Kalimat Latif Ibnu Atha'illah - Memilih Teman

Kalimat Latif Ibnu Atha'illah - Memilih Teman

Kalimat Latif ialah kalimat bijaksana nan disusun oleh para tokoh nan telah meraih apa nan mereka impikan. Ada kalimat nan isinya tentang usaha buat bangkit dari kegagalan. Ada juga kalimat nan isinya tentang perjuangan meraih apa nan diimpikan.

Kalimat latif tidak hanya berhubungan dengan kuseksesan nan bersifat dunia. Bagi kaum Muslimin, kesuksesan akhirat juga mesti diraih. Caranya, kita belajar dari para ulama nan keilmuannya tak diragukan lagi. Ilmu nan dimilikinya selaras dengan apa nan diucapkannya.

Adalah artikel ini akan mengupas kalimat latif dari Ibnu Atha'illah. Tokoh sufi nan tak diraguakan lagi keilmuan dan ibadahnya. Kalimat nan bakal dikaji dalam artikel ini bersumber dari isi kitabnya nan berjudul "Al-Hikam".



Kalimat Latif Ibnu Atha'illah - Beramal dengan Iklas

Ibnu Atha'illah berkata:

" Idfan wujudaka fii ardhil khumuuli famaa nabata mimma lam yudfan la yatimmu nataijuhu ."

(Tanamlah wujud diri Anda pada tanah nan dalam. Karena tak akan tumbuh suatu tanaman pun, apabila ia tak ditanam.)

Maksud dari perkataan Ibnu Atha'illah ini adalah, tak ada amal nan lebih berbahaya dari keinganan agar terkenal dan dihormati orang lain. Karena itu, beramal mesti dengan penuh keikhlasan kepada Allah Swt. Beramal dengan keinginan agar terkenal sebagai pakar ibadah, akan menggiringnya menjadi jemawa dan lupa diri.

Karena itu, Ibnu Atha'illah mengibaratkan dengan menanam benih di tanah nan dalam tujuannya ialah agar kokohnya suatu ibadah sebab Allah Swt. Jika ditanam di luar, maka ia akan mudah goyah dan roboh.

Perkataan Ibnu Atha'illah ini senada dengan apa nan pernah ditanakan Nabi Isa as. kepada para sahabatnya. "Di mana biji itu tumbuh?" Para sahabatnya menjawab, "Di tanah." Nabi Isa as. pun menjelaskan bahwa hikmah tak akan tumbuh melainkan di dalam hati, seperti biji di dalam tanah.

Biji nan akan tumbuh menjadi batang dan buah lahir dari loka nan orang lain tak tahu keberadaannya. Tersembunyi di balik tanah. Akan tetapi, memberi kegunaan kepada manusia dan alam sekitarnya tanpa ada mengatakan apa-apa tentang pertumbuhannya tersebut.



Kalimat Latif Ibnu Atha'illah - Biarkan Allah nan Mengubahnya

Ibnu Atha'illah berkata,

" La tathlub minhu an yukhrijaka min haalatin liyasti'miluka fiimaa siwaaha palaw araadaka laasta'malaka min ghairi ikhraj ."

(Jangan engkau menuntut pada Allah agar mengeluarkanmu dari satu keadaan kepada keadaan nan lain. Apabila Allah Swt. telah menghendaki perubahan itu, niscaya Allah Swt. akan mengalihkanmu kepada keadaan nan baru, dengan tak perlu mengeluarkan Anda dari keadaan nan lama.)

Maksud dari perkataan ibnu Atha'illah dengan kalimah latif ini ialah sebagai berikut. Jika seseorang telah dipilihkan Allah Swt buat di suatu loka tertentu, baik pekerjaan, loka tinggal, jabatan, dan lain-lain, maka wajib baginya menerima dengan hati nan ikhlas. Ia tak boleh menolak, apalagi mengeluh. Artinya, tak perlu memohon kepada Allah, selain apa nan telah dianugerahkan kepadanya.

Selain itu, bisa dipahami juga bahwa tidak pantas bila menganggap apa nan telah diberikan Allah kepada dirinya tak sinkron dengan kondisi dirinya. Atau ia menganggap pekerjaannya sekarang, baik nan berhubungan dengan manusia maupun nan berhubunga dengan Allah, akan mempersempit kemampuan jihad dan ibadahnya. Karena konduite menilai negatif terhadap pekerjaan termasuk menyalahi etika dan sopan satun berikhtiar.

Yang terbaik dilakukan oleh orang nan beriman kepada Allah adalah, menerima suatu pekerjaan sebagai anugerah dari Allah Swt. nan patut disyukuri, sembari berusaha mencintai pekerjaan dan meningkatkan kualitas kerjanya. Hingga nantinya Allah nan merubah keadaan pekerjaan kita ke arah nan lebih baik.

Sikap seperti inilah nan menunjukkan seseorang memiliki iman. Ia bertahan dan sabar dalam pekerjaannya. Karena Allah juga akan menilai semua perbuatannya, sampai saatnya Allah akan memberikannya sesuatu nan baru, tanpa perlu meninggalkan pekerjaannya nan lama. Inilah konduite muslim nan yakin, istikamah, dan tawakal.



Kalimat Latif Ibnu Atha'illah - Memilih Teman

Ibnu Atha'illah berkata,

" La tash-hab man ya yunhidhuka haaluhu wa laa yadulluka 'ala Allahi maqaaluhu, rubbamaa kunta musiian paaraakal ihsaana minka syuhbatuka man huwa aswa-u haalan minka ."

(Janganlah kamu bersahabat dengan orang nan tak membangkitkan semangat beribadah, serta ucapan nan tak membawamu mendekati Allah Swt. Jika kamu berbuat salah, ia mengatakan bahwa itu ialah kebaikan. Sebab kamu bersahabat dengan orang nan perilakunya lebih buruk dari dirimu.)

Apa nan diucapkan Ibnu Atha'illah di atas mengajarkan bahwa persahabatan memengaruhi hayati manusia. Karena itu, memilih teman atau sahabat sama seperti memilih jenis makanan nan sinkron dengan selera dan bermanfaat buat kesehatan.

Berteman dengan orang nan saleh, maka akan menjadi orang nan saleh. Bergaul dengan orang nan berakhlak buruk, maka akan menjadi orang nan berakhlak jelek juga. Ucapan pun demikian. Nilai seseorang diukur berdasarkan ucapannya.

Ucapan nan baik (yang sinkron dengan apa nan diajarkan Rasulullah Saw.) ialah ucapan nan mampu memberi semangat dalam melakukan amal dan ibadah. Rasulullah Saw bersabda:

"Bergaul hendaklah dengan sesama orang nan beriman. Makan nan baik ialah makanan nan disajikan oleh orang nan bertakwa."


Dari sini, bisa dipahami bahwa teman atau sahabat nan baik ialah nan apabila berjumpa sebab Allah dan berpisah sebab Allah juga. Karena itu, layak menjadi pijakan apa nan dikatakan Ali bin Abi Thablib,

"Kawan nan paling buruk ialah mitra nan suka mencari-cari kesalahanmu, dan mengajakmu bermuka dua."



Kalimat Latif Ibnu Atha'Illah - Melihat Kedudukan Diri di Sisi Allah

Ibnu Atha'illah berkata,

" Idzaa aradta an ta'rifa qadraka 'indahu fan-zhur fiima dzaa yufiimuka ."

(Jika kamu ingin mengetahi kedudukanmu di sisi Allah, maka perhatikanlah di mana Allah telah menempatkan dirimu.)

Dapat dipahami dari apa nan dikatakan Ibnu Atha'illah, jika seseorang nan dekat dengan Allah maka dalam segala hal ia akan mendahulukan Allah dari nan lainnya. Ia tidak ingin ada kompromi antara hubungannya dengan Allah. Ia niscaya mendahulukan Allah dengan cara salat tepat waktu, zikir nan dilakukan selalu disiplin, membaca al-Qur'an, dan amalan sunnah lainnya nan telah menjadi kewajibannya.

Jika ia sudah perhatian terhadap ibadahnya, maka Allah akan perhatian dengannya. Karena tak mungkin Allah memperhatikannya, bila ia sendiri tidak menunaikan kewajibannya dengan baik dan paripurna kepada Allah. Artinya, kedudukan hamba di sisi Allah ialah bagaimana ia menjalankan amal ibadah nan menjadi kewajibannya. Ibadah nan menjadi penentu kedekatannya kepada Allah Swt.

Hal ini senada dengan perkataan Rasulullah Saw.:

"Jika kamu ingin mengetahui posisimu di sisi Allah, maka perhatikanlah posisi Allah di hatimu. Sungguh, Allah swt. menempatkan posisi seorang hamba di samping-Nya, apabila si hamba mendudukkan Allah di dalam dirinya."

Inilah empat kalimat indah dari ibnu Atha'illah nan memberikan makna nan dalam. Jika ingin menemukan kalimat-kalimat seperti ini dari Ibnu Atha'illah, Anda dapat mengkajinya langsung di dalam kitab al-Hikam.
Kitab al-hikam ialah kitab nan berisi kalimat latif dari Ibnu Atha'illah tentang akhlak dan memperbaiki diri di sisi Allah Swt.

Ada 170 kalimat nan mengajarkan Anda tentang etika seorang hamba. Meski kebanyakan kalimat latif nan terdapat di dalam buku ini mengenai interaksi hamba dengan Tuhannya, namun ada juga kalimat nan mengatur pola interaksi seorang hamba dengan hamba nan lain.