Maksimalkan Peluang

Maksimalkan Peluang

Indonesia termasuk negara maritim terbesar di dunia. Namun, peluang besarnya potensi perikanan masih tak dimaksimalkan. Bahkan, beberapa tahun belakangan fakta permasalahan impor ikan Indonesia masih terus menjadi mimpi jelek bagi nelayan dan masyarakat umum.

Sejumlah penelitian dan kajian menunjukkan, pemerintah seakan menganaktirikan potensi kelautan nan ada. Padahal luas bahari Indonesia sekitar 3,4 juta kilometer per segi. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara maritim keenam terbesar di dunia.

Sumber daya kelautan Indonesia memiliki potensi sangat besar. Hasil statistik nasional menyebut, potensi produksi ikan bahari dapat menyentuh 11 juta ton per ton. Sedangkan potensi ikan tawar menembus 10 juta ton per tahun.

Namun, sebab carut marutnya kebijakan pemerintah , membuat potensi-potensi itu masih terkubur. Lebih dari itu, global kelautan Indonesia masih saja mengalami keterpurukan berulang. Aneka masalah terus menyelimuti.

Mulai masalah dicurinya ikan-ikan di bahari di Indonesia, angka ekspor ikan nan rendah, dan di tengah potensi besar ini, Indonesia malah terus saja melakukan impor ikan. Parahnya, hasil ikan nan dibawa ke luar negeri memiliki kualitas 1 dan 2. Sementara hasil ikan nan dibawa ke dalam negeri dan dikonsumsi masyarakat justru ikan berkelas 3 ke bawah.

Ironis memang. Tapi, inilah faktanya. Jika dikerucutkan, ada beberapa masalah menonjol dalam global kelautan Indonesia:

  1. Produksi ikan bahari dan tawar nan cukup besar, tak dimanfaatkan
  2. Potensi ikan bahari nan menggiurkan banyak dicuri nelayan luar
  3. Indonesia kaya akan produksi ikan, tapi masih saja menerima hasil impor
  4. Hasil penangkapan ikan nelayan Indonesia dijual dengan harga rendah
  5. Ikan-ikan nan dikonsumsi masyarakat dari hasil impor berkualitas rendah
  6. Ikan-ikan nan dilempar ke luar berkualitas super
  7. Mafia perikanan belum dapat dibendung
  8. Kebijakan pemerintah tak memihak pada nelayan dan masyarakat
  9. Kesejahteraan nelayan masih jauh panggang dari api
  10. Masalah-masalah serupa masih saja terjadi, dari tahun ke tahun.

Jika dijabarkan lagi, tentu banyak fakta lain nan menunjukkan carut marutnya masalah perikanan di Indonesia . Majemuk penelitian, kajian dan pemberitaan sering kita dengar. Sayang seribu sayang, pemerintah seolah masih tutup telinga dengan aneka masalah nan ada.

Padahal jika berbicara hasil produksi laut, Indonesia termasuk negara ketiga terbesar penghasil ikan bahari di dunia. Urutan pertama dipegang China, lalu Peru. Seperti masalah impor barang lainnya, negara kita juga diserbu hasil impor ikan dari China.

Hingga kini, ikan dari China masih menyerbu pasar Indonesia. Ironisnya, ikan-ikan itu sampai merata menjejali pasar tradisional di beberapa daerah di Tanah Air. Terbanyak ada di Jawa Barat, di antaranya, pasar tradisonal Indramayu, pasar Gede Bage Bandung, dan beberapa pasar tradisional lain.



Efek Domino

Ragam masalah nan melingkupi kelautan memiliki imbas domino nan panjang. Akibat paling konkret berimbas pada masalah kesejahteraan, terutama nelayan. Pasokan ikan dari China nan menembus pasar tradisional di Jawa Barat, misalnya, banyak membuat wafat nelayan .

Sekitar 25% nelayan tidak lagi melaut sebab serbuan dari China. Tak tanggung-tanggung, buat wilayah Jawa Barat saja ada, volume distribusi dari China dapat menembus 75 ton per bulan. Naifnya lagi, ikan-ikan itu malah disimpan di gudang milik pemerintah Jabar.

Di sisi lain, nelayan lokal masih mengalami kesulitan buat menjual hasil tangkapannya. Dapat membutuhkan waktu lima hari, baru hasilnya dapat terjual. Apalagi dengan biaya melaut nan kian tinggi. Mereka benar-benar terancam mati.

Hampir sebagian besar nelayan di setiap daerah penghasil ikan bahari di Indonesia mengalami hal serupa. Kesejahteraan nelayan-nelayan lokal kian tidak jelas. Buntutnya, banyak di antara mereka banting setir ganti profesi, tidak melaut lagi.

Fakta ini menambah daftar panjang imbas domino lain. Jika satu nelayan punya tiga anak dan ia tak melaut, maka nelayan itu dan orang di belakangnya akan mengalami kemunduran kesejahteraan. Begitu pula keluarga nelayan lainnya, dan seterusnya.

Efek domino lainnya, banyak importir nan membawa ikan dari luar negeri dengan mutu buruk. Mengandung formalin, bahan pengawet mayat. Lalu, ini semua dikonsumsi masyarakat Indonesia. Buntutnya, kesehatan masyarakat menjadi pertaruhan. Entah apa nan ada dalam benak pemerintah. Kebijakan pro rakyat hanya retorika.

Buktinya, pemerintah tetap memenuhi keserakahan kapiltalis. Menguntungkan ekonom luar dan kelompok pejabat sendiri tapi mengorbankan masyarakat luas. Dalam konteks global perikanan, tidak hanya nelayan nan dihantam, tapi banyak elemen ikut dirugikan atas kebijakan impor ikan. Jika ada itikad mensejahterakan, nelayan dan elemen perikanan akan makmur.



Empat Kegagalan

Fakta lain nan lebih ironis, pemerintah terbukti memiliki tiga kegagalan dalam sektor perikanan dan kelautan. Pertama, kegagalan kebijakan pembangunan dan perkembangan perikanan kelautan tetap diulang. Dari tahun ke tahun, kegagalan ini masih terjadi. Kegagalan kedua, sektor perikanan masih dikuasasi pihak asing. Mafia perikanan tetap mulus bermain.

Kegagalan selanjutnya, pembangunan di pulau-pulau kecil masih berparadigma daratan, membangun daratan. Selayaknya wahana dan prasarana terkait kelautan didongkrak guna meningkatkan jumlah produksi tangkapan nelayan.

Kegagalan keempat, teramat banyak bayi nan kekurangan gizi di titik sentra perikanan nasional. Darerah-daerah penghasil ikan justru memiliki kasus bayi kurang gizi nan tinggi. Data Bappenas 2010, menunjukkan fakta menyedihkan.
Propinsi berbasis sektor kelautan dan perikanan memiliki kasus bayi kurang gizi lebih besar dibanding daerah lainnya.

Bahkan, prosentasenya di atas 15%. Rinciannya, Nusa Tenggara Timur (33,6%), Maluku (27,8%), Sulawesi Tenggara (27,6%), Gorontalo (25,4%), Nusa Tenggara Barat (24,8%), Papua Barat (23,2%), Maluku Utara (22,8%), Kalimantan Barat (22,5%), Riau (21,4%), Papua (21,2%), dan Kalimantan Timur (19,3%).

Kasus bayi kekurangan gizi di kawasan sentra perikanan ini sangat mengkhawatirkan. Hal nan juga membuat hati masygul, atas temuan BPK ada sejumlah kebijakan pengembangan usaha pedesaan dibuat berdasarkan planning nan tak matang. Lengkap.



Maksimalkan Peluang

Lucu dan naif rasanya Indonesia nan terkenal sebagai negara maritim tapi menerima impor ikan. Konsekuensinya pun berdampak hebat. Lagi-lagi sebab kebijakan setengah hati dan tak dirancang dengan studi dan perencanaan matang, akhirnya rakyat nan jadi korban.

Padahal Indonesia punya peluang luar biasa. Selain jumlah produksi nan disebut di atas, kita juga memiliki sektor lain nan berpeluang mensejahterakan masyarakat. Selain unggul dari sektor perikanan laut, Indonesia unggul pula dalam sektor perikanan air tawar dan ikan hias.

Di sektor perikanan air tawar, kita penghasil ikan lele, patin, ikan mas, gurame, dan sebagainya. Peternak ikan Indonesia nan membudidayakan ikan air tawar ini tersebar seantero negeri. Sayang, mereka cenderung berpoduksi buat memenuhi kebutuhan lokal saja. Jika pemerintah pusat dan daerah setempat punya iktikad, mereka dapat dimaksimalkan.

Hasilnya bahkan dapat diekspor dan menjadi salah satu masukan bagi negara. Ikan nan dilempar ke luar negeri masih sangat potensial buat dijadikan sumber devisa negara. Sayang teramat sayang, pemerintah masih gelap mata. Justru memberi celah pada importir hingga mematikan rakyat perikanan.

Peluang lain dari sektor perikanan dapat pula dimaksimalkan dari sektor ikan hias. Pecinta ikan hias di Indonesia begitu banyak. Mereka selayaknya dapat digenjot dan diarahkan buat menjadi eksportir. Sampai saat ini masih sangat sedikit eksportir ikan hias. Sementara pangsa ikan hias di luar begitu besar, tapi kita belum mampu merebut pasar ikan internaisonal.

Kajian-kajian tentang peluang dan masalah perikanan Indonesia sering dibahas. Lewat majemuk diskusi, studi banding, penelitian, dan sebagainya. Namun, tetap saja kita pemerintah masih melakukan kesalahan berulang. Masih banyak nelayan dan peternak ikan nan belum sejahtera. Begitu pula seluruh rakyatnya. Inilah satu bukti carut marutnya global perikanan kita.

Barangkali di antara kepala kita muncul dua pertanyaan besar: Apa nan selama ini dilakukan pemerintah? Kenapa kebijakan nan ada belum mampu mengelola peluang? Apapun jawaban itu, kita harus tetap optimis. Siapa tahu di rezim berikutnya, global perikanan Indonesia dapat berkibar, merebut banyak pasar. Amin.