Jenderal AH Nasution: Pascapengakuan Kedaulatan Hingga 1965

Jenderal AH Nasution: Pascapengakuan Kedaulatan Hingga 1965

Abdul Haris Nasution dilahirkan di Kotanopan, Sumatra Utara pada 3 Desember 1918. Beliau merupakan peletak dasar sistem gerilya pada masa revolusi mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda.

Jenderal AH Nasution pernah mengalami percobaan penculikan dan pembunuhan nan dilakukan Gerakan 30 September pada 1 Oktober 1965. Beliau sukses meloloskan diri, tetapi putri keduanya terbunuh dalam peristiwa tersebut.



Jenderal AH Nasution: Pendidikan dan Pekerjaan

Meski lahir di Sumatra Utara, Abdul Haris Nasution menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertamanya di Jogjakarta. Beliau lulus dari HIS di Jogjakarta pada 1932. Abdul Haris kemudian melanjutkan ke HIS di kota nan sama dan selesai pada 1935. Pendidikan menengah atas dijalaninya di AMS Bagian B di Jakarta.

Setelah lulus dari AMS pada 1938, Abdul Haris Nasution kembali ke Sumatra. Nasution tak kembali ke kota kelahirannya, tetapi menjadi guru di Bengkulu. Antara 1939 – 1940, Nasution mengajar di Palembang.

Ternyata, Nasution muda lebih tertarik pada global militer. Beliau berhenti mengajar dan masuk Akademi Militer di Bandung. Pendidikan militernya terhenti sebab Jepang masuk Indonesia (waktu itu masih bernama Hindia Belanda) pada 1942. Pada zaman pendudukan Jepang Nasution bekerja sebagai pegawai Kotapraja Bandung.



Jenderal AH Nasution: Masa Revolusi Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan, Abdul Haris Nasution kembali ke global militer. Beliau diangkat menjadi Komandan Divisi III Tentara Keamanan Rakyat (TKR)/Tentara Republik Indonesia (TRI) Bandung. Setelah adanya reorganisasi Tentara Nasional Indonesia jabatannya berubah menjadi Komandan Divisi I Siliwangi Bandung. Jabatan ini diemban Nasution hingga 1948.

Setelah ditandatanganinya persetujuan Renville pada Januari 1948, Divisi Siliwangi harus hijrah ke Jogjakarta. Di Jogjakarta Abdul Haris Nasution diangkat sebagai Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang (MBAP). Selanjutnya, Nasution menjadi Panglima Komando Jawa hingga 1949.



Jenderal AH Nasution: Pascapengakuan Kedaulatan Hingga 1965

Pada 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Abdul Haris Nasution kemudian diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Saat menjabat KSAD, Jenderal AH Nasution bersama TB Simatupang, Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia, bermaksud mengadakan restrukturisasi dan reorganisasi angkatan bersenjata.

Rencana tersebut menimbulkan perpecahan di tubuh angkatan bersenjata. Jenderal AH Nasution dan Simatupang didukung Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX. Para penentang restrukturisasi dan reorganisasi mencari dukungan dari partai-partai oposisi di parlemen.

Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi tentara buat menunjukkan kekuatan dan menentang campur tangan sipil dalam urusan militer. Mereka mengepung istana presiden dan menuntut pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Setelah Peristiwa 17 Oktober tersebut, Nasution diberhentikan dari jabatan KSAD.

Selama tak menjabat KSAD, Nasution menulis buku. Buku tersebut, Dasar-Dasar Perang Gerilya , kemudian menjadi buku tentang gerilya nan paling sering dikaji, di samping buku Mao Zedong tentang masalah nan sama.

Pada 28 Oktober 1955 Abdul Haris Nasution ditunjuk kembali sebagai KSAD. Jabatan ini dijalaninya hingga 23 Juni 1962. Jabatan KSAD diserahkan kepada Mayor Jenderal Ahmad Yani. Jenderal Abdul Haris Nasution kemudian diangkat sebagai Menko Hankam/KSAB.

Pada 1 Oktober 1965, sekelompok tentara nan tergabung dalam Gerakan 30 September (G 30 S) bermaksud menculik tujuh orang jenderal, termasuk Nasution. Nasution lolos dari penculikan dan pembunuhan, tetapi putri beliau, Ade Irma Suryani, tertembak dan meninggal dalam peristiwa tersebut.



Jenderal AH Nasution: Pasca G 30 S

Sejak 1966 Abdul Haris Nasution menduduki jabatan baru sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Di bawah kepemimpinannya, MPRS mengesahkan beberapa ketetapan penting, seperti pelarangan Marxisme-Leninisme, pembatalan pengangkatan Sukarno sebagai presiden seumur hidup, dan keputusan buat mengadakan pemilihan generik pada Juli 1968.

Pada 12 Maret 1967, MPRS memberhentikan Sukarno dari jabatan presiden. Soeharto kemudian diangkat menjadi penjabat presiden. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968, Soeharto diambil sumpahnya sebagai presiden. Soeharto menganggap Nasution sebagai rival.

Pada 1969 Nasution dilarang berbicara di Seskoad dan Akademi Militer. Pada 1971 tiba-tiba beliau dipensiunkan dari ABRI pada usia 53 tahun. Padahal seharusnya Nasution pensiun 2 tahun kemudian. Pada 1972, Nasution digantikan oleh Idham Chalid sebagai Ketua MPR.



Jenderal AH Nasution: Oposisi Terhadap Orde Baru

Pada 1977, seusai pemilihan generik nan diyakini penuh kecurangan dan dimenangkan oleh Golongan Karya, Nasution menyatakan terjadi krisis kepemimpinan di tubuh Orde Baru.

Bersama mantan Wakil Presiden Hatta, Nasution mendirikan Yayasan Forum Pencerahan Berkonstitusi (YLKB). Dalam sebuah rendezvous YLKB, Nasution menyatakan Orde Baru tak benar-benar menjalankan Pancasila dan UUD 1945.

Bersama beberapa orang tokoh, seperti Ali Sadikin, Hugeng Imam Santosa, dan Mohammad Natsir, Nasution menandatangani Petisi 50 dan mengirimkannya ke DPR pada 13 Mei 1980.

Petisi tersebut berisi ungkapan keprihatinan atas penafsiran Pancasila oleh Soeharto nan hanya mementingkan tujuannya sendiri. Petisi 50 juga meminta ABRI tak berpihak dalam politik. Soeharto menanggapinya dengan mencekal penanda tangan Petisi 50.



Jenderal AH Nasution: Rekonsiliasi dengan Soeharto

Pada Juli 1993 Soeharto mengundang Jenderal AH Nasition Nasution ke istana. Keduanya kembali mengadakan rendezvous pada 18 Agustus 1993. Dalam sebuah wawancara pada 1995, Nasution menyatakan bangsa Indonesia harus mengadakan rekonsiliasi agar bisa manunggal di bawah kepemimpinan Soeharto.

Pada peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1997, Nasution dianugerahi pangkat kehormatan jenderal besar bersama Soedirman dan Soeharto. Jenderal Besar Abdul Haris Nasution mati pada 6 September 2000 di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.



Museum Jenderal AH Nasution

Museum Jenderal A. H. Nasution atau Museum Sasmitaloka Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution merupakan salah satu museum pahlawan nasional nan berlokasi di Jalan Teuku Umar No. 40, Jakarta Pusat, Indonesia. Museum Jenderal A. H. Nasution terbuka buat umum. Museum ini beroperasi setiap Selasa hingga Minggu, dari pukul 08:00 hingga pukul 14:00 WIB. Sementara itu, Senin, museum ini ditutup buat umum.

Museum Jenderal AH Nasution ini asalnya ialah kediaman pribadi dari Jenderal Besar A. H. Nasution. Rumah ini ditempati oleh Jenderal A. H. Nasution bersama keluarga sejak menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada 1949 sampai beliau mati pada 2000. Setelah Jenderal A. H Nasution meninggal dunia, keluarga Nasution pindah rumah pada Juli 2008 atau sejak dimulainya renovasi rumah pribadi tersebut menjadi museum.

Di rumah ini Jenderal AH Nasution telah menghasilkan banyak karya nan dipersembahkan buat kemajuan bangsa dan negaranya. Loka ini pun menjadi saksi bisu peristiwa G 30 S/PKI nan hampir merenggut nyawa Jenderal Besar A. H Nasution. Dalam peristiwa mengerikan tersebut, Jenderal A. H. Nasution sukses lolos dari pembunuhan. Namun, putri kedua beliau, Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean terbunuh oleh pasukan PKI.

Setelah mengalami renovasi, rumah pribadi Jenderal AH Nasution ini akhirnya dijadikan museum. Museum ini diberi nama Museum Nasional Jenderal Besar A. H. Nasution atau Museum Sasmitaloka Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution. Museum ini diresmikan pada 3 Desember 2008 bertepatan dengan hari lahir Jenderal A. H. Nsution.