Masalah pada Seni Teater Nusantara

Masalah pada Seni Teater Nusantara

Pertunjukan seni teater nusantara ialah bagian dari media komunikasi tradisional, khususnya pada pertunjukan teater tradisi. Teater, biasanya diartikan sebagai gedung atau nan berkaitan denga loka pertunjukan. Kata teater berasal dari bahasa Yunani, theatron yang artinya "dengan takjub melihat, memandang". Jadi kata teater mewakili pengertian gedung pertunjukan.

Dalam perkembangannya kata teater mengalami perkembangan, arti teater menjadi lebih luas. Teater dikenal bukan hanya sebatas gedung pertunjukan saja, namun menyangkut proses kegiatan nan ada di dalamnya (gedung) dalam mewujudkan karya seni teater.



Teater Tradisional

Kehidupan seni teater Nusantara di Indonesia dewasa ini mengalami berbagai macam kemajuan, baik dalam bentuk pertunjukannya, apresiasinya, dan lain sebagainya. Namun pada dasarnya teater di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Teater tradisional nan dipentaskan dengan gaya modern atau
  2. Teater modern nan menggunakan gaya dan unsur-unsur penyajian teater tradisional

Dalam kenyataannya sekarang, kita sulit membedakan antara kedua bentuk tersebut.

Pembahasan seni teater nusantara walau ini lebih kepada teater tradisi/ teater tradisional atau sering di sebut juga teater daerah (karena sering dalam dialognya memakai bahasa daerah. Indonesia nan terbagi dengan berbagai macam daerah, suku dan budaya nan berbeda melahirkan bentuk pertunjukan tradisional nan berbeda pula). Namun juga tak ingin melupakan konteks nan terjadi pada teater umumnya.

Ciri-ciri nan khusus teater tradisi ialah sebagai berikut.

  1. Membawa dan menggambarkan karakteristik kedaerahannya sinkron dengan kebudayaan lingkungannya.
  2. Kebanyakan pertunjukan dilakukan dengan improvisasi, yaitu kata-kata atau adegan nan dilakukan dengan spontan, tak dipersiapkan terlebih dahulu.
  3. Pada pertunjukan teater tradisi, obrolan dan mobilitas biasanya dilengkapi dengan tarian.


Kelompok Teater Tradisi

Teater tradisi pada seni teater nusantara dikelompokkan menjadi beberapa jenis pertunjukan, yakni sebagai berikut.



1. Teater Rakyat

Ciri-ciri teater rakyat ialah sederhana, impulsif dan permaslahan/ tema nan diangkat ialah permasalahan nan dekat dengan kehidupan masyarakatnya (masalah sehari-hari). Misalnya:

  1. Makyong, Mendu dari daerah Riau dan Kalimantan Barat
  2. Randai di Sumatera Barat
  3. Mamandai di Kalimantan Selatan
  4. Arja, Topeng Primbon dari Bali – Ubrug, Banjet.
  5. Longser dari Jawa Barat
  6. Ketropak, Stambul, Jemblung, dari Jawa Tengah
  7. Kentrung, Topeng dalang di Jawa Timur
  8. Cekepung dari daerah Lombok
  9. Dermuluk dari Sumatera Selatan
  10. Topeng Blantek dan Lenong dari Jakarta


2. Teater Klasik

Teater klasik ialah teater nan lahir dari lingkungan kraton dan sudah mencapai hasil puncak, seperti; wayang kulit, wayang golek dan wayang orang.



3.Teater Transisi

Sumber teater transisi ialah dari teater tradisional, namun gaya pertunjukannya sudah dipengaruhi oleh teater barat. Teater jenis ini dapat dilihat pada zaman teater bangsawan, nan biasa disebut juga dengan lawak Stambul, sandiwara Dardanella. Teater transisi lebih terkenal dengan sebutan sandiwara. Contohnya sandiwara Srimulat dari Surabaya, sandiwara Sunda dari Jawa Barat, sandiwara Bangsawan dari Sumatera Utara.



Masalah pada Seni Teater Nusantara

Maraknya perkembangan nan terjadi pada global seni teater nusantara , menjadi sebuah dilema besar bagi para penggiat teater di segala bidangnya baik penulis naskah, sutradara, aktor, maupun penikmat setianya, para penonton nan sebenarnya malah dikategorikan sebagai penonton tua. Perfilman Indonesia walau menemukan titik pijakannya di dasa warsa ini, namun tak serta merta berkaitan bagus dengan global teater. Karena tak terasa fase perkembangan perfilman telah menyingkirkan sebagian besar ruang pertunjukan seni teater nusantara . Namun diakui atau tak perkembangan teater Indonesia memegang peranan krusial dalam membangun struktur pendukung seni dan film tersebut.

Dewasa ini global seni teater nusantara kembali menurun dan tak bisa dibanggakan dalam menghidupi dirinya, jika mengambil perbandingan dengan seni teater barat, di lihat bagaimana ketika teater realisme konvensional melalui rekayasa komersialisme menjadi mandul dan tak lagi kreatif. Namun pendapat inipun dapat dibilang masih berbau pleonasme. Karena ukuran maju tidaknya, selalu begantung pada taraf apresiasi dan keinginan khalayaknya sendiri.

Naskah seni teater nusantara dalam kesusasteraan Indonesia merupakan karya sastra nan masih terus berlahiran walaupun sifatnya masih terasa khusus, bagi suatu kelompok eksklusif saja. Nyatanya baik komersialisme ataupun tidak, naskah teater tak cukup memperkaya nilai kesusasteraan di Indonesia.

Penolakan masih saja berlaku atas seni sastra, padahal dengan kata lain supremasi memang absolut dipegang dramawan-sastrawan. Walaupun kritik terhadap artis ataupun sastrawan pada fenomena di lapangan selalu ditolak mentah-mentah nan walau menampakan sikap arogansi para pelaku kesenian tersebut, namun dapat dipahami sebab sisi strugle suatu karya tak dapat didikte oleh siapapun. Orang boleh membicarakan banyak hal tentang tak bertemunya seni teater nusantara dengan para sastrawan penyedia naskah. Berdasarkan pertimbangan bahwa teks sastra nan penyusun fokuskan pada naskah teater, inheren dalam proses komunikasi antara pengarang dan pembaca. Sehingga kesombongan dan sikap menutup diri dari para pembuat karya tersebut, hampir mustahil terjadi. Para pengarang pun manusia dewasa nan tahu caranya berkomunikasi dengan khalayak.



Masa Kelam Tak Boleh Kembali

Memang pernah dalam masanya. Naskah nan kononnya dijadikan sebuah kitab kudus bagi aktor dan pengarah adegan di masa lampau, sekarang hanyalah tulisan kosong pada lembaran-lembaran foto kopian nan buram dan tidak terurus. Tidak menjadi permasalahan, mungkin, apabila penulis naskah teater pun tak pernah mengindahkan keberadaan pembaca (khususnya aktor dan sutradara). Sebuah pencerahan nan kompleks akan estetika, sebab menyangkut semua aspek penentu estetika suatu naskah, di mulai dari pengarang hingga pembacanya.

"Penekanan Arief Budiman agar kita mengosongkan diri buat menggapai seni, aku kira juga kurang benar. Keaktifan dan persediaan-persediaan eksklusif sangat kita perlukan buat memahami seni termasuk seni modern. Hal ini pernah dikemukakan oleh Ernets Cassire. Saya beranggapan bahwa H.B Jassin (yang juga punya prinsip) nan sungguh banyak punya persediaan di hatinya akan lebih gampang menanggapi seni daripada murid SMA nan tidak tahu apa-apa atau kosong hatinya dari prinsip-prinsip seni. Saya beranggapan pula bahwa orang nan sudah mengetahui harmoni akan lebih bisa merasakan fungsi tidak selaras pada seni modern. Demikian juga orang nan sudah tahu alur dan penokohan tradisional akan lebih gampang melihat apa nan disebut anti alur atau anti penokohan. Pokoknya pengalaman kita, pengetahuan kita mengenal seni nan terdahulu akan membuat kita lebih peka buat menikmati seni nan baru semuanya itu bukan kita diamkan malah harus kita aktifkan buat memahami seni yan lebih rumit. Sejarah seni juga akan lekas memberi saran kepada kita apakah seni nan baru itu merupakan pengulangan dari seni nan telah pernah ada atau tidak." (M.S Hutagalung, 1975 dalam Saini, 1996)

Suatu desakan nan amat berat dari Hutagalung, sebab fungsi harmoni nan dimaksud di loka ini masih penyusun anggap bias bagi sebuah karya sastra seperti naskah seni teater nusantara yang sarat akan tanda-tanda. Jika nan dimaksud ialah nilai estetika nan lebih kental dengan sebutan estetika, maka perlu kiranya di teliti di suatu kesempatan. Tentunya penekanan ini amat perdana, memang tidaklah mungkin pekerja kesenian memiliki pekerjaan nan berhubungan dengan aktualisasi diri keindahan, tanpa dilatari oleh empiris akan adanya estetika alami dimana ia ada di dalamnya sebagai bagian nan terpadu.

Tapi sekali itu barangkali masa lalu. Karena teater saat ini dihuni pula oleh generasi muda nan tahu diri, paham dengan segala jenis kesempatan buat tampil, sehingga pendapat Hutagalung nan berusia 35 tahunan itu tak perlu di pahami sebagai bagian melekat dalam seni teater nusantara kita. Karena para pelakunya dari nan tradisional malah lebih dapat kasih pemahaman hebat. Menurut ki dalang, seni itu hadir untuk orang banyak, orang orang banyak tak suka, senimannya niscaya mikir.