Meniru Budaya Kerja Orang Jepang

Meniru Budaya Kerja Orang Jepang

Indonesia terdapat 11000 warga Japanese (Jepang). Sebagian telah menjadi warganegara Indonesia sebab turun temurun sejak zaman okupasi Jepang pada 1941-1945,. Sebagian Japanese lagi sengaja datang ke Indonesia bersamaan dengan investasi besar-besaran Jepang / Japanese Investor sejak zaman Consultative Group for Indonesia pada dasa warsa 70-an. Menyaru dalam bentuk Japan Assistance, Japan Foundation, dan bertiwikrama dalam perusahaan leaping frog seperti pabrikan otomotif, tekstil, mie instan, elektronik, atau fasilitas pelabuhan.



Japanese Next Generation

Orang Jepang / Japanese, sepanjang nan dikenal oleh sejarahnya di Indonesia, dikenal memiliki perawakan nan tak terlalu tinggi, bermata sipit, dan bergigi tonggos, tengah lepas sedikit demi sedikit dari sematan budaya macam itu.

Orang Jepang kini tak lagi dipandang sebagai orang nan eksplosif dalam berkerja walau masih tersisa semangat kerja di atas rata-rata penduduk dunia. Setidaknya, itu menurut Robert Norton Bellah, dalam bukunya Religi Tokugawa. Namun, beda Norton Bellah beda dengan Yoko Shoji, penulis dalam negeri Jepang sendiri. Orang Jepang, menurut orang Jepang, tengah dihuni perasaan insecure-tidak kondusif nan tinggi.

Akar masalahnya adalah: anak muda kelahiran era Heisei (1990-sekarang). Mereka pewaris dari masa depan Jepang di tengah Shinawareta Juunen atau "Dekade nan Hilang". Ini gara-gara utang perekonomian Jepang dari masa bubble ekonomi, pada 1990. Hal ini salah satu nan harus dihadapi oleh generasi Heisei nan lebih pesolek dan tak mau tahu hal nan terjadi di Jepang. Jepang tengah kolaps, tetapi anak mudanya malah main tamagochi. Japanese Next Generation, cenderung tidak peka dengan kondisi perekonomian, juga tidak berminat masuk dalam global politik. Mereka lebih bahagia dengan dunianya sendiri nan serba nirkable alias kerja online. Ini tentu saja salah dari orang-orang generasi Showa setelah perang (1926-1989) sendiri.



Japanese New Generation jauh dari ekspetasi

Generasi Showa nan digambarkan sebagai generasi manusia terbaik di seluruh global di abad 20. Mereka nan melahirkan icon perjuangan, seperti tokoh khayalan Oshin dalam Budaya Pop, Osamu Tezuka dalam global seni, Toshiro Mifune dalam global akting, Yasuhiro Nakasone dalam global politik, Hideki Tojo dalam global militer, atau Shoichiro Honda dalam global bisnis.Mereka tak mampu lagi melahirkan generasi setangguh mereka sendiri. Anak-anak generasi Showa terakhir senangnya berpesta pora, hayati mewah, tak peduli sesama, bahkan maniak seks. Ya, benar, Anda tentu lebih hafal Jepang sebagai penghasil industri sah pornografi berkualitas tinggi. Anak-anak nan dilahirkan oleh generasi Showa terakhir tak terurus. Orang tuanya sibuk dengan kerja, kerja, dan kerja, dan lantas bermain-main. Sehingga, kesamaan anak-anak muda nan diasuh oleh orang tua generasi Showa terakhir buat melakukan bunuh diri begitu tinggi. Jika tak bunuh diri, anak-anak Heisei itu akan menjelma menjadi si kabayan nan pemalas.Perlawanan Anak-anak HeiseiBagi Anda nan pernah menonton film Battle Royale (2000) karya pengarah adegan Kinji Fukusaku, akan memahami kemarahan anak-anak muda Heisei. Mereka membenci orang dewasa, bahkan saking bencinya, mereka bersedia saling bunuh dengan orang dewasa itu. Orang dewasa nan dimaksud tentu saja, generasi Showa terakhir.

Perlawanan tak berhenti lewat budaya pop. Anak-anak muda Jepang mencobanya dengan street fashion nan diwakili Harajuku style sebagai barometer fashionnya. Selain music pop / J –Pop sempat menjadi trending music nan mampu menembus pasar music internasional.Diskripsi singkatnya kultur mereka lebih seperti orang Barat, dibanding orang Jepang sendiri maksudnya dalam sisi jati dirinya sebagai bangsa mongoloid. Mereka menghitamkan kulit bagai negro, mengecat rambut rona warni, bahagia piercing, dan malas masuk sekolah. Ini dapat dibilang sebagai generasi nan krisis identitas. Mereka tidak menganggap dirinya sebagai real Japanese, melainkan bagian dari budaya global. Yanki Furisutiaru atau gaya berontak ala Yanke tengah digemari. Tentu saja, orang tua mereka tak peduli. Karena, di Jepang diatur undang-undang kedewasaan. Anak nan sudah dewasa tak boleh diusik oleh orang tuanya lagi. Entah bagaimana lagi cara anak-anak Heisei ini mendapatkan pengakuan dan afeksi dari orang tuanya.Masa depan Jepang tak ada nan tahu. Namun, semua orang Jepang nan peduli sepakat. Bahwa, perasaan tak nyaman sebab generasi Heisei harus segera dicarikan jalan keluar. Sehingga, para Samurai abad 21 itu dapat kembali ke pangkuan budayanya nan murni.



Meniru Budaya Kerja Orang Jepang

Terlepas dari sejarah panjang negeri sakura nan akhirnya membentuk manusia Jepang nan pekerja keras. Paska perang global 2 nan diakhiri dengan kekalah Jepang sebab negerinya di jatuh dua bom atom oleh Amerika. Jepang masuk dalam masa-masa suram, di masa itu kondisi perekonomian Negeri Sakura terpuruk pada titik nadir. Namun masa suram itu tidak berlangung lama, karakter orang Jepang nan tidak gampang menyerah dengan keadaan. Japanese government / pemerintah Jepang berjuang membenahi kondisi dalam negerinya nan morat-marit dampak perang berkepanjangan.

Dengan semangat slogan Bushido mereka belajar dari kesalahan, dan menatap masa depan. Perekonomian dibangun dari pembangunan industry manufaktur seperti pabrik baja, galangan kapal, dan industri otomotif nan sudah lama berdiri sejak zaman perang. Kemudian ditunjang dengan industry elektronik, tekstil, farmasi, makanan olah dan lain sebagainya. Berlahan tapi niscaya konvoi perekonomian Jepang mulai nampak kenaikan nan significant. Didukung dengan budaya kerja keras dan dinamika politik nan bersih, Jepang mulai menjadi macan Asia sejak tahun 1960 an, berarti pemerintah Jepang hanya butuh waktu 25 tahun saja setelah masa perang global II guna merajai prekonomian Asia. Lihat saja mereka pada masa dasa warsa 60 an sudah mampu mengekspor mobil-mobil niaga, dan motor ke luar negeri bahkan sampai ke Eropa dan Amerika nan nota bene merupakan musuhnya. Tercatat pada dasa warsa 60'an Jepang mencapai puncak prestasi laju pertumbuhan paling tinggi sedunia. Japanese Investement Masuk Indonesia

Memasuki dasa warsa 70'an dibantu pemerintah Jepang investor dari negeri Sakura mulai melirik negeri ke tiga seperti Indonesia, Malaysia, buat menanam investasinya di luarngeri. Karena membangun pabrik di negerinya sendiri biayanya sangat mahal, terlebih lahannya sangat sempit. Maka Japanese investor mulai melirik Indonesia buat mengembangkan bisnisnya dalam bentuk pabrik elektronik, otomotif dan farmasi. Di sisi lain setelah suksesi kedua kekuasan Indonesia paska tumbangnya rezim orde lama, dan diganti oleh Soeharto. Sistem kepemerintahan Suharto nan ramah dengan investor Jepang menjadikan Indonesia sebagai surganya investasi pada masa itu.

Indonesia pun turut menikmati efek kemajuan ekonomi macan Asia, interaksi kolaborasi biletaral dengan Jepang pun dijalin, bentuk dari kolaborasi ekonomi dengan Jepang adalah, Indonesia menyediakan huma guna pengembangan pabrik otomotif, elektronik dan lain sebagainya. Lihat saja pabrik-pabrik mulai dibangun di kawasan Bekasi, Tangerang dan wilayah lain di Indonesia. Investor Jepang diberi kemudahan dalam mengurus perizinan usaha. Jalinan kerjasama Indonesia dengan Jepang dapat langgeng sampai sekarang karena, sama-sama saling menguntungkan kedua belah pihak, Japanese Investor menginginkan sebuah negara nan aman dan ramah terhadap atsmofir bisnis global.

Sedangan pemerintah Indonesia dapat menargetkan pemasukan pajak dari industry Jepang, selain itu keberadaan industry Jepang mampu menurunkan taraf pengangguran di tanah air. Demikianlah sedikit tentang dinamika Japanese generation nan akselerasinya tidak dapat diharapkan oleh pendahulunya.