari sudut pandang mereka nan bertikai, apalagi membawa-bawa sentimen agama. Walau ada warta Kompas nan dibeli dari kantor warta asing, namun mereka juga memiliki wartawan sendiri di Timur Tengah. Namanya cukup akrab. Mustafa Abdurrahman dari Kairo.

Hal lain nan mencirikan warta Kompas , ialah beritanya ditujukan bagi kelas sosial nan lumayan mapan di NKRI. Mereka nan tak terlampau ambil bagian dalam gerakan politik partisan, termasuk partisan keagaamaan. Mereka ialah orang-orang sekuler nan membutuhkan ruang aktualisasi diri nan nyaman, buat berkerja, berkeluarga, sukur-sukur jadi kaya raya.

Jadi aspirasi politik mereka tak dapat didudukan menjadi Islami atau tak Islami walau kebanyakan pembaca warta Kompas itu mayoritas beragama Islam. Mereka punya kepentingan lain terhadap warta Kompas. Yakni perspektif modern, buat masa depan nan harus mampu diprediksi.

Simak saja surve i mengenai kalangan pembaca warta Kompas . Berbagai survei nan dilakukan forum riset independen maupun forum riset intern warta Kompas, membuktikan bahwa sebagian besar pembaca warta Kompas ialah kalangan masyarakat nan dikelompokkan dalam kelas sosial ekonomi menengah ke atas. Konklusi itu antara lain terlihat dari taraf kemampuan ekonomi rumah tangga dan jenjang pendidikan pembaca.

Dari sisi penghasilan misalnya, riset AC Nielsen (1999) menyatakan, proporsi terbesar (33,2%) responden pembaca warta Kompas berpenghasilan di atas Rp 1,5 juta per bulan. Sementara dari sisi pengeluaran, lebih dari separuh responden pembaca warta Kompas memiliki pengeluaran minimal Rp 700 ribu per bulan. Dari sisi pendidikan, hasil beberapa angket pembaca nan dilakukan, warta Kompas menempatkan kalangan berpendidikan tinggi sebagai basis pembaca.

Sekitar 46% pembaca berita Kompas memiliki latar belakang pendidikan sarjana S1 dan 7,5% responden pembaca warta Kompas tamatan pascasarjana. Berdasarkan citra ini, maka harian generik Kompas memang lekat pada kalangan menengah Indonesia, kelompok masyarakat nan selama ini identik sebagai agen perubahan dan ujung tombak demokratisasi bangsa. Dan mereka membutuhkan warta Kompas nan juga sinonim dengan gerakan menjaga demokrasi itu.

Selain itu, hal nan pula fundamental menjadikan berita Kompas ini, ialah jumlah karyawan Kompas sendiri nan ribuan, bergerak dalam pelbagai lini media, entah menjadi kontributor, loper, dan sebagainya. Bila Kompas modar, ke mana ribuan orang itu menggantungkan diri dan stabil dalam waktu nan singkat? Maka, mempertahankan warta Kompas, sinkron dengan mottonya hati nurani rakyat. Adalah membiarkan Kompas berkerja keras, demi kestabilan mayoritas di NKRI, maupun mayoritas pembaca tetap warta Kompas sendiri.