Super Indonesia dan Indonesia Yang Super

Super Indonesia dan Indonesia Yang Super

Tidak banyak nan menyadari bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan peleburan istimewa dari filsafat-filsafat nan ada sebelumnya atau nan muncul kemudian. Pancasila bisa dikatakan berada dalam titik ekstrem rendezvous sekaligus perpisahan dua ide nan berbenturan. Kenapa dikatakan demikian ? Ini tidak terlepas dari Pancasila sebagai sistem filsafat nan mempertemukan dua sistem filsafat secara ekstrem, sebagaimana nan tergantung di dalam kelima sila nan ada pada Pancasila.

Sebagaimana dimaklumi di global ini terdapat berbagai macam sistem filsafat, namun dari semua sistem filsafat tersebut ada dua besar sistem filsafat nan saling berbenturan atau saling bertolak belakang. Secara sederhana kedua sistem filsafat global tersebut ialah katakanlah sistem spiritual di satu sisi dan di sisi lain ada sistem sosial. Pada sistem filsafat spiritual mengemukakan ide utamanya yaitu bahwa dalam segala aspek kehdupan manusia, dipastikan adanya divine intervention (campur tangan Tuhan dalam setiap tindakan manusia), ide nan lahir dari keyakinan bahwa Tuhan ada dan mengungguli manusia. Sementara secara berseberangan di sisi lain ialah sistem filsafat sosial nan mengemukakan ide tentang segala sesuatu dalam kehidupan ini hanya dan hanya mengandalkan keberadaan manusia nan berdiri sendiri, tak memerlukan "bantuan" Ide Murni dari Tuhan; manusia nan bebas berkehendak di atas segalanya. Namun tetap sistem filsafat nan kedua ini mengakui akan adanya hukum sebab-akibat.

Lalu, dimana Pancasila sebagai sistem filsafat ? Kalau kita perhatikan sila-sila nan ada di dalam Pancasila serta butir-butir klarifikasi dari masing-masing sila dari Pancasila tersebut, Pancasila sebagai sistem filasafat mencoba menggabungkan antara sistem sosial (sekular) dengan sistem spiritual (agama). Secara sederhana klarifikasi dari hipotesis bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat menggabungkan antara sistem sekular dengan sistem agama terlihat dari sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan pada sila kelima nan berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Artinya apa? Pancasila sebagai sistem filsafat mengakui bahwa keberadaan dan kehidupan manusia dipastikan tergantung kepada campur tangan Tuhan (ide sistem filsafat agama), namun pada kesempatan lain Pancasila sebagai sistem filsafat mengakui pula tentang keadilan bagi seluruh rakyatnya nan menjadi ide dasar dari pemikiran filsafat sekular.

Upaya Pancasila sebagai sistem filsafat nan menggabungkan antara ide sistem sosial sistem agama, tentu saja tak terlepas dari para founding father bangsa Indonesia nan merupakan gabungan dari tokoh-tokoh agama dan tokoh sosialis. Pemikiran-pemikiran keduanya kemudian menghasilkan butir-butir Pancasila seperti nan dikenal sekarang ini. Sekalipun kalau mau menelisik sejarah, sebenarnya butir Pancasila seperti nan dikenal sekarang ini ialah bentuk Pancasila perubahan.

Kalau merujuk kepada Piagam Jakarta, maka dalam sila pertama Pancasila tersebut ada tambahan kata-kata "dan menjalankan perintah agama bagi pemeluknya". Penghilangan kata-kata terakhir tersebut merupakan bentuk kompromi antara tokoh agama dengan tokoh sosialis, agar membantun bangsa Indonesia ini sebagai negara demokratis dan bukan negara agama.



Sila Pertama dan Pendalamannya

Sila pertama jika dirunut dari sejarahnya, jelas berkembang dari lingkup agama. Semua agama (bahkan politeisme) niscaya merujuk adanya Yang Mahatinggi (dalam politeisme, niscaya ada Dewa Tertinggi di antara dewa-dewa lainnya) nan mengatasi alam.

Biasanya, pola kehidupan nan dihasilkan konsep agama ialah kehidupan nan mengandalkan seorang pembawa selebaran (pada masa lalu nabi, kemudian diteruskan oleh para ulama), nan mendapatkan "pewahyuan" atau "instruksi" Tuhan.

Permasalahannya, kadang ulama (atau tokoh nan ditinggikan dalam agama) tak sepenuhnya sahih dan dalam hal ini dibutuhkan logika; nan menurut beberapa buku teks; cuma dihasilkan dari upaya manusia menepis keberadaan Tuhan (meski tak semuanya demikian).

Namun demikian Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan jembatan nan kompromistis agar dapat merangkul berbagai kepentingan dan faham filsafat nan dianutnya. Artinya, bagi kaum agama nan mengandalkan keberadaan dan campur tangan Tuhan di dalam kehidupan sehari-hari dikehendaki atau tak dikehendaki, akan tetap (diharapkan) menerima Pancasila sebagai sebuah sistem filsafat dalam berbangga dan bernegara. Demikian pula bagi kaum sekular nan mengemukakan ide tentang tak adanya campur tangan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, tetap terwadahi kepentingannya dengan mencamtunkan tatanan sistem sosial seperti nan termaktub dalam sila kelima dari Pancasila tersebut.



Sila Kelima dan Pendalamannya

Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jika dirunut dari sejarahnya, niscaya berkembang dari konsep demokrasi Yunani dan Romawi nan bertentangan dengan prinsip kerajaan (raja ialah representasi Tuhan nan otoritasnya tak dapat diganggu-gugat; semua keputusannya sahih sebab representasi Tuhan).

Dalam hal ini, buat "mengatasi" kekuasaan raja nan absolut, keadaan dibalik. Rakyatlah nan berkuasa dengan menyatakan sistem nan berasal dari rakyat, buat rakyat, dan demi rakyat. Artinya, nan mayoritaslah nan berkuasa sedangkan pemerintah lebih bersifat "pelayan" nan memfasilitasi rakyat. Ide tentang kekuasaan berada di tangan rakyat ini diharapkan terwadahi atau setidaknya terfasilitasi melalui sila kelima dari Pancasila.

Namun demikian, Pancasila sebagai sistem filsafat secara konsep tak dapat dipisah-pisah antara satu pasal dengan pasal lainnya. Pancasila sebagai sistem filsafat harus dipandang secara utuh dan menyeluruh dari sila pertama sampai dengan sila kelima. Dengan demikan akan muncul sebuah konsep pemikiran nan utuh dari sistem filsafat nan bernama Pancasila tersebut. Setidaknya, hal itulah nan rupanya diinginkan oleh para founding father bangsa ini.



Super Indonesia dan Indonesia Yang Super

Jika dilihat dari dua sila ini saja, kita dapat menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya merupakan loka paling ideal buat menemukan kehidupan manusia bermasyarakat nan sebenarnya. Di negara kita, Pancasila mengelaborasi dua kekuatan bertentangan (agama dan sekular) buat membentuk negara nan manunggal dalam lingkup bhinneka tunggal ika; tinggal bagaimana cara pemimpin negara ini mewujudkan sistem super Pancasila ini.

Tentu saja Pancasila sebagai sistem filsafat nan sebenarnya super ini akan terjewantahkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka berbangsa dan bernegera, apabila semua elemen masyarakat mengetahui, memahami kemudian mengamalkannya sebagai sebuah anutan. Sebaliknya bila masing-masing elemen masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka berbangsa dan bernegara tetap memegang teguh keyakinan masing-masing apalagi kalau hanya berdasarkan pikiran masing-masing, maka Pancasila sebagai sistem filsafat hanya super dalam taraf konsep dan tak mendapat loka buat menjadi landasan kehidupan bermasyarakat.

Bila menelisik sejarah terutama pasca kemerdekaan, maka setidaknya ada tiga pandangan dalam melihat dan mengekspresikan Pancasila sebagai sistem filsafat. Semasa orde lama, Pancasila sebagai sistem filsafat telah dinodai oleh sekelompok orang nan memaksakan sistem kenegaraan sekular dan komunis. Padahal dalam Pancasila pada sila pertama telah disepakati tentang sistem agama, nan mengakui dalam kehidupan sehari-hari ada campur tangan Tuhan dikehendaki atau tak dikehendaki. Dengan demikian sebenarnya, secara langsung dan tegas, Pancasila sebagai sistem filsafat menolak pikiran-pikiran, ide, konsep, nan tak mengakui adanya Tuhan.

Fase kedua yaitu pada masa orde baru, nan demikian memegang teguh Pancasila, sehingga apapun dalam aspek kehidupan harus mengacu dan berlandaskan Pancasila. Bila tidak, maka akan dianggap berseberangan dan dijadikan versus politik. Fase kedua, setelah rezim orde baru tumbang, Pancasila hanya diakui sebagai konsep tak dalam bentuk aplikasi.