Yayasan Peduli Gesang

Yayasan Peduli Gesang

Pernahkah Anda merasa terbuai ketika mendengar alunan lagu? Apalagi apabila lagu tersebut dibawakan oleh seseorang nan memiliki kualitas vokal terbaik? Tentu perasaan Anda akan terhanyut dibawa olehnya. Selanjutnya Anda tentu berkeinginan mengenal si pemilik suara tersebut tentunya. Bagaimana profil seniman yang membawakan lagu tersebut, dan seperti apa lirik lagunya, bukan? Hal ini merupakan reaksi wajar nan biasa dicetuskan oleh orang pada umumnya.



Realita Seorang Seniman

Di global musik sering terjadi nan demikian. Banyak pemilik suara-suara emas awalnya justru ditemukan secara kebetulan. Atau sebuah lagu nan meledak, ternyata dibuat oleh orang nan sangat bersahaja. Namun begitulah realita nan ada di global hiburan.

Dunia musik nan merupakan bagian dari global entertainment atau global hiburan, akan selalu haus dengan kemunculan penyanyi-penyanyi baru berbakat. Juga lagu-lagu baru nan bisa memanjakan telinga Anda. Kalau perlu, ada lagu nan sampai melegenda dan berumur panjang serta tak membosankan.

Semua ini tak luput dari peran dan profil artis nan menjadi ujung tombak di global hiburan tersebut.

Kadangkala penyanyi bersuara emas tersebut muncul dari kalangan nan tidak terduga. Tidak terbatas pada masalah usia, bisa saja muncul ketika telah berusia senja, ataupun masih kanak-kanak. Karena bakat atau talenta kadangkala baru terasah pada usia-usia nan sulit ditebak.

Dan munculnya bibit-bibit penyanyi dengan kualitas vokal terbaik pun tak dibatasi oleh kungkungan ekonomi atau sosial. Bisa muncul seorang bersuara merdu dari antara kumpulan anjal (anak jalanan), atau dari anak-anak pra sekolah, dan lain sebagainya.

Atau sebuah lagu nan mampu menjadi lagu favorit dan digandrungi banyak orang pada suatu ketika. Realita seorang seniman atau pencipta lagu memang demikian adanya. Tidak lepas dari kekaguman banyak orang dan keglamouran nan melingkupi, meski juga hayati mereka tak selalu glamour dan butuh dikagumi orang. Salah satunya ialah Gesang, sang maestro nan menciptakan lagu Bengawan Solo.



Tentang Gesang

Berbicara tentang profil artis, biasanya Anda akan selalu berasumsi tentang kemewahan nan glamour . Apalagi jika berbicara mengenai profil seniman pop, kita akan disuguhi dengan majemuk info tentang busana panggungnya nan puluhan juta, atau tentang harta kekayaannya, pesta-pesta mewah nan dihadirinya, bahkan seputar kehidupan pribadi. Namun tahukah Anda, bahwa kita memiliki seniman besar nan hayati sederhana, sekalipun nama dan lagu ciptaannya terkenal diseluruh dunia?

Benar, dialah Gesang Martohartono, lelaki sederhana kelahiran Surakarta tanggal 1 Oktober 1917. Dialah seniman penyanyi keroncong kawakan, sekaligus juga penggubah lagu “Bengawan Solo” nan tersohor itu.

Namun, di balik kesederhanaan diri Gesang, dia merupakan maestro musik Indonesia sejati. Lagu nan digubahnya “Bengawan Solo” mampu bertahan dalam lapisan waktu hingga sekarang.

Gesang ialah saksi hayati dari perjalanan Republik Ini.Sebelum Republik ini berdiri, dia sudah meniti karier sebagai penyanyi keroncong, mulai dari zaman Belanda, Jepang hingga Indonesia merdeka.

Bahkan tentara Jepang nan pernah menduduki bumi nusantara ini, banyak nan kemudian jadi fans beratnya. Setelah berakhirnya Perang Global II, para tentara Jepang membawa oleh-oleh berupa lagu “Bengawan Solo” ke tanah leluhur mereka, Jepang. Dahsyatnya, masyarakat Jepang ternyata juga sangat menyukai lagu ini. Maka populerlah pula lagu “Bengawan Solo” di Jepang.



Yayasan Peduli Gesang

Kecintaan dan penghormatan masyarakat Jepang nan mengagumi profil artis seperti Gesang ini, kemudian diwujudkan dalam sebuah organisasi nan bernama Yayasan Peduli Gesang (YPG). Keberadaan Yayasan ini, sepenuhnya atas inisiatif masyarakat Jepang dan diketuai oleh Ms. Yokoyama Kazue.

Setiap tahun anggota YPG datang ke Indonesia, spesifik buat mengunjungi Gesang pada hari ulang tahunnya. Bersama keluarga Gesang nan lain, YPG merayakan hari jadi Gesang dengan berbagai acara. Serta dimeriahkan dengan musik keroncong juga tentunya. Bahkan sejak lima tahun belakangan ini, seremoni itu selalu dilaksanakan di hotel.

Namun ironinya, seremoni hari jadi Gesang nan terakhir tahun 2009 lalu berlangsung sepi. Tidak dihadiri pejabat maupun kerabat sesama pemusik keroncong lainnya. Bahkan pihak-pihak nan selama ini mengklaim bahwa dirinya peduli dengan musik keroncong pun, tak tampak kehadirannya.

Sebenarnya sungguh sangat disayangkan. Di saat pengagum dan fans Gesang dari negeri asing seperti Yayasan Peduli Gesang (YPG) Jepang itu setia terhadap apresiasi musik keroncong, justru musik keroncong dan Gesang terpuruk di negeri sendiri. Ini dapat dikatakan sungguh ironis.

Profil seniman seharusnya tak hanya digadang-gadang sebab unsur kecantikan atau ketampanan belaka, namun juga harus diutamakan dari karya dan manifestasi konkret dari nan dikerjakannya. Dan Gesang, meski sederhana namun tetap menunjukkan derajat nan sebenarnya sebagai jiwa artis. Tetap setia kepada global musik, setia kepada global hiburan, dan setia terhadap pengapresiasian terhadap musik keroncong sebagai musik original di bumi Indoneisa. Selain juga musik dangdut, nan diklaim sebagai musik orisinil negeri ini.



Bengawan Solo: Riwayatmu Dulu

Bagaimanakah sebenarnya lagu “Bengawan Solo” sampai terlahir dari tangan Gesang? Apabila menilik dari satu per satu kalimat nan ada pada syair lagu, agaknya “Bengawan Solo” gubahan Gesang seolah menjadi saksi sejarah atas kondisi pada saat itu.

Kabarnya, bencana tentara Jepang nan menduduki Jawa, merasa mendapat ketenangan hati jika mendengar lagu ini. Apalagi irama lagu “Bengawan Solo” ini agak mirip dengan salah satu irama lagu rakyat Jepang.

Nuansa ini dengan sendirinya makin memupuk rasa rindu para serdadu Jepang akan kampung halamannya, dan dengan sendirinya mereka tergiring memasuki atmosfer nostalgia nan romantis.

Sayang sekali, para serdadu Jepang ini pada mulanya menganggap bahwa lagu Bengawan Solo ialah lagu anonim nan tak ada penciptanya. Mereka menganggap "Bengawan Solo", ialah lagu rakyat biasa. Kesalahpahaman ini berlangsung cukup lama, dan berakhir ketika mereka sukses menemukan titik terang, bahwa lagu “Bengawan Solo” ternyata ada penciptanya. Yakni Gesang.

Maka pada tahun 1980, Gesang diundang oleh Himpunan Persahabatan Sapporo-Indonesia, buat datang pada acara Festival Salju Sapporo. Pada momentum itulah buat pertama kalinya Gesang menginjakkan kakinya di tanah Jepang. Setelah peristiwa ini, Gesang sering diundang ke Jepang buat mengadakan konser musik keroncong.

Bahkan, Perhimpunan Persahabatan Jepang – Indonesia juga mengumpulkan dana dari masyarakat Jepang buat disumbangkan kepada Gesang. Hal itu dilakukan buat menghormati Maestro ini, sekaligus juga buat menebus kesalahan mereka, nan dulu menganggap lagu “Bengawan Solo” tak ada penciptanya.

Sebegitu besar rasa hormat dan cinta masyarakat Jepang terhadap Maestro musik keroncong ini. Rasa hormat dan cinta itu terus mereka tunjukkan hingga akhirnya Gesang Martohartono tutup usia pada 20 Mei 2010.



Pertahankan Bengawan Solo

Dengan tutup usia Gesang bukan berarti berakhir pula kemegahan lagu “Bengawan Solo” dengan sendirinya. Justru kini ialah tugas para pelaku sejarah bangsa dari generasi tua, para penerus bangsa dari generasi muda, buat tetap melestarikan salah satu warisan seni budaya Indonesia. Termasuk juga lagu keroncong “Bengawan Solo” ini.

Untuk mampu mengapresiasi musik-musik keroncong ada banyak caranya. Terlebih musik keroncong dapat dianggap musik tua nan mampu menembus semua kalangan usia. Karena sifat musiknya nan low profile dan menenangkan, tak mengarah pada satu genre, status sosial, usia dan satu kalangan eksklusif saja.

Mari pertahankan lagu Bengawan Solo, sebagai upaya melestarikan musik original Indonesia, dan bentuk penghargaan bagi profil artis seperti Gesang. Minimal dengan sesekali memutar dan mendengarkannya di saat-saat senggang Anda ketika bekerja di kantor, ketika memasak di rumah, atau saat menyetir di tengah stagnasi lalu lintas nan padat.

Nah, cobalah! Dan ternyata, asyik juga bukan?