Wayang Kulit Kini

Wayang Kulit Kini

Anda pernah menonton pertunjukan wayang kulit?

Wayang kulit merupakan salah satu kesenian suku Jawa . Tak lengkap rasanya jika Anda berkunjung ke Jawa khususnya Yogyakarta, bila belum menonton pertunjukan wayang kulit.

Asal Usul Suku Jawa dan Kesenian Suku Jawa

Suku Jawa ialah suku bangsa nan terbesar di Indonesia, dengan jumlahnya di sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan menghuni khususnya di provinsi Jawa Tengah serta Jawa Timur tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan tentu sahaja di Jakarta, mereka juga banyak ditemukan.

Sebagian besar suku bangsa Jawa menuturkan bahasa Jawa sebagai bahasa percakapan harian. Sebuah tinjauan pendapat nan dijalankan oleh Majalah Tempo pada awal dekad 1990-an menunjukkan bahawa hanya sekitar 12% daripada orang-orang Jawa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertuturan harian. Sekitar 18% menggunakan campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, dengan nan lain menuturkan bahasa Jawa sebagai bahasa primer mereka.

Keturunan-keturunan masyarakat Jawa berpendapat bahawa bahasa Jawa ialah bahasa nan sangat sopan dan mereka, khususnya orang-orang nan lebih tua, menghargai orang-orang nan menuturkan bahasa mereka. Bahasa Jawa juga sangat mempunyai erti nan luas.

Asal Mula

Wayang kulit merupakan pertunjukan kesenian suku Jawa nan usianya telah berabad-abad. Kelahiran wayang kulit berhubungan dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Salah satu Wali Songo penyebar Islam di Jawa mengadopsi wayang Beber, yaitu wayang zaman kerajaan Hindu-Budha. Wayang Beber dimodifikasi sinkron budaya Jawa sehingga bisa digunakan sebagai wahana penyebaran agama Islam.



Pertunjukan Wayang Kulit

Wayang kulit dibuat dari bahan kulit sapi. Pertunjukan kesenian suku Jawa wayang kulit ini diiringi oleh gamelan dan dimainkan oleh dalang. Sepanjang malam, dalang memandu gamelan sekaligus menceritakan kisah-kisah dari berbagai karakter. Karakter-karakter nan akan dimainkan disusun pada batang pisang nan disebut debog. Karakter-karakter baik diletakkan di sebelah kanan, sedangkan karakter-karakter dursila diletakkan di sebelah kiri.

Dalang harus lihai mengubah intonasi suara dan karakter suara, menceritakan lelucon, hingga bernyanyi. Dalang ditemani oleh penyanyi wanita nan disebut sinden. Sinden bernyanyi dengan iringan gamelan. Pertunjukan wayang kulit biasa dimulai pada pukul 9 malam dan berakhir hingga subuh. Oleh sebab itu, seorang dalang harus memiliki stamina tinggi.



Kisah dan Karakter

Pertunjukan wayang kulit dimulai dengan “gunungan”. Penonton melihat pertunjukan wayang kulit di depan layar, yaitu berupa bayangan. Dalang memainkan tokoh-tokohnya di balik layar. Bayangan tersebut dihasilkan dari lampu minyak nan diletakkan di atas-belakang dalang.

Kisah nan ditampilkan pada pertunjukan wayang kulit berasal dari kitab kuno, antara lain Ramayana, Mahabarata dan Purwakanda. Pertunjukan dibagi menjadi 3 babak, yaitu pathet lasem, pathet sanga, dan pathet mayura. Salah satu adegan nan banyak ditunggu penonton ialah “gara-gara”, yaitu humor khas Jawa. Kadangkala dalang menyelipkan cerita mengenai warta terhangat atau kondisi setempat.

Dalam wayang kulit, ada karakter keluarga nan bernama Punakawan. Punakawan merupakan abdi dan biasanya tampil di antara kisah kepahlawanan. Punakawan membawakan humor dan filosofi hidup. Semar ialah tokoh primer Punakawan, yaitu ayah dari Gareng, Petruk, dan Bagong. Karakter-karakter ini tak berasal dari kitab Hindu. Diperkirakan karakter-karakter tersebut ditambahkan buat mengenalkan nilai-nilai Islam.



Wayang Kulit Kini

Saat ini, wayang kulit merupakan pertunjukan wayang paling terkenal di seluruh dunia. Banyak orang rela begadang semalam suntuk buat menyaksikan pertunjukan wayang kulit dengan dalang terkenal. Beberapa dalang terkenal di antaranya Ki Nartosabdho, Ki Anom Suroto, Ki Asep Sunarya, Ki Sugino, dan Ki Manteb Sudarsono.

Pada 7 November 2003 UNESCO menetapkan wayang kulit sebagai Masterpiece of Berkaitan dengan mulut and Intangible Heritage of Humanity . UNESCO menetapkan bahwa wayang kulit merupakan warisan budaya Indonesia nan harus dilestarikan.



Pasang Surut Kesenian Suku Jawa

Kesenian merupakan salah satu sistem kebudayaan universal nan terdapat disetia[ masyarakat di dunia. Dengan demikian, kesenian niscaya terdapat di semua masyarakat, termasuk masyarakat suku Jawa. Salah satu kesenian nan sangat berperan besar dalam kehidupan masyarakatnya ialah kesenian wayang nan mendapat pengaruh dari India.

Pengaruh dari India ini begitu menonjolnya, terutama sebab pengaruh ajaran Hindu nan sudah begitu mengakar dan memasyarakat dalam kehidupan orang Jawa. Sejalan dengan semakin majunya suatu masyarakat, atau bangsa, semakin besar pengaruh nan masuk dan diterima oleh masyarakat bersangkutan. Salah satu faktor krusial nan berperan besar dalam kehidupan masyarakat ialah pengaruh teknologi informasi.

Meningkatnya wahana dan prasarana teknologi informasi elektronika, seperti radio dan televisi selain memberi akibat positif, ternyata juga membawa akibat negatif. Salah satu akibat negatif dari radio dan televisi ialah semakin menurunnya minat masyarakat buat menyaksikan secara langsung seni pertunjukkan tradisional, seperti seni pertunjukkan wayang. Baik itu seni pertunjukkan seni wayang kulit, wayang orang, maupun wayang golek.

Wayang kulit dan wayang orang sangat populer di masyarakat Jawa, sedangkan wayang golej terutama banyak dipentaskan dan disenangi masyarakat Sunda. Seni wayang golek sesungguhnya pernah juga ada di masyarakat Jawa, tetapi dalam perkembangannya, kalah bersaing dengan kesenian suku Jawa wayang kulit atau wayang orang. Sehingga sekarang ini hanya wayang kulit dan wayang orang lah nan bisa bertahan di masyarakat Jawa.

Seperti diketahui, hampir semua kesenian wayang biasanya ditampilkan jika ada permintaan buat tampil dengan sistem kontrak. Baik itu kontrak antara grup kesenian wayang dengan perorangan, mupun kontrak antara grup wayang dengan salah satu instansi, termasuk televisi. Selain tampil dengan sistem kontrak, di Jawa khususnya, pertunjukkan wayang orang juga tampil secara rutin disebuah gedung pertunjukkan.

Dengan semakin menurunnya jumlah penonton, maka pendapatannya juga semakin menurun. Padahal pada umumnya, para senimannya menggantungkan hidupnya dari seni nan digelutinya ini. Sehingga menurunnya jumlah pendapatan atau gaji mereka. Padahal, mereka bukan saja menanggung hayati diri sendiri, tetapi juga keluarganya. Suramnya kehidupan mereka sudah barang tentu juga berakibat suramnya seni pertunjukkannya.

Melihat fenomena semacam ini, memang ada usaha-usaha dari pihak pemerintah daerah maupun pusat nan berusaha melestarikannya, dengan cara memberikan subsidi dana. Seperti nan dilakukan oleh pemerintah daerah Jawa Tengah. Namun demikian, subsidi ini tentunya tak bisa mencukupi kebutuhannya, nan terutama dari hasil penjualan tiket masuk.

Akibatnya, banyak dari seni tradisional kesenian suku Jawa ini, nan pernah mengalami masa kejayaannya terpaksa harus gulung tikar dan tak mampu bertahan hayati sampai sekarang.

Wayang orang Ngesti Pandowo juga mendapat donasi keuangan dari pemerintah daerah, nampaknya juga akan bernasib sama. Mereka baru bisa mementaskan jika jumlah penontonya dirasa cukup banyak sehingga jumlah uang masuk nan diperoleh akan bisa menutupi biaya produksinya. Syukur bisa memperoleh kelebihan.

Mengenai gulung tikarnya beberapa seni pertunjukkan gtradisional, seperti Ketoprak, wayang orang, drama tradisional, bisa dilihat dengan bubarnya beberapa kelompok nan pernah jaya di masa lalu, misalnya kelompok Dagelan Matara, Sri Mulat dan lain sebagainya. Sementara itu, nan masih tetap bertahan sampai sekarang mengalami nasib “hidup segan wafat tidak mau”.

Di beberapa daerah, terutama di pantai utara Jawa Barat, seperti Indramayu, Subang, dan Purwakarta, memang sampai sekarang masih tumbuh fertile seni pertunjukan drama tradisional. Namun kelangsungan hidupnya di masa mendatang juga perlu dipertanyakan.

Seni pertunjukan nan ada di dawrah tersebut dewasa ini sangat tergantung pada kehidupan keberhasilan panen padi para anit. Namun mengingat sekarang ini semakin meluasnya kawasan industri di daerah tersebut, juga pemukiman, maka dapat diperkirakan kelangsungan seni tradisional juga semakin mengkhawatirkan. Hal ini tak lain disebabkan sebab areal sawah nan ada sekarang semakin sempit, dan para petani mulai beralih mata pencahariannya dari tani ke industri.

Masyarakat industri cenderung konsumeristis, nilai status sosial seseorang di masyarakat bukan lagi dikuru oleh kepemilikan sawah nan luas atau jumlah ternak nan banyak, tetapi sudah berganti dengan berbagai barang elektronika atau mekanik seperti radio, televisi, motor, mobil, dan sebagainya.

Glamornya para bintang layar kaca atau layar perak menjadi idola barunya, dan bukan lagi primadona atau tokoh-tokoh kesenian di daerahnya, termasuk kesenian suku Jawa . Apalagi dengan terjadinya arus glubalisasi informasi seperti sekarang ini akan semakin menurunkan minat masyarakat buat menikmati seni pertunjukkan tradisioanal wayang kulit dan seni pertunjukkan lainnya.