Terkikisnya Budaya Dari Tahun ke Tahun

Terkikisnya Budaya Dari Tahun ke Tahun

:

Bila berbicara tentang berbalas pantun, terutama pantun nan berhubungan dengan pantun lamaran dan pernikahan, otomatis pikiran kita langsung diarahkan ke pernikahan ala Betawi. Salah satu karena nan menjadi mudahnya pikiran kita langsung terarahkan ke sana sebab seringnya media menceritakan atau memaparkan adat betawi waktu lamaran ataupun ketika mendatangi calon pengantin. Ada acara berbalas pantun, nan nama acaranya palang pintu.



Tradisi Unik nan Patut Dilestarikan

Ini menarik, sebab merupakan tradisi pernikahan nan bagus dan latif bila dilestarikan. Selain itu, orang-orang betawi pun selalu menyertakan roti buaya dalam hantaran ke acara pernikahan. Roti buaya ialah symbol tentang kesetiaan. Buaya kawin hanya sekali seumur hidup. Oleh sebab itu orang Betawi berharap bahwa pernikahan bisa langgeng dan saling setia seperti buaya. Memang asumsi nan agak aneh memikirkan bahwa seringkali ada bahasa “lelaki buaya” sedang buaya sendiri menjadi simbol kesetiaan di adat Betawi.

Pernikahan adat betawi nan lengkap mulai terkikis belakangan ini. Hal ini disebabkan pemikiran nan terlalu “modern”. Seperti kita tahu, sekarang pernikahan sudah mengarah pada pernikahan ala barat nan serba simpel dan langsung. Banyak adat-adat nan unik ditinggalkan sebab dianggap merepotkan. Sudah tak zaman dan sulit mencari orang nan dapat meneruskan tradisi, seperti pada tradisi pantun spesifik buat lamaran. Sudah banyak orang nan tak melakukannnya lagi sebab dianggap merepotkan dan rumit.



Beda Adat, Beda Tradisi

Pernah melihat tata cara berbalas pantun pada pernikahan ala Betawi? Berbalas pantun pada tradisi palang pintu sangat menarik. Wakil pihak pengantin perempuan mencegat wakil pihak laki-laki nan hendak masuk ke dalam rumah. Mempelai pria diharuskan berbalas pantun terlebih dahulu.

Intinya pihak perempuan menanyakan maksud dari pihak laki-laki datang ke kediamannya. Biasanya berbalas pantun ini akan diakhiri dengan aksi perkelahian pura-pura. Tradisi ini menarik buat disimak dari awal sampai akhir, bagaimana pertarungan antara jawara pihak perempuan maupun pihak laki-laki seolah tengah mengadu ilmu buat dapat masuk ke dalam rumah. Di zaman dahulu, pertarungan nan diperlihatkan memang dilakukan secara sungguh-sungguh. Namun di zaman sekarang, semua hanya merupakan simbol belaka.

Ternyata berbalas pantun dalam acara lamaran bukan hanya ada di Betawi . Di daerah Sumatera, terutama padang maupun Palembang tradisi ini sempat dilakukan. Di tradisi nan lebih kental lagi, pantun dalam acara lamaran harus dikemukakan bagi pihak laki-laki nan melamar. Namun di tradisi Padang, justru pihak wanita lah nan berbalas pantun sebagai pihak pelamar.

Sayangnya tradisi ini juga sudah bergeser jauh. Pergeseran, atau bahkan menghilangnya tradisi dikarenakan terjadinya pernikahan campur. Seringkali sebab pernikahan campur, maka salah satu pihak enggan melakukan tradisi pihak lainnya, begitu pun sebaliknya nan bututnya akhirnya tradisi campur pun dilaksanakan. Amannya malah memilih menggunakan tradisi nasional saja dengan alasan lebih nasionalis dan lebih membumi, sehingga tradisi dari loka kelahiran pun terlupakan.

Seperti di daerah Padang . Adat pernikahan dengan tata cara menyuarakan pantun spesifik lamaran sudah tak dipakai lagi dipernikahan orang Padang. Mereka cenderung menggunakan acara seremonial belaka nan kemudian disesuaikan saja dengan budaya setempat, atau buat memangkas waktu, biasanya seremonial tersebut ditiadakan sebab dianggap rumit, dan mahal.

Daerah Palembang pun sama. Karena panjangnya prosesi pernikahan, dan waktu nan tak memungkinkan, akhirnya adatnya pun dipangkas. Mempercepat prosesi ijab Kabul, dan kemudian berfoto dihadapan banyak orang.

Lain di Sumatera Barat, lain pula di Sumatera Selatan. Di Daerah Batak, atau Medan, orang-orangnya pun menggunakan bahasa pantun dalam acara seremonial semacam pernikahan. Acaranya super panjang, dilakukan dari pagi sampai sore hari. Orang Batak menganggap seremonial semacam pernikahan ialah sebuah gengsi nan dapat dipamerkan ke publik.


Oleh karenanya dilakukan secara besar-besaran. Memang tradisinya masih dipertahankan. Namun harap dicatat, itu berlaku buat orang Batak nan menganut agama Kristen. Untuk orang batak nan menganut Islam, tradisi tersebut tak dilakukan lagi. Acara dipangkas buat mempercepat prosesi pernikahan. Lantas, bagaimana nasib pantun buat acara lamaran atau pernikahan? Itu tergantung kebijaksanaan nan punya acara.



Terkikisnya Budaya Dari Tahun ke Tahun

Pernah melihat abrasi bahasa. Misalnya, bahasa nan semula begitu apik dan tertata rapih kemudian setiap tahun mengalami pergeseran sebab tren di masyarakat. Contoh paling kongkrit ialah abrasi bahasa Indonesia sebab penggunaan bahasa Alay anak muda.

Pengikisan terjadi disebabkan oleh banyak faktor, biasanya sebab muncul tren, kebiasaan, kemajuan teknologi dan kemudian menciptakan komunitas tersendiri. Inilah nan sering mengikis tradisi nan ada. Istilah “modern” sering dijadikan alasan buat mengikis budaya nan dianggap kuno.

Ujung-ujungnya, hal-hal nan baik dari kebudayaan perlahan mulai meleleh, bahkan cenderung pecah berkeping-keping sebelum menguap hilang oleh tuntutan zaman. Siapa nan patut disalahkan kalau sudah begini? Terlebih ketika kaum muda di kemudian hari malah tak ingat sama sekali tentang adat istiadat nan pernah ada. Dan akhirnya adat nan unik pun berlahan hanya akan jadi cerita dalam buku sejarah saja.



Bahasa dan Pantun

Bicara pantun, pastinya banyak nan tahu, terutama pantun anak-anak nan seringkali dijumpai di buku sekolah. “ berburu ke padang datar, bisa rusa belang kaki, berburu kepalang ajar, bagai kembang bunga tidak jadi”. Pantun nan sejak SD sudah ada di dalam buku panduan, jadinya lebih banyak mudah dihapal, walau kadang tak memahami isinya.
Itu ialah pantun nan sebenarnya berasal dari bahasa melayu. Banyak sekali jenis pantun lainnya nan biasanya bersifat kocak, mendidik, berisi ungkapan cinta dalam sebagainya.

Belakangan, bahasa pantun seringkali digunakan buat lucu-lucuan. Banyak komedian nan mengunakan pantun sebagai wahana menyampaikan bahan lucu-lucuanya. Pantun tak hilang dari masyarakat, namun berkembang seiring bertambahnya generasi dan bergesernya kemajuan. Pantun memiliki tempatnya sendiri di masyarakat.

Ditengah rusaknya bahasa Indonesia dengan Bahasa alainya anak muda, pantun masih tetap eksis dan hidup. Memang kondisinya pun berubah, tak lagi pantun dengan bahasa apik dan indah. Liukan kata nan menawan ataupun sarat akan makna dan pesan. Pantun akhirnya ya hanya saja kata-kata penghibur atau permainan kata buat mengungkapkan cinta, lucu-lucuan atau bahkan buat mengejek seseorang. Rasanya sedih melihat pergeseran bahasa nan terlampau jauh dari kesan aslinya.

Harusnya pantun hayati dengan estetika bahasanya, dan menjadi salah satu budaya bahasa nan tetap menawan ketika diucapkan oleh seseorang. Seperti permainan berbalas pantun dalam banyak acara seremonial. Berbalas pantun ketika bertutur kata lewat makna, ataupun berpantun buat memberi nasihat. Di Sumatera Barat, pantun biasanya sarat akan makna penuh nasihat dan cerita, sehingga nan mendengarkan pun merasa asyik ketika menerima tuturan berupa pantun tersebut.

Bahasa ialah cerminan bangsa, berbahasa nan baik menunjukkan ciri nan baik. Semoga tradisi berbahasa nan baik nan dimiliki oleh banyak suku di Indonesia tak punah oleh pesatnya kemajuan zaman nan serba cepat dan digital ini.