Prioritas Masalah

Prioritas Masalah

Sebuah terobosan baru dikemukakan oleh Menteri Pendidikan Indonesia, Muhammad Nuh. Usulan nan disampaikan oleh mantan praktisi pendidikan ini ialah dimasukkannya pelajaran anti korupsi ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Salah satunya dengan menyebarkan gambar korupsi di berbagai sekolah.

Dalam rancangan tersebut, direncakan materi tentang anti korupsi akan mulai diajarkan di sekolah. Hanya saja bentuknya bukan sebagai sebuah mata pelajaran tersendiri, namun akan diselipkan di setiap mata pelajara nan sudah ada. Termasuk mata pelajaran non moral seperti fisika, kimia, biologi dan matematika.

Menjadi sebuah pertanyaan tersediri atas gagasan dari sang menteri. Apakah hal ini hanyalah sebuah proyek latah buat menarik popularitas? Dan benarkah dengan planning ini budaya korupsi dapat dihilangkan? Bahwa dengan mempopulerkan gambar korupsi di sekolah dan menyisipkan materi tentang korupsi, merupakan hal nan cukup baik buat dilakukan. Namun, kiranya perlu dilakukan sebuah kajian nan lebih mendalam, benarkah dengan mengusung ide pemasangan gambar korupsi dan materi korupsi dalam kurikulum mampu mengurangi masalah tersebut di Indonesia.

Selain itu dengan mengusung isu korupsi di bidang kerjanya, maka akan memunculkan sebuah opini bahwa kementrian pendidikan nasional nan dibawahinya turut mendukung program pemberantasan korupsi. Inilah beberapa kemungkinan nan dapat dimunculkan, dari sebuah gagasan nan terlihat sangat ambisius di tengah carut marutnya masalah pendidikan di Indonesia saat ini.

Di antaranya masih belum usainya kontroversi Ujian Nasional, ribuan gedung sekolah nan membutuhkan perawatan dan pembangunan. Pun, tentang nasib para guru partikelir dan guru tak tetap nan masih saja terpinggirkan pembahasannya. Bukan berarti masalah korupsi tak perlu dibahas oleh pak Menteri. Namun kiranya ada hal nan lebih prioritas buat dibicarakan dan diselesaikan. Mengingat permasalahan-permasalahan tersebut sudah muncul terlebih dahulu.

Ini akan jauh lebih bijak, daripada sekedar menciptakan wacana baru nan justru hanya akan menimbulkan polemik baru. Baik itu di taraf wacana, maupun di taraf aplikasi apabila gagasan ini jadi dilaksanakan. Karena hal ini sama saja menambah masalah baru, sementara masalah lama masih belum terselesaikan.

Seperti belum adanya spesialisasi guru dalam mengajar nan disesuaikan dengan kompetensinya. Akibatnya, masih banyak ditemui guru nan mengajar bukan pada bidang pelajaran nan dikuasainya. Ini dampak dari masih minimnya jumlah tenaga guru nan memiliki kualifikasi khusus.

Selain itu, realita di lapangan menunjukkan masalah besar nan muncul pada guru dengan status guru bantu atau guru tak tetap. Dengan penghasilan nan kurang memadai, banyak guru nan terpaksa harus mengajar di beberapa sekolahan demi mengejar gaji buat dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Akibatnya, pendidikan kurang mampu memenuhi standard mutu pendidikan nan mungkin pencapaiannya dapat lebih. Hal ini sebab banyak guru nan konsentrasi mengajarnya terpecah sebagai dampak harus mengajar di beberapa sekolah. Hal ini khususnya dilakukan para guru dengan status GTT dan guru bantu demi mendapatkan penghasilan tambahan.



Prioritas Masalah

Kondisi ini tentu bukan sebuah hal nan sepele dalam proses peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Sehingga harus dilakukan sebuah upaya konkret nan bukan sekedar wacana saja. Guru, apapun statusnya baik itu PNS ataupun GTT tak boleh dibedakan penyikapannya. Terutama dalam hal kesejahteraan, jangan sampai terjadi kesenjangan nan menyolok.

Jangan biarkan para guru terbagi konsentrasi mengajarnya, hanya sebab masih harus memikirkan kebutuhan rumah tangganya. Guru harus dikondisikan berada dalam konsentrasi penuh pada pendidikan, ketika harus berbicara di depan kelas. Sehingga materi dan kualitas nan diberikan dalam proses mengajar seorang guru khususnya GTT, dapat dioptimalkan.

Hal-hal inilah nan seharusnya lebih didahulukan dalam proses memajukan pendidikan Indonesia. Kualitas pendidikan, merupakan tujuan dari setiap program pendidikan Indonesia. Karena hal ini sinkron dengaan amanat nan tertuang dalam pembukaan UUD 1945. sehingga akan lebih baik jika dalam pembuatan kebijakan terkait dengan pendidikan Indonesia, mengacu pada intisari pendidikan Indonesia saja.

Jika intisari pendidikan Indonesia sudah dapat dicapai, barulah kiranya program pendidikan Indonesia mulai dilangkahkan pada hal-hal baru nan bersifat mendukung program pembangunan Indonesia secara umum. Sedangkan buat saat ini, di mana masalah generik pendidikan masih banyak nan belum terselesaikan kiranya belum layak jika harus melangkah membuat progam baru nan justru berpotensi menambah masalah di global pendidikan.

Tentang proses pemberantasan korupsi, kiranya pada saat ini nan diperlukan bukan sekedar penanaman pemahaman arti korupsi. Hal ini terkait dengan konsep masalah korupsi nan membutuhkan penanganan dari berbagai sudut pandang buat dapat menyelesaikannya.

Dan pada ini nan dibutuhkan oleh masyarakat terkait pemberantasan korupsi ialah masalah penanganan dan ketegasan hukum. Kedua hal ini lebih sangat dibutuhkan demi menciptakan sistem nan terbebas dari gurita korupsi nan sudah menjalar ke mana-mana.

Sementara proses pendidikan antikorupsi lebih dibutuhkan buat penanganan pada jangka panjang. Namun hal ini sebenarnya bukan hal nan urgent atau mendesak buat dilakukan. Mengingat budaya korupsi ialah sebuah budaya nan terbentuk bukan dari proses pendidikan.

Namun, budaya korupsi ialah sebuah sistem nan terbentuk sebab ada sebuah konduite terdahulu nan menjadi contoh bagi kelompok di bawahnya buat meneruskan budaya tersebut. Sehingga tak sepenuhnya tepat alasan buat mencegah korupsi dengan memberikan pendidikan antikorupsi kepada anak-anak sekolah.

Justru hal ini akan menjadi sebuah kontradiktif apabila pendidikan antikorupsi ini diberikan sejak sekarang. Mengingat budaya korupsi nan saat ini muncul masih demikian kuat melekat. Semua sektor tidak ada nan lepas dari budaya jahiliyah ini.

Anak-anak nan mendapat pendidikan anti korupsi, hanya akan melihat sebuah ketimpangan antara teori nan mereka lihat di lapangan. Dan bukan tak mungkin justru mereka akan melihat bahwa teori nan ada, tak dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Yang terpenting saat ini bukan mengedepankan pendidikan antikorupsi. Namun memberikan contoh antikorupsi. Barulah, setelah contoh tentang anti korupsi itu didapat pendidikan tentang mengapa harus antikorupsi itu diberikan. Sehingga anak-anak akan dapat diselaraskan antara apa nan dilihat dan didengarnya tentang sebuah konsep anti korupsi.

Pendidikan antikorupsi ialah bekal jangka panjang. Sedangkan pemberantasan korupsi ialah langkah pendek nan harus dilakukan dengan segera. Bukan berarti pendidikan antikorupsi tak krusial buat dilakukan. Namun ada prioritas nan perlu didahulukan dalam sebuah program. Sehingga nantinya program nan dijalankan tak menjadi sebuah program nan sia-sia, meski memiliki tujuan bagus. Dan menunda program antikorupsi dalam kurikulum, bukan sebuah langkah memalukan buat dikerjakan. Menunda bukan berarti gagal, namun justru menyiapkan langkah buat hal nan lebih baik demi terciptanya program nan berkualitas.

Seiring penundaan program, pihak nan terkait dapat saling menyiapkan diri. Guru dapat mulai belajar tentang program antikorupsi nan sinkron dengan perkembangan pola pikir siswa. Dimulai dari hal nan ringan, hingga materi berat tentang antikorupsi nan bersifat luas. Bagi pihak penegak hukum, harus bergerak serius dan cepat. Mengapa serius menjadi didahulukan? Sebab, selama ini kesan bahwa penanganan korupsi masih main-main demikian nyata. Penanganan koruptor satu dan lainnya tidaklah memiliki kejelasan. Ampunan demi ampunan demikian mudah di dapatkan dalam penjara. Tidak ada cetak biru nan tegas tentang program penanganan korupsi di negeri ini sehingga keseriusan ini menjadi hal nan perlu diutamakan. Kecuali jika para para penyelenggara negeri ini, tak lagi malu buat ditertawakan oleh siswa sekolah nan sudah paham arti tentang korupsi.