Tantangan Bappeda

Tantangan Bappeda

Era swatantra daerah seperti berkah dalam musibah ( blessing in disguise ). Satu sisi, daerah mempunyai kekuatan ekstra buat membangun daerah. Sisi lain, daerah dapat menghasilkan raja-raja kecil. Diperlukan peran Bappeda sebagai katalisator perencanaan dan pembangunan daerah buat mengecoh hal ini.

Bappeda dituntut buat memberi cetak biru ( blue plan ) skema kebijakan dalam membangun ekonomi, sosial, budaya, dan politik suatu daerah. Namun, persoalan pelik menghadang fungsi strategis Bappeda tersebut.



Tantangan Bappeda

Berikut ini merupakan 7 tantangan Bappeda.

  1. Komunikasi. Bappeda sebagai think thank pembangunan mesti membangun komunikasi dengan semua lini. Tidak terkecuali politisi, tokoh masyarakat, dan ormas. Bappeda harus memiliki keandalan berkomunikasi. Tidak semua pesan nan disampaikan dapat tersampaikan. Treatment Bappeda menjadi kunci dalam komunikasi. Setiap orang atau kelompok memiliki karakteristik khas masing- masing.
  2. Ego sektoral. Bappeda wajib mengkoordinasi segala sektor buat membangun daerah dengan visi nan sama. Ibaratnya, Bappeda ialah dirigen. Namun, ego sektoral sering terjadi. Satu departemen tak dapat bekerja sama dengan departemen lain atau soal aturan nan berat sebelah. Bappeda harus memupus ego sektoral ini jika ingin seiring seirama.
  3. Struktural. Bappeda harus diakui kerap kikuk dalam mengemban fungsinya. Posisi struktural menjadi persoalan. Terkadang, satu departemen enggan menurut pada Bappeda sebab merasa lebih tinggi. Struktural ini menghambat dalam proses menjalin kolaborasi dan koordinasi.
  4. Cetak biru. Bappeda harus membuat skema pembangunan nan jelas. Bukan parsial, melainkan imparsial. Cetak biru ( blue plan ) Bappeda kerap kedodoran. Entah sebab kurang para profesional atau dapat jadi kompetensi nan kurang. Merumuskan cetak biru merupakan hal nan sulit, tetapi bukan mustahil. Cetak biru akan memberi panduan luas dan khusus mengenai pembanguanan suatu daerah.
  5. Politisi. Bappeda dianggap sebagai wadah para professional berkiprah. Bukan menyepelekan para politisi. Faktanya, politisi sering partisan dalam bertindak. Sementara Bappeda, ialah forum otonom nan berusan dengan publik. Para professional dipercaya dapat lebih mumpuni buat menjaga indepedensi kebijakan nan dibuat.
  6. Dana. Bappeda sering mendapati situasi dilema tanpa aturan nan memadai. Cetak biru telah disusun tapi dana seret. Pihak ketiga (swasta) diharapkan menjankan perannya. Namun, ini bukan persoalan gampang. Menarik investasi partikelir buat membangun daerah butuh political will dari kepala daerah. Seperti payung hukum, birokrasi, dan insentif.
  7. Implementasi. Bappeda ialah forum pemikir ( think thank ) nan hebat. Namun, tanpa implementasi, semua itu jadi semacam kertas. Persoalan primer Bappeda ialah implementasi di lapangan. Seindah apapun guratan skema pembangunan daerah, akan menjadi nihil tanpa implementasi.