Pembangunan Museum Tsunami Aceh

Pembangunan Museum Tsunami Aceh

Museum tsunami Aceh merupakan simbol kebangkitan masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia secara umum. Sekaligus loka mengenang kembali terjadinya bala dahsyat nan terjadi pada 26 Desember 2006.

Bencana tsunami nan melanda Aceh dan 7 negara lainnya telah merenggut lebih dari 240.000 jiwa. Anak-anak banyak nan menjadi yatim, perempuan banyak nan menjanda, demikian juga pria banyak nan kehilangan istri dan terpaksa harus menduda.

Tsunami datang sebagai rangkaian gelombang nan bisa terjadi dalam waktu lima menit sampai satu jam, ataupun jarak dalam waktu tersebut. Gelombang pertama belum tentu nan paling berbahaya. Ukuran gelombang bisa berbeda di lokasi nan berbeda. Gelombang tsunami nan sampai di daratan akan menyapu dan menghancurkan semuanya.

Tsunami di Aceh ini, seperti nan sudah di sebutkan sebelumnya, terjadi pada tahun 2004. Tsunami di Aceh ini, disebabkan sebab gempa nan berkekuatan 9,1 hingga 9,3 skala richer. Akibatnya, gelombang besar pun menghantam beberapa wilayah di Aceh, India, Sri Langka, Thailand, Maladewa, dan wilayah Afrika Timur.



Pembangunan Aceh Pascatsunami

Sistem Peringatan Tsunami harus dipasang di tempat-tempat rawan tsunami buat mencegah adanya korban jiwa jika tsunami tersebut terjadi. Sistem ini mencatat perubahan tekanan dari dasar bahari dan mengirimkan informasi ke sensor pada pelampung dan kemudian ke stasiun peringatan melalui satelit. Jika perlu, pusat-pusat peringatan mengeluarkan peringatan tsunami melalui stasiun radio dan TV buat daerah nan bersangkutan.

Indonesia sebagai negara kepulauan sekaligus rawan bala tsunami harus mempunyai sistem ini. Mungkin sudah ada beberapa nan dipasang, tapi sejauh ini, belum berfungsi optimal.

Terbukti, tsunami di Kepulauan Mentawai belum dapat dideteksi buat diumumkan kepada masyarakat setempat. Akibatnya, datangnya tsunami tak disadari dan akhirnya memakan korban nan tidak sedikit. Lebih dari 100 orang meninggal dan 500 lebih orang dinyatakan hilang. Jadi, Indonesia harus lebih melengkapi atau memasang tanda peringatan tsunami nan lebih canggih.

Sistem peringatan dini buat tsunami dipasang buat memberikan peringatan kepada warga akan datangnya tsunami. Di Indonesia sendiri, sistem peringatan dini tsunami dikembangkan oleh BMKG (Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika) bersama dengan instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi non pemerintah, dan negara-negara donor.

Dengan sistem peringatan dini buat tsunami ini, diharapkan pemberitahuan tentang adanya bahaya tsunami bias, diberikan maksimal 5 menit setelah gempa bumi terjadi.

Sistem peringatan dini tsunami ini bekerja dengan cara merekam terjadinya gempa dengan menggunakan seismograf , yaitu alat pencatat gempa, nan kemudian hasil catatan gempa ini akan dikirimkan ke BMKG pusat nan ada di Jakarta menggunakan satelit.

Data ini kemudian diolah oleh BMKG menggunakan peralatan canggih dan apabila data nan dihasilkan memberitahukan akan datangnya tsunami, BMKG akan memberikan hasil pengolahan data ini kepada masyarakat melalui pemerintah daerah dan media.

Selain itu, peringatan tentang adanya bahaya tsunami juga dikirimkan melalui SMS, Faximilie, telepon, Ranet (radio internet), FM RDS (Radio Data System), dan juga melalui website resmi BMG, yaitu www.bmg.go.id .

Indonesia sebagai negara kepulauan sekaligus rawan bala tsunami harus mempunyai sistem ini. Mungkin sudah ada beberapa nan dipasang, tapi sejauh ini, belum berfungsi optimal.

Terbukti, tsunami di Kepulauan Mentawai belum dapat dideteksi buat diumumkan kepada masyarakat setempat. Akibatnya, datangnya tsunami tak disadari dan akhirnya memakan korban nan tidak sedikit. Lebih dari 100 orang meninggal dan 500 lebih orang dinyatakan hilang. Jadi, Indonesia harus lebih melengkapi atau memasang tanda peringatan tsunami nan lebih canggih.

Dari pengalaman di lapangan, media nan paling efektif buat memberitahukan peringatan dini tsunami ini ialah radio. Karena itu, masyarakat di sekitar pantai nan berpeluang sangat besar terkena tsunami ini disarankan memiliki radio FM nan dapat digunakan buat mengetahui adanya bahaya tsunami.

Biarlah hal itu terjadi dan berlalu, tetapi nan kini menjadi tugas ialah bagaimana merekonstruksi kembali Aceh pasca tsunami menjadi seperti dahulu kala dan bahkan menjadi lebih baik.

Rekonstruksi Aceh nan dimaksud ialah pengembalian jati diri Aceh dengan perbedaan makna Islaminya dalam bentuk fisik dan mental. Solidaritas masyrakat atau LSM dan luar negeri terhadap bala tsunami perlu diacungi “ jempol ”, namun nan patut disayangkan ialah bahwa pemerintah lambat dalam merespon masalah tsunami Aceh.

Seharusnya pemerintah membuat Keppres spesifik buat penanganan tsunami di Aceh dalam jangka panjang dan pendek. Hendaknya pembuatan Keppres tetap mengacu pada jangka panjang nan meliputi misi, tujuan, perubahan, dan pengembangan Aceh.

Sedang penanganan jangka pendek meliputi tindakan dan penilaian hasil. Pemerintah tak serta merta mengambil kebijakan, akan tetapi perlu melakukan pendataan kebutuhan nan diperlukan masyarakat Aceh pada saat tsunami di Aceh.

Rencana jangka panjang pemerintah dalam rekonstruksi tsunami di Aceh ini hendaknya mengembalikan misi dan visi Aceh seperti sedia kala nan khas dengan perbedaan makna Islam. Jangan sampai ada kontaminasi budaya atau apapun nan justru menjadikan bumerang bagi Aceh pada khususnya dan NKRI pada umumnya.

Sementara jangka pendeknya dalam merekonstruksi Aceh nan terpenting kali pertama ialah dibentuknya independent committee nan spesifik menangani bala alam.

Tugasnya secara prosedural ialah menganalisa kebijakan dan pemantauan dalam menangani kejadian sebelum bala ( ex ante ) dan setelah bala terjadi ( ex post ). Hal ini dimaksudkan paling tak dalam pendistribusian sumbangan ke daerah bala bisa tercapai.

Rekonstruksi tsunami Aceh menjadi bagian krusial sebab termasuk dari bagian NKRI nan menggunakan syariat dalam mu’amalahnya. Pembangunan infrastruktur pendidikan dan layanan-layanan sosial hendaknya didahulukan.

Dalam rekonstruksi nanti diperlukan mapping wilayah dan membagi menjadi beberapa zona. Zona-zona ini dapat terbagi menjadi beberapa tingkatan, mulai dari zona konservasi sampai pada zona pemukiman.

Zona pertama, yaitu zona perlindungan. Zona ini mencakup daerah pinggir pantai nan secara langsung berbatasan dengan laut. Dilakukan pembangunan tanggul atau semacamnya dan paling krusial tanpa mengurangi nilai lingkungannya, yaitu pohon-pohon nan kokoh nan paling tak dapat mengurangi resiko tsunami.

Zona kedua, zono pertanian dan perkebunan, dan zona nan terakhir ialah zona pemukiman nan jauh dari pantai. Pemukiman ini terletak di daerah-daerah perbukitan atau daerah dengan ketinggian minimal 400 dpl, sehingga jumlah korban bisa diminimalkan.



Pembangunan Museum Tsunami Aceh

Museum tsunami Aceh dibangun atas inisiatif dari beberapa forum seperti Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) nan bertugas menjadi penyedia dana pembangunan museum.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nan bertugas dalam menyediakan dana buat perencanaan, panduan kelola museum, dan isi museum. Pemerintah daerah (pemda) Aceh nan menjadi pengelola huma museum, sampai Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) cabang Aceh nan membantu dalam meyelenggarakan sayembara planning museum. Alasan mengapa museum tsunami Aceh ini dibangun ialah sebagai berikut.

  1. Napak tilas para korban tsunami Aceh, terutama bagi keluarga nan ditinggalkan.
  1. Dijadikan sebagai center of study bagi generasi muda penerus bangsa mengenai aspek keselamatan, khususnya kejadian tsunami.
  1. Pusat pengungsian bala seandainya bala (tak hanya tsunami) kembali meluluhlantakkan bumi Serambi Mekkah.

Museum tsunami ini dibangun di atas huma seluas 10.000 meter persegi dan terletak di Kotamadya Banda Aceh dengan menghabiskan dana sebesar Rp140 miliar. Dari dana tersebut, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias menyumbangkan Rp70 miliar dan Rp70 miliar lagi dari Kementerian ESDM.

Design nan digunakan sebagai gambar museum tsunami sekarang merupakan hasil dari lomba nan diikuti oleh ribuan peserta. Tema nan diambil ketika itu ialah “Nangroe Aceh Darussalam Tsunami Museum (NAD-TM)”.

Lomba tersebut ditutup tertanggal 5 Agustus 2007 dengan hadiah total sebesar Rp.275 juta. Rinciannya, yakni kampiun pertama mendapatkan hadiah sebesar Rp100 juta, pemenang ke-II Rp75 juta, pemenang ke-III Rp50 juta, dan 5 designer kreatif mendapatan masing-masing sebesar Rp5 juta. Museum nan ini berada di kota Banda Aceh dan berjarak sekitar 1 km dari Mesjid Raya Banda Aceh. Museum ini memiliki fungsi sebagai berikut.

  1. Simbol kekuatan dan kebangkitan masyarakat Aceh nan telah tegar dan kuat dalam menghadapi bala dahsyat tsunami Aceh.
  1. Dijadikan sebagai objek sejarah nan dapat dikunjungi siapapun buat mengenang kembali para korbannya.
  1. Dijadikan sebagai pusat penelitian dan pembelajaran kegempaan.
  1. Untuk selalu mengingatkan kepada warga Aceh nan selamat khususnya, dan masyarakat Indonesia, bahwa negaranya merupakan negara rawan gempa sebab terletak di sabuk gunung berapi, dan cincin barah pasifik.

Semoga kita dapat selalu waspada dari setiap ancaman bala nan setiap saat selalu mengancam sebab wilayah Indonesia sebagai wilayah rawan bencana. Dengan adanya museum tsunami Aceh ini juga bisa meingingatkan kita akan selalu waspada pada bala alam.