3 Idiots: Ketika Film Melahirkan Revolusi Pendidikan

3 Idiots: Ketika Film Melahirkan Revolusi Pendidikan

Ketika hobi Anda menonton film, sebagian orang mungkin menganggap bahwa itu ialah hobi nan tak membawa kegunaan apapun. Nyatanya, film melahirkan sesuatu hal baru nan tak akan didapatkan ketika Anda menikmati hal lain. Film melahirkan sebuah pelajaran tentang hayati melalui media audio dan visual.

Selain melahirkan pelajaran-pelajaran baru, nan paling sederhana film melahirkan hal lainnya nan juga cukup bermanfaat. Film melahirkan sebuah penyegaran bagi otak Anda. Setelah lelah dan jenuh dengan berbagai aktivitas, menonton film dapat menjadi salah satu wahana refreshing nan terbilang cukup murah.



Film Melahirkan Sebuah Cara Pandang Baru

Anda sudah menonton satu film India berjudul 3 Idiots? Sejak membaca judul film ini, sebuah bayangan melayang di benak, film lawak India nan kosong makna. Bagaimana tidak? Dari judulnya saja, 3 Idiots, penonton seolah tidak dapat menangguk kegunaan apapun. Namun, menghakimi sebelum membuktikan langsung memang tidaklah bijak. Nyatanya, ada banyak judul film melahirkan perubahan sistem dan visi hayati masyarakat.

Dalam film India ini, dijamin Anda tak akan melihat film wanita nan kesakitan ketika tengah melahirkan. Tidak terpengaruh dari asal negara sebuah film tersebut, sebuah, film melahirkan banyak hal, salah satunya ialah film dari industri perfilman India ini.

Sepintas, tidak ditemui tontonan istimewa di beberapa menit pertama, kecuali panorama sepanjang jalan menuju Shimla. Seorang tokoh lalu muncul tergesa-gesa hingga lupa tidak mengenakan celana. Satu adegan nan makin menguatkan dugaan bahwa film ini memanglah kacangan. Sayang, tampaknya adegan-adegan berikutnya tidak rela dikatakan demikian. Film melahirkan sebuah persepsi baru di mata masyarakat, begitupun dengan film ini.



3 Idiots: Film Melahirkan Sebuah Kekaguman

Film melahirkan banyak kekaguman. Sebuah pelajaran tentang persahabatan disuguhkan oleh tokoh-tokoh dalam film ini. Alkisah, Rancho, Farhan, dan Raju, ialah tiga mahasiswa baru di Fakultas Teknik Imperial College of Engineering (ICE), kampus teknik terbaik di India. Mereka tinggal sekamar di asrama. Karakter dan latar belakang berbeda justru mengikat ketiganya dalam persahabatan sejati.

Kekonyolan nan dilakukan membuat nama “Tiga Idiot” tersandang buat mereka. Rancho berusaha meruntuhkan sistem pendidikan kampus nan kaku dan tertutup dari pembaruan. Dengan polos, Pak Viru, rektor ICE, diberinya julukan “virus”. Rancho dan kedua sahabatnya bahkan berani menentang cara pandang generik tentang makna pendidikan, cerdas, dan sukses. Dengan gaya kocak tapi logis, semua itu mereka goyahkan. Dalam cerita ini Anda bisa merasakan bahwa sebuah film melahirkan hal-hal konyol nan mengagumkan disetiap ceritanya.

Ketika semua mahasiswa teknik ICE berlomba-lomba meraih nilai dan ranking tinggi —kendati dilakukan dengan menjadi penjilat—, Rancho hanya tersenyum santai sembari geleng-geleng kepala. Ia tidak habis pikir mayoritas kawannya bercita-cita sebagai teknisi di perusahaan Amerika. Hanya satu cita-cita itu nan mereka kejar. Cita-cita lain lewat begitu saja.

Puncak kegusaran Rancho tidak terbendung tatkala menyaksikan seorang kakak tingkatnya wafat bunuh diri. Bukan sebab putus cinta, melainkan stres berat saat tahu karya inovatifnya ditolak mentah-mentah sang rektor. Film melahirkan juga apa nan disebut “sindiran” terhadap peraturan, dan “sentilan” terhadap kenyataan nan terjadi di masyarakat.

Selama ini, Pak Viru terkenal tidak kompromi terhadap kesulitan mahasiswanya. Ia tidak mau tahu masalah apapun nan membuat mahasiswanya tak lulus. Jika orang nan semestinya jadi panutan saja cuek dan kejam, pendidikan macam apa nan diharapkan.



3 Idiots: Ketika Film Melahirkan Revolusi Pendidikan

Apakah film melahirkan sebuah pertanyaan? Apakah sebuah film melahirkan revolusi pemikiran? Jawabannya tentu saja, iya. Tentu jika film tersebut bukan sebuah film kacangan nan benar-benar ditujukan hanya buat kepentingan komersil, hanya buat menarik minat para penonton tanpa berbalik memberikan kontribusi selain kesenangan ataupun hiburan.

Harus diakui, masih berderet film lain nan lebih baik daripada 3 Idiots. Tidak dipungkiri, film ini jitu membuat kita termangu dalam sebuah tanya, “Kapan sistem pendidikan Indonesia akan berubah?” Parahnya, pertanyaan itu terlontar dengan hati mengaduh, “Duh, kita masih punya banyak sekolah nan begitu! Kok, banyak nan nggak sadar, sih?”

Film 3 Idiots mencoba membuka mata setiap orang bahwa sekolah dapat menjadi candu berbahaya. Persis seperti tuduhan Paulo Freire terhadap institusi pendidikan nan abai memanusiakan peserta didiknya. Film 3 Idiots dapat juga dikatakan sebagai sebuah film kritikan. Film melahirkan dan menyuguhkan citra sebuah kenyataan di global pendidikan.

Dalam forum pendidikan semacam itu, apa-apa dinilai dari angka rapor. Apa-apa diputuskan berdasarkan selembar ijazah semata. Cerdas dan bodoh dibedakan hanya dengan nilai dan peringkat semata. Sementara itu, kreativitas, pola pikir, dan keutuhan pribadi siswa tidak diberi kesempatan luas buat berkembang. Jangankan berkarya, ilmu memadai saja kerap tidak dapat dipenuhi sekolah.

Padahal, segala nan ditemukan di lingkungan ialah sumber ilmu bermutu.
Lebih malang lagi, semua murid “dituntut” memiliki ketergantungan terhadap sekolah; guru dan buku paket menjadi satu-satunya sumber belajar. Masih mending bila klarifikasi diberikan secara sederhana dan dapat diterima logika siswa.

Jika klarifikasi itu rumit dan berputar-putar ala textbook, apa nan akan ditangkap otak mereka? Bagaimana dapat melahirkan manusia berdikari nan terdidik seutuhnya jika sistem sekolahnya penuh “candu” begitu. Film melahirkan sebuah persepsi baru tentang global pendidikan, khususnya bagi masyarakat India.

Dengan suguhan cerita cerdas, Rajkumar Hirani, sang sutradara, sengaja menghadirkan kritik atas empiris global pendidikan. Dalam obrolan antara Rancho dan Pak Viru, tertangkap fakta bahwa angka bunuh diri pelajar India ialah nan paling tinggi di dunia. Film melahirkan banyak hal. Film 3 Idiots ini melahirkan fakta nan mencengangkan tentang global pendidikan India dari dialog-dialog nan tercipta antara tokoh.

Pemikiran-pemikiran nan kritis dari aktor nan berperan sebagai pelajar dalam film ini menciptakan sebuah revolusi baru bagi global pendidikan. Dengan analisis tajam, Rancho beradu pendapat bahwa empiris itu terjadi sebab pendidikan India memperlakukan peserta didiknya bagaikan mesin. Seluruh proses belajar bermuara pada sebatas meraih pekerjaan dan kesuksesan materi. Ujungnya, peserta didik akan merasa gagal ketika pilihan hidupnya jatuh pada bidang selain teknik.

Sungguh, cita-cita pribadi pun telah “dicetak” agar tidak melirik bidang lain nan tidak menjanjikan kekayaan dan karir cemerlang. Lihat saja Farhan nan begitu menggebu menjadi fotografer. Keinginannya itu ditentang habis oleh sang ayah meski talenta Farhan telah terpoles bagus.

Lain halnya dengan Rancho. Ia nan sukses menggondol predikat lulusan ICE terbaik, ternyata memilih mendirikan sekolah buat anak-anak dusun. Di sana, bocah-bocah lugu itu diajari bagaimana menciptakan teknologi sederhana nan tepat guna. Tak ada pias paras ketakutan pada diri mereka. Pun tidak dijumpai tekanan nan membuat kerdil jiwa.

Proses belajar dilakukan dengan cara menyenangkan, layaknya bermain saja. Semua itu merupakan pencapaian hebat, sekaligus tidak biasa, bagi seorang alumni jenius fakultas teknik. Sulit rasanya menemukan sosok sepeduli dan semandiri Rancho, nan berani berbeda dalam menentukan pilihan hidupnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Mayoritas warga bangsa ini masih terjebak sengkarut masalah pendidikan nan belum menyentuh substansi pendidikan itu sendiri.

Sebagai contoh, kerusakan gedung sekolah, buku ajar dan fasilitas belajar-mengajar tidak memadai, dan keterbatasan dana. Sementara pembenahan fundamental sistem pendidikan —bagaimana pendidikan mampu memanusiakan peserta didik— tetap saja terabaikan.

Ah, revolusi pendidikan memang tidak dapat lagi menunggu lama buat segera diwujudkan! Kenyataannya memang film melahirkan asumsi nan baik ataupun buruk. Film diciptakan buat melahirkan hal-hal baru dalam masyarakat. Harus diakui bahwa sebuah film melahirkan persepsi nan berbeda buat setiap orangnya.