Pruskot (uang muka) Biaya Perkara (109)

Pruskot (uang muka) Biaya Perkara (109)

Ketika hendak membicarakan hukum acara Peradilan Agama , seyogianya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu hukum acara. Hukum acara yaitu, ketentuan nan mengatur proses penegakan hukum materil, bagaimana dan siapa nan berwenang buat penegakan hukum bila terjadi pelanggaran terhadap hukum materil. Jadi hukum acara peradilan agama ialah ketentuan mengenai proses penegakan hukum materil nan menjadi wewenang peradilan agama termasuk bagaimana proses pengajuan tuntutan hak atau permohonan, serta tata cara hakim bertindak dalam menyelesaikan perkara nan menjadi wewenang hakim dalam peradilan agama. Menurut ketentuan pasal 54 Undang-undang nomor 7 1987, Hukum acara Peradilan Agama ialah hukum acara perdata nan berlaku di lingkungan Peradilan Generik kecuali buat hal-hal nan telah diatur secara spesifik dalam Undang-Undang tersebut.

Hukum acara Peradilan Agama memiliki dasar-dasar hukum nan sah. Adapun sumber nya itu sebagai berikut:

1. HIR/RBg.

2. B.W. (KUH Perdata)

3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 170.

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

9. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 (Tentang Kompilasi Hukum Islam

10. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987.

11. Surat Keputusan atau Peraturan Mahkamah Agung R.I.

12. Surat-Edaran Mahkamah Agung R.I. (SEMA)

13. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan Hukum termasuk dalam Kitab-Kitab Fiqih.

14. Dan Lain-lain



Tentang Pengajuan Perkara

Bila seseorang merasa kepentingan dan hak pribadinya telah dilanggar oleh orang lain, hendaknya perkara tersebut diselesaikan terlebih dahulu dengan jalan musyawarah (kekeluargaan). Namun apa bila cara ini tak mampu, orang itu bisa meminta Pengadilan Agama menyelesaikan persoalannya secara hukum. Untuk itu, negara telah menyediakan perangkat pelaksana penegakan hukum, lengkap dengan proses dan tata cara bagaimana hukum itu ditegakkan.

Pengajuan hukum acara peradilan agama memiliki aturan-aturan nan telah diatur dalam. Seseorang dapat meminta donasi pengadilan agama mengenai pengajuan hak atau gugatan/permohonan. Orang itu harus mengajukan surat gugatan/permohonan kepada Pengadilan nan ditandatangani oleh penggugat/pemohon atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan.

Dalam hukum acara Peradilan Agama, pengajuan perkara bisa diajukan dengan dua cara, yaitu pengajuan perkara secara tertulis dan pengajuan secara lisan. Untuk pengajuan tertulis, harus membuat surat gugatan/permohonan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan nan telah diatur. Adapun syarat-syarat penyusunan surat somasi atau pemohon dalam hukum acara peradilan agama sebagai berikut:

  1. Merupakan tuntutan hak. Yaitu tindakan buat memperoleh konservasi hukum nan diberikan oleh Pengadilan buat mencegah perbuatan main hakim sendiri.
  2. Adanya kepentingan hukum. Ini ialah syarat pokok bahwa somasi nan diajukan harus mempunyai kepentingan hukum nan layak, dan mempunyai dasar hukum nan benar.
  3. Merupakan suatu sengketa. Surat somasi nan tak mengajukan pihak nan digugat/dimohon maka tuntutan seseorang tak menjadi wewenang Pengadilan. Karena tak adanya pihak nan digugat/dimohon, berarti tak ada sengketa. Dengan jelas pasal 49 Undang-undang No. 7 tahun 1989 menentukan bahwa kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadiliki perkara harus mengandung perdata nan bersifat sengketa.
  4. Dibuat dengan cermat dan terang. Yaitu surat somasi harus memuat objek sengketa, pihak nan digugat/dimohon, serta landasan hukumnya. Jika tak ditulis dengan jelas, surat somasi bisa ditolak oleh hakim.

Sementara buat pengajuan perkara secara lisan, hukum acara Peradilan Agama juga mengatur tata cara pengajuannya. Perkara nan diajukan secara lisan dimohonkan kepada ketua Pengadilan, dan harus disampaikan sendiri oleh penggugat oleh kuasanya. Pasal 190 HIR dan pasal 144 R.Bg menyebutkan, bahwa bilamana penggugat atau pemohon tak bisa baca tulis, maka somasi atau permohonan bisa diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan.

Lalu Ketua Pengadilan membuat atau menugaskan salah seorang Hakim buat merumuskan gugatan/permohonan secara lisan itu. Setelah penggugat membenarkan rumusan nan dibacakan kepadanya, lalu rumusan itu ditandatangani oleh Hakim nan membuat surat gugatan/permohonan lisat tersebut. Sedangkan syarat-syarat dalam gugatan/permohonan nan diajukan secara lisan, sama penyusunannya dengan surat gugatan/permohonan tertulis.



Unsur-unsur nan Harus Dimuat Dalam Gugatan/Permohonan Dalam Hukum Acara Peradilan Agama.

Gugatan nan diajukan baik secara tertulis maupun lisan harus dibubuhi tanda tangan. Sedangkan nan bisa menandatangani surat gugatan/permohonan dalam praktek adalah:

  1. Penggugat atau pemohon sendiri
  2. Kuasa penggugat. Orang nan diberi kuasa spesifik oleh penggugat, harus dinyatakan dengan surat kuasa khusus. Dan surat kuasa somasi nan ditanda tangani oleh kuasa penggugat harus lebih muda dari tanggal surat kuasa khusus.
  3. Hakim. Penanda tanganan hakim berlaku dalam pengajuan perkara secara lisan.

Mengenai unsur-unsur nan harus dimuat dalam surat gugatan, sebenarnya tak ada penjelasannya dalam Undang-undang hukum acara peradilan agama. Namun hal di atas tadi berdasarkan praktek nan berlaku selama ini.

Menyangkut perkara nan dipersengketakan dalam surat gugatan/permohonan, praktek hukum acara Peradilan Agama selama ini harus memuat:

  1. Tanggal pembuatan surat gugatan/permohonan dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan.
  2. Tanda tangan penggugat/pemohon, atau kuasa penggugat, atau tanda tangan Ketua atau Hakim nan ditugaskan merumuskan (mencatat) somasi nan diajukan secara lisan.
  3. Identitas para pihak dan kedudukannya dalam perkara.
  4. Posita. Yaitu alasan-alasan nan menjadi dasar-dasar gugatan/permohonan. Yang dikenal juga dengan istilah fundamentum petendi.
  5. Petitum. Yaitu hal-hal nan diinginkan oleh penggugat/pemohon buat diputuskan/ditetapkan oleh Pengadilan. Praktek hukumnya mengharuskan perumusannya dengan lengkap, jelas, tegas, berdasarkan hukum, dan harus didukung oleh posita.

Bentuk petitum dalam hukum acara Peradilan Agama, pada umumnya dibuat dalam dua bagian:

  1. Tuntutan pokok ( primair ). Yaitu tuntutan/permohonan nan menjadi persoalan pokok nan menjadi tuntutan penggugat/pemohon.
  2. Tuntutan tambahan. Merupakan tuntutan pelengkap. Biasanya berupa tuntutan pembebanan biaya perkara kepada pihak lawan, dan tuntutan agar putusan bisa dijalankan terlebih dahulu. Hal ini lebih dikenal dengan putusan serta merta.

Dalam kenyataannya, banyak masyarakat pencari keadilan (penggugat/pemohon) kurang mengerti tentang hukum. Untuk itu Pengadilan wajib membantu pemohon keadilan merumuskan surat gugatan/permohonan, agar surat somasi memenehui syarat dan standar.



Pruskot (uang muka) Biaya Perkara (109)

Dalam hukum acara Peradilan Agama, peradilan nan berlangsung memiliki sejumlah biaya nan harus dibayar terlebih dahulu oleh penggugat/pemohon. Biaya-biaya nan diperlukan selama proses perkara antara lain:

  1. Biaya kepaniteraan dan biaya materai.
  2. Biaya buat para saksi, saksi ahli, penerjemah dan biaya pengambilan sumpah.
  3. Biaya inspeksi nan diperlukan Pengadilan.
  4. Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain.

Biaya-biaya nan diberikan dalam proses pengadilan suatu perkara, dibayar terlebih dahulu oleh penggugat/pemohon sebagai pruskot (uang muka). Dan apabila penggugat/pemohon tak mampu, ia bisa mengajukan perkaranya dengan cuma-cuma dengan syarat menunjukkan referensi miskin. Surat itu dikeluarkan oleh Kelurahan/Desa nan diketahui camat setempat

Bukan hanya penggugat, tergugat juga bisa memohon izin berperkara dengan cuma-cuma. Dan permohonan itu diajukan dengan keterangan tak mampu seperti halnya penggugat. Tujuannya, apabila nantinya tergugat kalah dalam persidangan, ia tak dibebani (tidak dihukum) menanggung biaya perkara. Tapi buat perkara di bidang konkurensi perkawinan, ketentuan ini tak berlaku. Segala biaya menjadi tanggungan penggugat/pemohon.

Saat menerima perkara, peradilan hukum acara peradilan agama akan terlebih dahulu memperkirakan biaya-biaya perkara. Besar kecil biaya ditaksir berdasarkan:

  1. Jauh dekat dan kondisi loka kediaman para pihak dari Pengadilan.
  2. Banyak atau tidaknya para pihak nan berperkara. Ini menyangkut banyaknya biaya pemanggilan dan pemberitahuan.
  3. Kegiatan-kegiatan nan dimungkinkan muncul selama proses persidangan. Seperti penyitaan jaminan, inspeksi setempat dan lain-lain.

Tugas diagnosis dilakukan oleh Ketua Pengadilan hukum acara peradilan agama. Dalam prakteknya, Ketua menugaskan kepaniteraan buat melakukan hal itu. Lalu hasil diagnosis dituangkan dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).