Media Massa Cetak Pasca-Kemerdekaan Indonesia

Media Massa Cetak Pasca-Kemerdekaan Indonesia

Media massa pada hakikatnya ialah sebuah alat atau mediator komunikasi nan digunakan buat menyampaikan pesan dari sumber warta kepada khalayak banyak. Media massa nan paling pertama dibuat di global ialah media massa cetak.

Seiring dengan berkembangnya teknologi, semakin banyak jenis media massa nan muncul, seperti media massa televisi, radio, dan internet. Meski telah bermunculan jenis-jenis media lain, media massa cetak tetap menjadi nan primer sebab harganya paling terjangkau dan paling mudah didapatkan oleh masyarakat dalam golongan mana pun.

Media massa cetak telah ada sejak lebih dari 200 tahun nan lalu. Media massa cetak pertama diterbitkan pada abad ke-17 di Eropa dengan donasi mesin cetak kreasi Gutenberg. Selanjutnya media massa cetak berkembang ke negara-negara lain, hingga ke Indonesia.

Kini, media massa cetak memiliki peranan krusial bagi masyarakat Indonesia. Namun, tak banyak nan mengetahui sejarah panjang global media massa cetak di Indonesia. Inilah informasi singkat mengenai sejarah media massa cetak di Indonesia.



Media Massa Cetak Zaman Kolonialisme Belanda

Media massa cetak di Indonesia telah ada sejak tahun 1744. Saat itu media massa cetak dikuasai sepenuhnya oleh kolonialisme Belanda. Oleh sebab itu, bahasa nan digunakan pun bahasa Belanda dan isi beritanya pun mengenai kehidupan orang-orang Eropa di Indonesia.

Umumnya, media-media massa nan terbit saat itu tak berarti secara politis, sebab isinya cenderung kepada iklan-iklan dan warta ringan. Tiras hariannya pun tak lebih dari 1.000 hingga 1.200 eksemplar.

Media massa cetak pertama nan terbit di Batavia pada tahun 1744 ialah “Bataviasche Nouvelles” yang—tentu saja—berbahasa Belanda. Sayangnya, surat kabar ini hanya bertahan selama dua tahun. Selanjutnya di tahun 1828, terbit “Javasche Courant” di Batavia. Media massa cetak ini memuat berita-berita seputar informasi lelang, kutipan berita-berita dari Eropa, dan berita-berita resmi pemerintahan kala itu.

Sementara itu pada periode nan sama, di Surabaya telah terbit media massa cetak “Soerabajasch Advertantiebland” nan kemudian berganti nama menjadi “Soerabajasch Niews en Advertantiebland”. Adapun di Semarang media cetak nan bertajuk “Semarangsche Advertiebland” dan “De Semarangsche Courant” telah terbit. Di Sumatra terbit “Soematra Courant” dan di Padang terbit “Handeslsbland”. Di Makassar terbit “Celebes Courant” dan “Makassarsch Handelsbland”.

Baru pada tahun 1858 media massa-media massa cetak berbahasa Melayu mulai diterbitkan. Berikut ini ialah beberapa media massa cetak berbahasa Melayu nan terbit di Indonesia. Selain nan disebutkan di bawah ini, ada media-media lain nan juga terbit di pulau-pulau lain di Indonesia.



Media Massa Cetak “Soerat Khabar Batawi”

Media massa cetak nan didirikan pada tahun 1858 ini terbit setiap hari Sabtu. Huruf nan digunakannya ialah campuran huruf-huruf Arab dan huruf-huruf Latin. Sayangnya, media massa cetak nan diedarkan di Batavia ini hanya sanggup bertahan selama tiga bulan.



Media Massa Cetak “Bintang Timur”

“Bintang Timur” terbit di Surabaya sejak tahun 1862. Media massa cetak ini merupakan salah satu media massa tertua nan menggunakan bahasa Melayu. Terbit satu kali dalam seminggu, redaksi surat kabar ini dipimpin oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama Van den Berg.



Media Massa Cetak “Bintang Barat”

Selain “Soerat Khabar Batawi”, perkembangan global media massa cetak di Batavia juga diramaikan dengan terbitnya “Bintang Barat” di tahun 1868. E.F. Wiggers ialah pemimpin redaksi media massa cetak “Bintang Barat”.



Media Massa Cetak “Hindia Nederland”

Pada waktu nan berdekatan, di Batavia juga muncul surat kabar lain bertajuk “Hindia Nederland”. Media massa cetak berbahasa Melayu ini terbit dua kali dalam seminggu. Pemimpin redaksi “Hindia Nederland” ialah L.Wollfe.



Media Massa Cetak “Bintang Johar”

Lagi-lagi di Batavia, pada 1870 terbit sebuah surat kabar nan diedarkan setiap minggu. Media massa cetak ini diterbitkan oleh golongan gereja, dengan pemimpin surat kabar bernama Crawford—seorang misionaris dari Inggris.



Media Massa Cetak “Slompret Melajoe”

Sejak tahun 1876, di Semarang telah diterbitkan surat kabar oleh pihak gereja Protestan setempat. Media massa cetak nan bernama “Slompret Melajoe” ini terbit setiap hari Sabtu. Pemimpin redaksinya ialah W. Hoe-zoo.

Jika Anda perhatikan, pemimpin redaksi dan penerbit media massa cetak nan disebutkan di atas ialah orang-orang asing (Eropa) nan sedang menjajah atau menyebarkan paham agama tertentu. Memang, pada masa awal perkembangannya, media massa cetak berbahasa Melayu dikuasai oleh mereka (karena memang orang-orang Eropa-lah nan memperkenalkannya ke Indonesia). Baru pada tahun 1881-an muncul koran-koran nan diterbitkan oleh orang-orang pribumi dan peranakan Tionghoa.



Media Massa Cetak Zaman Pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang, para pemerintah penjajah mengawasi isi warta media massa cetak di Indonesia dengan ketat. Sedikit demi sedikit, berbagai media massa cetak nan telah terbit sejak masa kolonialisme Belanda diambil alih. Bahkan beberapa surat kabar nan dianggap “membahayakan” dihilangkan atau digabungkan dengan surat kabar lain dengan alasan penghematan aturan biaya.

Tak cukup sampai di situ pengambilalihan pada media massa cetak Indonesia, Jepang juga mengambil alih Kantor Warta Antara dan mengubahnya menjadi Kantor Warta Yashima. Kantor Warta ini merupakan anak dari kantor warta Jepang nan berpusat di Domei. Dengan dikuasainya Kantor Warta Antara, Jepang bisa dengan leluasa memanfaatkan media massa cetak buat dijadikan alat propaganda politiknya.

Berita-berita nan diterbitkan media massa cetak pada masa pemerintahan Jepang harus memuat nilai-nilai nan memuji-muji pemerintahan penjajah Jepang. Pada perkembangan berikutnya, wartawan media massa cetak pribumi saat itu hanya berstatus sebagai pegawai saja, sedangkan orang-orang nan ditempatkan di posisi-posisi strategis dan tinggi ialah sumber daya manusia nan sengaja didatangkan langsung dari Jepang.

Pada masa pemerintahan penjajah Jepang, salah satu media massa cetak nan berhasil ialah “Tjahaja”. Surat kabar ini sudah berbahasa Indonesia meski isi beritanya segala informasi tentang Jepang. Berita-berita di surat kabar ini diambil dari Kantor Warta Jepang.

Diterbitkan oleh sebuah penerbit di Bandung, pahlawan nasional Oto Iskandar Dinata sempat menjabat sebagai kepala redaksi “Tjahaja” (tepatnya pada tahun 1942 – 1945). Selain beliau, ada beberapa nama lain nan pernah menjabat sebagai kepala redaksi media massa cetak “Tjahaja”, yakni Mohamad Kurdi dan R.Bratanata.



Media Massa Cetak Pasca-Kemerdekaan Indonesia

Seperti disebutkan di atas, pemerintah penjajah Jepang memanfaatkan media massa cetak sebagai alat pencitraan baik pemerintah. Melihat hal tersebut, para pejuang kemerdekaan Indonesia pun melakukan hal nan sama. Mereka memanfaatkan media sebagai alat perlawanan dengan menyabotase kegiatan komunikasi lewat media.

Pada masa perjuangan kemerdekaan muncul berbagai surat kabar nan bersikap pro-kemerdekaan, seperti “Soeara Merdeka” (Bandung), “Soeara Indonesia”, “Demokrasi” (Padang), “Kedaulatan Rakyat” (Bukit Tinggi), hingga “Oetoesan Soematra” (Padang). Di berbagai media massa cetak tersebutlah para pejuang meneriakkan perjuangan kemerdekaan dalam artikel-artikel nan mereka tulis.

Selanjutnya pada masa Orde Lama, terdapat perubahan nan signifikan pada media massa cetak dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi dekrit itu antara lain ialah embargo pers buat turut berpartisipasi dalam kegiatan politik. Dengan kata lain, media massa cetak dilarang menjadi alat propaganda kepentingan politik mana pun.

Selain itu, pemerintah mempersulit pembuatan izin cetak dan izin terbit bagi media massa. Media massa cetak nan berani menerbitkan tulisan-tulisan berisi opini atau nilai-nilai politik (baik pro atau kontra pemerintah) akan segera diberi surat peringatan.

Media massa cetak terlihat lebih bebas di masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai media massa lokal maupun nasional dan media massa pers kampus mulai hayati kembali. Sayangnya, kebebasan ini hanya terlihat dari luar. Pemerintah Orde Baru melakukan supervisi dan pengekangan kepada wartawan dan redaksi media massa cetak terkait konten media massa nan mereka terbitkan.

Berbagai warta nan dianggap merugikan pemerintah akan “ditindaklanjuti” dengan cara mencabut izin SIUP media massa nan memuat tersebut. Hal ini terjadi pada media massa cetak “Sinar Harapan”, “Detik”, “Monitor”, dan sebagainya.

Keadaan media massa cetak berubah total di era reformasi. Di masa nan serba transparan dan terbuka ini, pers dapat memberitakan apapun, bahkan hal-hal nan dianggap merugikan (hingga menjelek-jelekkan) pemerintah nan sedang berkuasa.

Meski kelihatannya media massa di era reformasi sudah meraih kebebasannya, kiranya lebih baik jika mereka lebih etis agar tak memberitakan hal eksklusif secara berlarut-larut hingga mengganggu stabilitas nasional. Lagi-lagi, kebebasan ini tak sepenuhnya mereka miliki sebab sebagian media massa dikuasai oleh pihak-pihak nan memiliki kepentingan politik.