Kekhawatiran Global Perfilman

Kekhawatiran Global Perfilman

Industri perfilman di Indonesia mengalami peningkatan. Bahkan tahun lalu tahun 2012 sukses masuk rekor box office. Hal ini menunjukkan adannya peningkatan. Apalagi beberapa Film islami terbaru nan sempat muncul cukup mendorong masyarakat ikut menyemarakkan global perfilman Indonesia.



Peningkatan Perfilman Indonesia

Film islami terbaru ayat-ayat cinta, ketika cinta bertasbih dan wanita berkalung sorban cukup menghentak global animo penonton dengan global layar lebar. Pada tahun 2012 tercatat meraih 18.633.027 penonton. Di Indonesia film nan beredar di bioskop mencapai 84 judul film sepanjang tahun.

Himpunan bisnis mencatat tahun 2012 ialah tahun kenaikan persentase animo penanton dari tahun ke tahun. Jika dibanginkan dengan tahun 2011 tahun 2012 mengalami peningkatan 23,98% dengan jumlah penonton 15.028.984 hal ini angka nan cukup pantastis.

Beberapa pebisnis bioskop film-film jebolan Indonesia mulai mengeluarkan geliat ke kreatifitasan pembuatan film. Salah satunya film islam terbaru nan menjadi incaran pembisnis bioskop. Apalagi belum lama ini keluar film ainun habibi nan juga mengebrak perfilman kembali. Bentuk dari keberlangsungan di industri perfilman di Indonesia akan tetap lancar jaya.

Di balik bumingnya film nan beredar, ternyata hampir semua selalu diawali dengan oleh sebuah novel. Banyak jebolan dari novel-novel kemudian di filmkan. Seperti nan kita ketahui buku-buku film islami terbaru nan sempat diputar diawali dengan bumingnya novel. Kini global cetak dan global digital dikolaborasikan menjadi satu.

Kolaborasi global cetak dan perfilman ini ternyata terbukti efektif bagi sineas buat mengungkapkan pesan dari novel dan film itu sendiri. mengingat di Indonesia banyak penerbit buku nan bermunculan, buku nan dikeluarkan pertahun pun juga banyak, namun hanya sedikit nan suka dan sadar dengan membaca.

Melihat peluang dan potensi ini, akirnya muncullah pemikiran buat menjadikan cerita berbentuk buku akirnya dibuat menjadi sebuah film. Tujuannya agar pembaca nan tak hobi atau tak sempat membaca dapat tahu jalur dan isi ceritanya.

Gebrakan pertama kali yaitu film islam terbaru pada masa itu bukti kesuksesan kerja sama antara media cetak dan media digital. Kerja sama ini juga menguntungkan pihak penerbitnya. Karena dari pihak penerbit itu sendiri juga cukup memicu penonton film buat membeli dan membaca versi cetak. Sehingga dengan kata lain dua hal ini saling berkaitan dan saling menguntungkan satu sama lain.



Kekhawatiran Global Perfilman

Kini perfilman mulai menggeliat lagi. Dulu pada tahun 1957 perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat dampak dari penutupan dari studio milik Usmar Ismail. Tercatat dari tahun 1987 hingga 1991 tak begitu banyak hasil karya perfilman Indonesia. Pada tahun 1991 pertahunnya hanya mampu memproduksi 25 film, padahal secara normal perfilman pertahunnya harusnya mencapai 70 hingga 100 film.

Tercatat tahun 1992 mengalami penurunan pecinta film hingga 50%. Ironis bentuk kekrisisan pada waktu itu Deppen RI pada tahun 1993 hanya mencatat ada 8 buah film nasional buat di produksi. Hal ini menunjukkan kekrisisan nan nyata. Banyak hal nan menyebabkan.

Krisis perfilman ini juga pernah terjadi di Eropa pada 1980 akibat dari munculnya elektronik seperti televisi dan video nan cukup mematikan pasar perfilman khususnya bioskop. Bentuk ke krisisisan perfilman di Indonesia lebih disebabkan sebab ketiak siapan dalam menghadapi permasalahan nan muncul di Eropa nan melanda Indonesia, di dukung dengan kualitas dan kapasitas perfilman saat itu.

Kejayaan perfilman ini ternyata masih menyisakan keprihatinan bagi pembuatan film itu sendiri. Bioskop tetap menjadi ketakutan tersendiri bagi sineas . Dari pembuat film itu sendiri sebenarnya menyasar wilayah-wilayah pedalaman. Dengan kata lain, Bioskop hanya bisa di nikmati di kota-kota besar. Sedangkan kota-kota nan loka tingalnya berada di pelosok tak dapat menikmati perfilman tersebut. Sekali dapat menikmati itupun hanya lewat layar kaca mereka.

Sedangkan pembuat film itu sengaja membuat perfilman bagi mereka nan masih ada di daerah-daerah. Sehingga tak tepat sasaran. Namun meskipun perfilman ini tetap bisa dinikmati, masih ada sisi lain kekhawatiran perfilman di Indonesia.

Membuat film sebagai bentuk komersial, agar tetap memberikan keberlangsungan pemain, dan kru itu sendiri. Indonesia lebih suka membuat film nan di ada-adakan, sengaja di ciptakan sendiri. sehingga pesan nan disampaikan kurang “greget”. Sedangkan film nan benar-benar film di Indonesi masih sangat terhitung sedikit. Misalnya seperti film nan dibuat oleh Riri Riza tentang film tentang Laskar pelangi dan film islami terbaru pada jamannya nan disutradarai oleh Hanung Bramantyo ada pesan nan benar-benar real.

Film nan disampaikan benar-benar dengan jelas memberikan insight bagi penikmatnya. Kekhawitaran apabila perfilman ini akan terus berlangsung dengan cara-cara mengada-ada, akan terjadi kekrisisan seperti tahun-tahun nan lalu.

Sejak dahulu perfilman Indonesia dan film import saling beriringan. Namun tetap saja film film dari luar tetap menarik perhatian banyak orang. Mengapat dapat terjadi seperti ini? apa nan membedakan perfilman import dan lokal? Padahal sama-sama global industry film namun these nya dapat berbeda.

Jika pada film import dalam perkembangannya tampil kalem alias slow down namun selalu mengalami kemajuan, berbeda dengan perfilman Indonesia nan justru semakin mundur? Mengapa dapat terjadi demikian? Usut punya usut perfilman di luar negeri selalu di dukung oleh dua kekuatan nan jelas dan kuat, yaitu Asosiasi Film Internasional (MPA) dan importer. Dimana dua kekuatan ini memiliki tujuan jelas buat usaha dagang.

Pemerintah terkadang mengalami kesulitan dengan keputusan nan pernah diambil soal perfilemen. Ketika perfilman Indonesia sedikit tergeser dengan film-film luar salah satu carannya dengan cara mengurangi atau mencabut film impor masuk ke dalam. Namun ketergantungan dengan film luar tetap kuat, lagi-lagi memang nan ditawarkan dari film luar berbeda dari film lokal . Disisi lain, film-film nasional tetap dipertahankan.

Pada awalnya perfilman 1976 hingga 1977 dalam rangka usaha mengurangi importer nan berdatangan di Indonesia saling menyepak terjang dan mengalahkan film lokal, pemerintahpun merangkul pengusaha-pengusaha buat memproduksi film, sekalipun pengusaha tersebut tak memiliki latar belakang seniman. Wajar jika pembuatan film terkesan asal-asallan. Disinilah perfilman Indonesia mulai meroket banyak.

Pada tahun 1978 hingga 1982 pemerintah kembali mengganti peraturan perfilman dari KIF menjadi Asosiasi importer film (AIF). Anggaran ini kemudian kembali menjatuhkan global perfilman lokal. Meskipun banyak perfilman nan gulung tikar dampak anggaran dari pemerintah ini, masih ada beberapa pemproduksi film di Indonesia nan gigih justru muncul film-film nan semakin berkualitas.

Akhirnya usaha para pembuat film Lokal sukses bersaing dengan perfilman importer pada tahun 1982 hingga 1985.

Itulah sekilas tentang global perfilman dari tahun ke tahun. Itulah penyebabnya mengapa film-film lokal masih banyak nan bergerak ditempat, kemungkinan sebab masih ada pengaruh bawaan dari masa-masa sebelumnya. Sehingga buat saat ini hal nan paling diperhatikan ialah buat tetap menciptakan global perfilman lebih menarik agar tak kembali terkalah oleh global internasional.