Teori Pertumbuhan Ekonomi Tidak Sejalan dengan Fakta di Lapangan

Teori Pertumbuhan Ekonomi Tidak Sejalan dengan Fakta di Lapangan

Teori pertumbuhan ekonomi merupakan cara/rumus buat mengukur keberhasilan ekonomi dan pembangunan sebuah negara dilihat dari berbagai segi. Baikyang menyangkut perekonomian sektor riil, maupun sektor non-riil. Salah satu baku atau tolak ukur dari pertumbuhan ekonomi nan dipakai pemerintah saat ini ialah presentasi total utang negara pada Produk Domestik Bruto (PDB).

Pemerintahan saat ini mengaku telah berhasil membangun ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Dengan alasan, pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat nilai 6,5%. Prensentasi utang negara terhadap PDB sebesar 25%. Dengan jumlah utang negara sebesar 1.837,39 triliun rupiah dengan PDB sebesar 7.226 triliun rupiah.

Angka pertumbuhan ekonomi 6,5% nan dicapai pemerintahan reformasi ini menempatkan negeri ini menjadi peringkat ke-3 di Asia Tenggara dalam hal prospek pembangunan ekonomi. Dan nilai tersebut juga merupakan nan terbesar dalam 1 dasa warsa terakhir.

Berbagai iklan dan promosi dilakukan pemerintah sebab sukses mencatatkan nilai pertumbuhan ekonomi pada 2011. Acapkali, pejabat dari pemerintahan eksekutif menjadikan nilai tersebut sebagai bukti pembangunan di masa 2 kepemimpinan terakhir telah mencapai prestasi nan luar biasa.

Nah, sebelum kita bertepuk tangan atas keberhasilan tersebut, pertama kali kita harus tahu jawaban mengenai pertanyaan ini: Apakah teori pertumbuhan ekonomi itu sahih dalam mengukur pembangunan di suatu negara, terutama di tanah air?



Teori Pertumbuhan Ekonomi Tidak Sejalan dengan Fakta di Lapangan

Nilai pertumbuhan paling tinggi tanah air ini terjadi pada tahun 1996 saat dalam orde baru. Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomiseharusnya Indonesia menjadi kuat ekonominya dalam beberapa tahun kedepan, namun fakta di lapangan berbeda sebab terjadi berbagai keterpurukan dan kerusakan dampak moneter terjadi di Indonesia. Hal itu membuat rakyat marah dan menggulingkan presiden Soeharto pada tahun 1998, berarti nilai pertumbuhan ekonomi pada tahun 1996 tak sejalan dengan kondisi konkret di ekonomi masyarakat. Oleh sebab itu kita tak dapat melihat atau mengukur kesejahterahan rakyat dari nilai pertumbuhan ekonomi pada tahun 1996-1998.

Perbedaan antara teori pertumbuhan ekonomi dengan fakta ekonomi riel ternyata terjadi juga pada masa pemerintahan reformasi saat ini. Dengan nilai pertubuhan ekonomi sebedar 6,5 % ternyata terjadi berbagai masalah di bidang pembangunan di antaranya :



1. Orang Kaya Semakin Kaya, Orang Miskin Semakin Melarat

Berdasarkan data nan dikeluarkan majalah Forbes pada akhir 2011 bahwa kekayaan 40 orang terkaya/kapitalis di Indonesia mencapai US$ 85 miliar. Kenaikan kekayaan total tersebut lebih dari 15% dari tahun sebelumnya.

Bila kita bandingkan total PDB tanah air maka kekayaan 40 orang terkaya sebesar 11%. Ini berarti, modal/harta nan ada di Indonesia terakumulasi pada orang-orang terkaya saja. Mengingat, ada 30 juta lebih rakyat miskin di akhir tahun 2011 menurut data dari BPS. Di mana, kriteria miskin menurut data tersebut ialah nan memiliki penghasilan kurang dari 230 ribu rupiah.

Bila kita menggunakan tolak ukur internasional mengenai kategori orang miskin, yaitu berpendapatan US$ 60/bulan atau setara dengan 600 ribu rupiah. Artinya, akan ada 100 juta penduduk negeri katulistiwa nan menderita kemiskinan.

Para kapitalis dapat leluasa mencengkram ekonomi negeri ini disebabkan dari pemberlakuan Undang-Undang (UU) Liberal nan membebaskan mereka mengelola harta milik rakyat. Seperti tambang-tambang SDA, hutan, dan lainnya. Disparitas antara si kaya dan si miskin di negeri ini membuat kita menangis dan bertanya, mengapa teori pertumbuhan ekonomi nan dipakai pemerintah dapat salah besar?



2. APBN dan Utang Luar Negeri Bertambah Besar

Hiruk-pikuk tentang keberhasilan pertumbungan ekonomi di tahun 2011 ternyata memiki fakta lain nan berbeda, yaitu semakin membengkaknya APBN dan utang luar negeri. Pada bulan oktober 2011, utang Indonesia sudah di angka Rp 1.700 triliun lebih. Hal itu membuat APBN menganggarkan permbayaran utang beserta cicilannya sebesar Rp 260 triliun lebih. Nilai tersebut ialah 20% dari total APBN Rp1.321 triliun.

Selain itu, ternyata pengelolaan APBN nan wah itu tak seperti nan diharapkan rakyat. Birokrasi nan rumit dan berputar-putar membuat penyaluran dana APBN tak cepat, bahkan tak sampai kepada posnya. Hal itu terbukti dengan dana nan nganggur sebanyak Rp 200 triliun lebih.

Bila pun dana APBN sampai ke posnya maka hanya sebagian kecil nan bermanfaat bagi rakyat. Contohnya, banyaknya dana APBN nan digunakan buat plesiran para pejabat ke luar negeri. Seperti ke Australia, Amerika, Belanda, dan lainnya.

Dana aturan sosial nan mencapai nilai Rp 61 triliun pun tak jelas terserap oleh siapa dan di mana. Bahkan lebih ironis lagi, tentang bantual sosial nan dikelola kementerian dan forum nan mencapai 63 triliun, penyalurannya tak dapat diketahui apakah langsung kepada rakyat (Tempointeraktif). Dengan fakta ini, apakah teori pertumbuhan ekonomi nan dipakai pemerintah dapat dijadikan evaluasi ?



3. Pengangguran Semakin Meningkat

Pemerintah sekali lagi mengatakan bahwa telah sukses mengurangi pengangguran di tanah air dari jumlah 8,7 juta menyusut menjadi 8,12 juta orang. Akan tetapi, baku nan diberikan BPS hanya 1 jam/hari. Begitu lucunya mengatakan bahwa orang tak nganggur itu ialah orang bekerja selama 1 jam/hari. Bila dalam 1 bulan maka jam kerjanya sebesar 30 jam/bulan.

Coba kita bayangkan, berapakah pendapatan kita bila bekerja 1 jam/hari? Contohnya, kuli bangunan nan bekerja 8 jam mempunyai upah sebesar 25 ribu. Bila kuli bekerja 30 jam/bulan maka penghasilan dia dalam sebulan cuma Rp 93.750. Sekarang pertanyaannya, apakah kita bisa hayati sebulan dengan gaji sebesar Rp 93.750? Apalagi kalau kita mempunyai keluarga (istri dan anak)?

Belum lagi asumsi pemerintah nan mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi, seharusnya nilai 6,5 persen telah membuat lapangan kerja baru nan sangat banyak. Namun, faktanya hanya ada sekitar 580 ribu orang nan mendapatkan pekerjaan pada tahun 2011. Angka ini masih jauh dari asa rakyat. Mengingat pengangguran di negeri ini lebih dari 15 juta orang.

Rendahnya lapangan kerja bagi masyarakat ternyata diiringi dengan produktivitas tenaga kerja tanah air nan masih rendah pula bila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Kontribusi tenaga kerja kita pada besarnya PDB hanya sekitar US$ 8.000. Nilai tersebut jauh tertinggal dari negara lainnya. Misalnya, Singapura sebesar US$ 72.000, Malaysia US$ 31.000, dan negara gajah putih Thailand US$ 13.000.



4. Kekayaan SDA Dikuasai oleh Partikelir dan Asing

Kita tahu bahwa ada pribahasa nan mengatakan, negeri ini ialah negeri gemah ripah loh jinawi. Di mana, manusia dapat hayati dengan alam, tanah, dan air nan mengandung berbagai macam kemanfaatan. Namun, hal itu sekarang berubah. Rakyat Indonesia ibarat ayam nan wafat kelaparan di lumbung padi. Bagaimana tidak, semua kekayaan alam tanah air dikuras habis oleh perusahaan milik partikelir dan asing. Tercatat hampir lebih dari 90% SDA kita lepas dari tangan rakyat.

Indonesia merupakan negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Namun, rakyat harus memelas buat mendapatkan BBM berharga murah. Masih segar dalam ingatan kita insiden pada bulat Maret 2012 kemarin. Bahwa semua kalangan rakyat dari buruh, mahasiswa, cendekiawan, dan tokoh umat bersama-sam menolak kenaikan BBM nan direncanakan pemerintahan.

Cadangan gas negeri ini ialah terbesar ke-11 di dunia. Namun, kelangkaan gas elpiji sering terjadi hampir di seluruh daerah. Batubara milik negeri katulistiwa ini pun tak kalah. Yaitu 126 miliar ton dan menempatkan negeri kita di peringkat 15 dunia. Belum lagi SDA nan lain, seperti emas, timah, nikel, tembaga, dan lainnya.

Namun ironisnya, kekayaan SDA nan melimpah ruah itu tak dapat dinikmati oleh rakyat. Ini menandakan bahwa teori pertumbuhan ekonomi nan dipakai pemerintah tak sejalan dengan fakta di lapangan. Perusahaan partikelir dan asing bisa rakus dalam mengeruk SDA. Dikarenakan ekonomi negeri ini telah menjadi liberal. Contohnya ialah puluhan BUMN telah dijual kepada publik dalam beberapa tahun terakhir.

Begitulah citra tentang pembangunan nan terjadi di Indonesia. Berbagai masalah di atas memberikan konklusi bahwa teori pertumbuhan ekonomi nan dipakai oleh pemerintah tak sejalan dengan apa nan dirasakan masyarakat. Masalah-masalah tersebut tak akan kunjung selesai bila tak ada perubahan nan bersifat asas pada negeri ini. Perubahan nan berpihak pada kepentingan bersama.