Letusan Gunung Merapi

Letusan Gunung Merapi

Salah satu gunung berapi nan paling terkenal di Jawa ialah Gunung Merapi. Gunung Merapi nan terletak di daerah Yogyakarta tersebut dikenal sebagai salah satu gunung berapi nan paling aktif di Pulau Jawa. Banyak nan percaya bahwa letusan Gunung Merapi tersebut berhubungan dengan makhluk halus nan menghuni di sana. Hingga kini, rahasia gunung berapi di Pulau Jawa tersebut masih belum dapat dipecahkan, apakah sahih memang di sekitar Gunung Merapi ada “penunggu” nya.



Misteri Gunung Merapi

Menurut cerita, Gunung Merapi nan kita kenal sekarang ini, sebenarnya ialah Gunung Jamurdipo. Dahulu kala, saat Pulau Jawa diciptakan, Pulau Jawa sempat miring sebab letak Gunung Jamurdipo nan berada di ujung barat Pulau Jawa. Untuk menyeimbangkan Pulau Jawa, Dewa Krincingwesi berinisiatif memindahkan gunung Jamurdipo tersebut tepat ke tengah-tengah pulau Jawa.

Di saat nan bersamaan, ternyata di tengah-tengah Pulau Jawa terdapat dua empu nan ternyata kakak beradik dan sedang membuat keris. Mereka ialah Empu Rama dan Permadi.

Kedua empu tersebut diperingatkan oleh Dewa buat pindah, namun keduanya tetap bersikeras dan tak mau beranjak dari tempatnya. Hingga akhirnya Dewa murka dan Gunung Jamurdipo pun diangkat lalu dijatuhkan tepat di loka kedua empu tersebut membuat keris.

Kedua empu tersebut akhirnya meninggal terpendam di bawah Gunung Jamurdipo. Agar arwah kedua empu tersebut tak murka dan membalas dendam, maka masyarakat di sekitar Gunung Jamurdipo memberikan sesajen pada waktu-waktu tertentu.

Gunung Jamurdipo pun diubah namanya menjadi Gunung Merapi nan artinya loka tanur kedua empu, yaitu Empu Rama dan Permadi. Menurut legenda, arwah kedua empu tersebut menguasai seluruh golongan makhluk halus nan mendiami Gunung Merapi tersebut.

Misteri gunung berapi di Pulau Jawa sangat dipercaya oleh masyarakat nan tinggal di sekitarnya. Bagi masyarakat nan tinggal di sekitar Gunung Merapi, gunung tersebut mengandung kekuatan tersendiri. Menurut mereka, majemuk jenis makhluk halus tinggal di sekitar Gunung Merapi tersebut.

Pada masa kerajaan Mataram, Gunung Merapi dipercaya pernah membantu perang antara kerajaan Mataram dan Pajang. Syahdan kabarnya, kerajaan Mataram sukses memperoleh kemenangan sebab donasi dari penguasa Gunung Merapi. Pada saat perang tersebut, Gunung Merapi meletus, sehingga seluruh pasukan Pajang tewas seketika dan tidak bersisa.



Letusan Gunung Merapi

Letusan gunung nan berapi bisa terjadi setiap saat. Gunung ini termasuk golongan gunung nan mengeluarkan lava dengan cara erupsi sentral, di mana lava akan keluar melalui terusan kepunden atau diatrema .

Hasil dari erupsi inilah nan menyebabkan terbentuknya gunung strato atau disebut juga gunung barah berlapis, di mana erupsi nan terjadi tergolong ke dalam jenis erupsi campuran.

Aliran lava nan kental ketika akan keluar segera menjadi padat dan akhirnya tak bisa mengalir cukup jauh dan tertahan di daerah sekitar puncak. Tumpukan lava ini membuat gunung strato semakin lama semakin tinggi dan meruncing.

Pada saat meletus, gas nan terbentuk dalam magma gunung berapi ini akan mendorong lava dan material lainnya menyembur ke udara. Materi ini akan terpecah menjadi partikel-partikel dan gumpalan-gumpalan nan berpijar nan bisa menghanguskan. Oleh sebab itu, hal ini patut diwaspadai, terutama oleh penduduk sekitar nan tinggal di lereng-lereng gunung berapi nan merupakan daerah rawan bencana.

Meletusnya Gunung Merapi Yogyakarta pada 26 Oktober kemarin dapat dibilang merupakan buah dari akumulasi letupan-letupan erupsi kecil nan terus-tersuan terjadi. Dalam catatan sejarahnya, gunung ini sejak tahun 1548 sudah meletus sebanyak 68 kali.

Gunung Merapi merupakan gunung termuda aktif dan terletak di zona subduksi lempeng Indo-Australia nan secara bergerak maju terus bergerak ke lempeng Eurasia. Aktivitas vulkanik yag demikian tinggi membuat Merapi tidak banyak ditumbuhi vegetasi.

Sejak 1953 ditemukan bahwa ciri letusan Merapi bertipikal lava nan mendesak ke puncak disertai dengan runtuhnya kubah lava secara simultan dan pembentukan awan panas atau dalam bahasa daerah setempat disebut wedhus gembel nan biasanya bergerak secara vetikal.

Letusan Merapi tidak akan mengeluarkan suara keras, tapi cenderung hanya mengeluarkan desisan. Kubah puncaknya nan meletus kemarin merupakan hasil pembentukan sejak tahun 1969.

Kerja sama penelitian nan dilakukan Pusat Vulkanologi Indonesia (PVMBG) dengan Pusat Penelitian Kebumian nan bermarkas di Postdam, Jerman, menyinyalir adanya ruang sangat besar (ruang raksasa) nan bisa menampung jutaan material berbagai unsur nan dapat menghambat getaran gempa bumi, nan mereka perkirakan dengan magma.

Tepat pada 15 Mei 2006 Merapi meletus dengan lumayan dahsyat. Ratdomo Purbo, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kegunungapian (BPPTK) menjelaskan bahwa per 2-4 Juni volume lava di kubah Merapi sudah memenuhi seluruh kapasitas kubah. Di awal Juni terjadi hujan abu vulkanik diserta dengan luncuran awan panas nan menuju ke Magelang dan Muntilan nan berjarak sekitar 14 km dari puncak Merapi.

Di tahun 2010, erupsi pertama dari gunung Merapi Yogyarakrta terjadi pada pukul 17.02 sore. Ketika tiga kali letusan terjadi dan seperti biasa disertai dengan penyemburan abu vulkanik dan material lain dari dalam kaldera Merapi. Leleran lava tersebut begerak dengan derasnya menuju Kaliadem, Desa Kepuharjo, Sleman. Sejak 26 Oktober tersebut awan panas mulai keluar secra masif dan tak teratur.

Kini, memang letusannya sudah mulai mereda. Namun, bahaya bukan berarti sudah tidak mengancam warga di sekitar lereng Merapi. Hujan besar akan menimbulkan banjir lava nan mengendap di lereng-lereng Merapi dan oleh karenanya warga harus waspada.

Bencana letusan gunung Merapi nan terjadi di tanah air ternyata tidak hanya menimbulkan gelombang pengungsi, namun juga gelombang relawan. Mereka ialah orang-orang nan “melawan arus”. Di saat orang lain lari mencari selamat, dengan gagah berani mereka justru berkeliaran di kawasan rawan bencana.

Secara umum, ada dua bahaya nan ditimbulkan dalam bala letusan gunung nan berapi. Bahaya primer (primer) mencakup awan panas, lahar, abu vulkanik, dan muntahan material letusan.

Sedangkan bahaya sekunder ialah bahaya nan sifatnya tidak langsung. Contohnya kerusakan rumah dan sawah, krisis pangan, serta berbagai penyakit nan melanda para pengungsi.

Bahaya utama inilah nan mengancam keselamatan para relawan. Di kawasan rawan bala Merapi 2010, misalnya. Otoritas setempat menetapkan jeda kondusif pada radius hingga 20 km. Sementara para relawan pemantau bahaya awan panas dan pengevakuasi korban harus bercanda dengan maut nan mengintai pada radius empat kilometer saja dari Merapi.

Dalam sebuah artikelnya tentang bala Merapi 2010, Liputan6.com memberitakan tentang seorang relawan bernama Sobirin. Bersama 20 orang rekan lainnya, Sobirin berkeliling setiap hari memantau bahaya awan panas. Jika melihat tanda-tanda bahaya, mereka harus sigap mengabarkan kepada penduduk setempat nan belum mengungsi.

Hanya berbekal alat komunikasi antik handy talkie , setiap hari Sobirin dan kawan-kawan harus bercengkrama dengan maut. Awan panas bersuhu ratusan derajat celcius dapat meluncur sewaktu-waktu, membakar apa saja tanpa pandang bulu.

Apa nan mendorong Sobirin dan kawan-kawan melakukan tugas berbahaya itu? Tak ada alasan lain kecuali panggilan hati nan ingin melakukan misi kemanusiaan. Imbalan materi bukanlah asa mereka sebab buat biaya sehari-hari saja mereka harus merogoh dari kantong sendiri.

Para relawan nan bertugas di daerah rawan bala Merapi juga harus rela kehilangan waktu bercengkerama dengan keluarga. Beratnya tugas nan dipikul menyebabkan mereka terpaksa tak pulang ke rumah berhari-hari.

Betapa tidak. Dalam mengevakuasi korban, Tim SAR benar-benar diburu waktu. Mereka menyisir daerah bala dan mengevakuasi korban di tengah kegelapan nan mencekam, debu vulkanik nan menyesakkan, juga awan panas nan setiap saat mengancam.

Walaupun relawan bala identik dengan orang nan gagah berani, mereka tetaplah manusia biasa nan memiliki perasaan. Risiko lain nan harus mereka tanggung sebagai pengemban misi humanisme ialah hal-hal menyeramkan nan akan terus terbayang seumur hayati mereka.

Di loka lain, suatu saat Aditya dan kawan-kawannya menemukan sebuah rumah nan tidak lagi berbentuk sebab terjangan awan ganas Merapi. Di dalam rumah itu mereka menemukan sembilan anggota keluarga berkumpul di sebuah ruangan dalam posisi bersujud. Pemandangan semacam itu, tentu membuat hati siapa pun nan melihatnya akan teriris-iris. Bahkan dapat menjadi trauma nan membayangi seumur hidup.

Zaman telah berganti, namun hingga kini rahasia gunung berapi nan ada di Pulau Jawa tersebut masih menyisakan sejuta teka-teki, terutama bagi masyarakat nan tinggal di sekitar Gunung Merapi tersebut. Setiap tanggal satu Syura, mereka selalu memberikan sesajen buat penguasa Gunung Merapi.

Sesajen tersebut digunakan sebagai persembahan kepada sang penguasa agar penguasa tak murka. Bila Gunung Merapi meletus, itu tandanya penguasa gunung tersebut sedang murka. Percaya atau tak misteri gunung berapi, itu terserah Anda.