Pelestarian Kebudayaan Indonesia

Pelestarian Kebudayaan Indonesia

Kuntowijoyo ialah tokoh budaya Indonesia nan haus ilmu. Banyak gelar dan sebutan nan dapat disebatkan padanya. Seorang sejarawan akademis nan telaten dan berkarya. Seorang penulis produktif. Sastrawan nan mahir dan pandai berkata-kata. Seorang guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Banyak lagi gelar nan dapat disematkan padanya.



Riwayat Singkat

Prof. Dr. Kuntowijoyo (juga dieja Kuntowidjojo) dilahirkan di Sanden, Bantul, Yogyakarta pada tanggal 18 September 1943. Ayahnya ialah seorang dalang dan pembaca macapat. Sedangkan kakeknya ialah seorang khathath (penulis mushaf Al Quran dengan tangan).

Awal pendidikan Kuntowijoyo dimulai ketika ia sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke SMP (1959) di Klaten. Lulus SMP, Kuntowijoyo berhijrah ke Solo dan melanjutkan sekolah SMA Negeri Solo (1962). Ia kemudian masuk ke Universitas Gadjah Mada.

Kuntowijoyo lulus sarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada pada 1969. Gelar MA-nya diperolah dari Universitas Connecticut, Amerika Perkumpulan pada 1974 nan kemudian disusul dengan gelar Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada 1980.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, ia mengabdi pada almamaternya, Universitas Gajah Mada sebagai pengajar di Fakultas Sastra. Selain mengajar dan menjadi peneliti, Kuntowijoyo juga aktif menulis.

Kuntowijoyo meninggal global di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 dampak komplikasi penyakit sesak napas, diare dan ginjal.



Karya dan Penghargaan

Sebagai penulis produktif, Kuntowijoyo telah menghasilkan berbagai buku bermutu. Bukunya tidak hanya seputar budaya dan sejarah, tapi juga mencakup cerpen, puisi, drama sampai novel. Berbagai penghargaan telah dicapainya atas dedikasinya dalam berkarya. Berikut ini ialah daftar karya dan penghargaan nan diterima Kuntowijoyo.



1. Kumpulan puisi
  1. Suluk Awang-Uwung (1975)
  1. Isyarat (1976)
  1. Daun Makrifat, Makrifat Daun (1995)


2. Kumpulan cerpen
  1. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992)
  1. Antologi cerpen pilihan Kompas: "Laki-Laki nan Kawin dengan Peri" (1995),"Pistol Perdamaian" (1996), dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan" (1997)
  1. Hampir Sebuah Subversi (1999)


3. Novel
  1. Kereta Barah nan Berangkat Pagi Hari (1966)
  1. Khotbah di Atas Bukit (1976)
  1. Pasar (1994)
  1. Impian Amerika (1998)
  1. Mantra Pejinak Ular (2000)


4. Naskah drama
  1. "Rumput-Rumput Danau Bento" (1968)
  1. "Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas" (1972)
  1. "Topeng Kayu" (1973)


5. Karya nonfiksi
  1. Pengantar Ilmu Sejarah (1995)
  1. Metodologi Sejarah (1994)
  1. Demokrasi & Budaya Birokrasi (1994)
  1. Radikalisasi Petani (1993)
  1. Paradigma Islam: Interpretasi buat Aksi (1991)
  1. Dinamika Sejarah Umat Islam (1997)
  1. Identitas Politik Umat Islam (1997)
  1. Esai Agama, Budaya, dan Politik (2000)
  1. Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915 (2004)


6. Hadiah
  1. Hadiah Asa dari Pembina Teater Nasional Indonesia buat naskah drama "Rumput-Rumput Danau Bento" (1968)
  1. Hadiah Pertama Sayembara Cerpen Majalah Sastra buat cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga" (1968)
  1. Hadiah Sayembara Penulisan Lakon dari Dewan Kesenian Jakarta buat naskah drama "Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas" (1972)
  1. Hadiah Panitia Hari Buku buat novel Pasar (1972)
  1. Hadiah Penulisan Lakon dari Dewan Kesenian Jakarta buat naskah drama "Topeng Kayu" (1973)


7. Penghargaan
  1. Penghargaan Sastra Indonesia dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986)
  1. Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa buat kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994)
  1. Penghargaan Kebudayaan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) (1995)
  1. Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas buat cerpen "Laki-Laki nan Kawin dengan Peri" (1995)
  1. Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas buat cerpen "Pistol Perdamaian" (1996)
  1. Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas buat cerpen "Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan" (1997)
  1. Penghargaan dari Asean Award on Culture (1977)
  1. Penghargaan Satya Lencana Kebudayaan Republik Indonesia (1997)
  1. Penghargan dari Penerbit Mizan Award (1998)
  1. Penghargaan Kalyanakretya Primer buat Teknologi Sastra dari Menristek (1999)
  1. Penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (1999)
  1. Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (2005)


Pelestarian Kebudayaan Indonesia

Kebudayaan di Indonesia semakin hari semakin terkikis. Masyarakat Indonesia semakin terpengaruh oleh kebudayaan luar melalui perkembangan teknologi nan semakin canggih ini, sehingga melupakan kebudayaan sendiri.

Pelajaran tentang kebudayaan hanya didapatkan di sekolah saja. Itu pun hanya teori saja nan diterima oleh para siswa, prakteknya jarang. Jadi, nan diterima oleh para siswa tentang kebudayaan Indonesia tetap kurang.

Pelajaran dari luar sekolah lebih berpengaruh pada seseorang dari pada pelajaran nan diterimanya di bangku sekolah. Untuk itu, perlu adanya dukungan dari luar sekolah buat membantu seseorang mempelajari kebudayaan Indonesia.

Misalnya, pendidikan bahasa daerah nan dipelajari di sekolah tak bisa dipraktekan oleh seorang siswa apabila di luar sekolahnya dia tak menggunakan bahasa daerah tersebut.

Begitu juga tentang kebudayaan di Indonesia. Kebudayaan Indonesia semakin hilang di telan waktu. Penyebabnya sebab perkembangan zaman nan memengaruhi masyarakat Indonesia dari kebudayaan luar nan banyak masuk ke Indonesia.

Hal tersebut menjadikan masyarakat Indonesia melupakan kebudayaan sendiri. Pengaruh dari luar memang sangat kuat buat mempengaruhi kebudayaan nan ada di Indonesia.

Memang perkembangan zaman itu bisa mengubah suatu negara dan masyarakatnya sendiri. Akan tetapi, perubahan tersebut harus dibarengi dengan norma-norma dan kebudayaan nan berlaku di negara ini.

Pengaruh atau kebudayaan dari luar nan masuk ke Indonesia harus disaring terlebih dahulu. Sine qua non penyeleksian, mana nan baik dan mana nan jelek buat kemajuan negara ini. Jangan asal menerima begitu saja pengaruh atau kebudayaan dari luar.

Perkembangan teknologi nan semakin canggih, membuat kebudayaan dari luar Indonesia masuk dan perkembang. Dalam berbagai bidang, pengaruh dari luar itu ada, bahkan sampai mengubah sistem nan telah berlaku di negara ini.

Dalam bidang kebudayaan saja, banyak hal nan berubah sebab perkembangan zaman tersebut. Kebudayaan tradisional, mulai dari bahasa, suku, adat istiadat, tarian, pakaian, rumah adat, dan lain sebagainya, mulai sporadis dipelajari dan dihapal oleh masyarakat, terutama generasi mudanya.

Pelajaran nan diterima di global pendidikan tak cukup buat membuat para generasi muda mencintai dan menghapal kebudayaan sendiri. Hal tersebut sebab pengaruh dari kebudayaan luar tadi nan masuk ke negara ini.

Bahasa daerah saja sudah sporadis didengar dari para generasi muda. Mereka lebih memilih berbahasa Indonesia dan bahasa asing. Menurut mereka itu lebih gaul dan modern.

Berbahasa asing boleh saja, tapi bukan berarti melupakan bahasa daerah sendiri. Apabila bahasa daerah terus menerus dilupakan, maka lama-lama akan hilang dan punah sebab tak ada lagi orang nan memakai bahasa daerah tersebut.

Begitu juga dengan kebudayaan lainnya. Sandang dan tarian tradisional sudah sporadis dipakai dan dipentaskan di depan umum. Sekarang orang-orang lebih tertarik memakai baju nan modelnya lebih modern dan menarikan tarian-tarian modern dari pada menampilkan baju dan tarian tradisional.

Masyarakat lebih tertarik buat mempelajari budaya dari luar dari pada budaya negara sendiri. Alasannya, agar tak ketinggalan zaman dan lebih gaul, menurut anak zaman sekarang.

Mengenal budaya sendiri dan mempraktekkannya di dalam sebuah pentas seni, seharusnya menjadi kebanggaan bagi masyarakat sendiri. Sebenarnya, negara nan maju ialah negara nan mencintai dan mengharagai kebudayaannya sendiri.

Apabila kita tak menghargai kebudayaan sendiri, bagaimana kita bisa menghargai diri sendiri di luar sana. Kebudayaan dalam negeri seharusnya menjadi kebanggaan bagi masyarakat Indonesia di global internasional sana.

Orang asing nan berkunjung ke Indonesia saja ingin mengetahui dan mempelajari kebudayaan Indonesia sebab mereka tertarik pada kebudayaan nan ada di Indonesia. Akan tetapi, mengapa penduduk pribuminya sendiri malah malas dan gengsi buat mempelajari kebudayaan sendiri.

Bagaimana masyarakat Indonesia memperkenalkan budaya sendiri di kancah internasional apabila masyarakatnya sendiri kurang pengetahuannya tentang kebudayaan sendiri.

Untuk itu, kebudayaan nan ada di Indonesia ini, perlu dirawat dan dilestarikan oleh masyarakatnya sendiri. Kalau bukan masyarakat sendiri sudah tak bisa melestarikan kebudayaan tersebut, maka kebudayaan itu akan hilang bersamaan dengan hilangnya para pewaris ilmu budaya.

Banyak cara nan bisa dilakukan buat melestarikan kebudayaan tradisional. Dengan mempelajarinya dan tentu saja dengan mempraktekkannya. Selain itu, mewariskan ilmu budaya tradisional kepada para generasi muda sejak usia dini, sehingga mereka mencintai kebudayaan sendiri.

Meskipun pengaruh kebudayaan dari luar mempengaruhi mereka, tapi sebab sejak usia dini sudah ditanamkan cinta kebudayaan sendiri, maka dengan sendirinya mereka akan menyaring kebudayaan dari luar.

Setelah kebudayaan dari luar tersebut disaring, maka kebudayaan tersebut bisa dijalankan sinkron dengan kebiasaan dan kebudayaan nan berlaku di Indonesia. Jadi, meskipun kebudayaan dari luar masuk, kebudayaan sendiri tak dilupakan.

Untuk itu, dengan menghasilkan banyak karya sastra juga bisa membantu melestarikan kebudayaan Indonesia melalui karya-karya original dalam negeri. Jadilah tokoh budaya nan bisa membawa kebudayaan Indonesia ke kancah internasional.