Tips Agar Tidak Kecewa

Tips Agar Tidak Kecewa

Belum lama ini, perfilman Indonesia digegerkan oleh film-film nan diadaptasi dari sebuah karya sastra, dalam hal ini novel. Sebut saja kenyataan kesuksesan koleksi film Indonesia nan didulang Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy dan Laskar Pelangi -nya Andrea Hirata. Juga tak kalah booming ialah film Ketika Cinta Bertasbih nan syahdan diputar di 8 negara dan menjadi film laris hanya dalam hitungan hari.

Bahkan, hingga hari ini, ketiga novel tersebut masih saja dibeli sebagian orang. Begitu pun filmnya, masih ada nan menonton. Beberapa hal dapat menjadi alasan kenapa orang masih ingin membeli novel dan menonton ketiga film tersebut.

Di antaranya ialah rasa penasaran atau memang mereka benar-benar cinta kepada novel dan film tersebut sehingga membuat orang-orang tersebut tak pernah bosan buat menonton film ataupun membaca novel. Hal ini dapat jadi membuat orang-orang di sekitar mereka ikut tertarik dan membeli ketiga novel tersebut.

Jika novel Kang Abik, begitu Habiburrahman akrab disapa, tetap digemari sebab mengusung konsep membangun jiwa, novel Andrea Hirata tetap disukai sebab mengangkat tema nan tak basi: pendidikan ala Indonesia. Tentu saja, kedua unsur nan diangkat oleh novel tersebut tak terpisah dengan tema cinta nan akan selalu abadi dan tak akan pernah habis buat digali menjadi berbagai macam cerita.



Bukan Hal Baru

Sebenarnya, film nan diangkat dari sebuah novel bukanlah hal baru bagi insan di global perfilman. Di sejumlah negara maju semisal Eropa, sudah banyak sekali novel nan diangkat ke layar lebar.

Pada 1986 kita mengenal novel The Name of The Rose karya Umberto Eco nan juga difilmkan dengan judul sinkron novelnya. Novel karya Leo Tolstoy berjudul War and Peace juga difilmkan dengan judul sama. Di Rusia sendiri, War and Peace merupakan bacaan tentang pergolakan politik pada abab ke-20 nan wajib dibaca oleh murid-murid sekolah generik di Rusia.

Novel lain nan berhasil diangkat menjadi sebuah film diantaranya ialah The Notebook, karya Nicholas Sparks, Oliver Twist karya Roman Polanski, dan nan fenomenal mungkin ialah Lord of The Rings, Twilight, dan Harry Potters.

Untuk koleksi film Indonesia nan diangkat dari novel juga lumayan banyak, tetapi memang tak selaris dari ketiga film nan disebutkan di awal artikel. Di antara film-film Indonesia nan diangkat dari novel di antaranya ialah Ca Bau Kan, Eiffel I'm in Love, Lost in Love, Atheis, dan masih banyak lagi film nan diangkat dari novel.



Beda Novel dan Film

Saat orang-orang mengantri di loket karcis buat menonton film nan diangkat dari novel kesayangan mereka, tidak sporadis setelah keluar bioskop keluarlah kata-kata kecewa dari mulut mereka. Ini terjadi sebab ada disparitas antara novel dan film nan mereka tonton. Novel tentu akan menyuguhkan kekayaan khayalan dan masing-masing orang akan mempunyai khayalan sendiri dengan apa nan mereka baca.

Bayangan seseorang tentang sebuah benda ataupun rupa dari seorang tokoh nan ada di sebuah novel dapat berbeda-beda. Sedangkan film ialah khayalan nan sudah ditampilkan dalam bentuk gambar dan suara. Sehingga semua orang nan menonton sebuah film niscaya akan mendengar dan melihat gambar nan sama.

Umumnya, mereka berharap film nan diputar sama dengan apa nan mereka baca. Tetapi, hal tersebut tentu tak dapat terjadi sebab khayalan orang nan membuat film, tentulah berbeda dengan khayalan orang lain nan membaca novel tersebut. Akibatnya, asa orang-orang buat melihat sebuah film sinkron dengan khayalan mereka ternyata tak mereka temui hingga berujung kekecewaan. Kenapa dapat seperti itu?

Novel sebagai karya sastra dan film sebagai kerja tim ialah dua hal nan berbeda. Novel tetap menjadi novel nan bebas lintas batas sebab hanya mengandalkan imajinasi, sementara ketika difilmkan selalu saja ada diskusi-diskusi atau kompromi. Diskusi-diskusi ini dilakukan antara produser, penulis, maupun sutradara.

Tentu saja jika penulis novel tersebut nan diminta buat membuat sebuah film dari novel karyanya, dia niscaya akan menginginkan adegan dan ceritanya sinkron dengan apa nan dia tulis. Tetapi, hal tersebut tak selamanya dapat dilakukan sebab penulis belum tentu tahu bagaimana membuat sebuah film tersebut. Karena itulah pengarah adegan dipakai buat mengalihkan sebuah novel menjadi sebuah buku agar hasil nan dicapai dapat maksimal.

Jika sutaradara diberikan pilihan, tentulah dia juga ingin membuat sebuah film sebagus mungkin, tetapi semua itu terbentur dengan hal lain nan perlu dikompromikan dengan produser nan menjadi penanggung jawab biaya pembuatan film. Adegan nan membutuhkan aturan nan sangat besar tentu akan dihindari oleh seorang produser.

Misalnya saja di dalam novel terdapat adegan pesawat nan jatuh. Tidak mungkin seorang produser akan menggambarkan adegan tersebut secara konkret dengan menjatuhkan sebuah pesawat. Biayanya tentu akan sangat mahal dan menyangkut keselamatan banyak orang. Seorang novelis hanya bermodal khayalan dalam membuat adegan nan bagus, sedangkan produser bermodalkan uang buat membuat adegan nan bagus.

Adegan nan hanya bermodal khayalan sang novelis seperti nan sudah disebutkan di atas, dapat jadi sangat memberatkan dari sisi penggarapan oleh pengarah adegan atau juga membengkakkan aturan keuangan sang produser.

Oleh karena itu, sang novelis, sutradara, dan produser harus selalu duduk bersama buat mendiskusikan hal-hal idealis, teknis, dan biaya. Tentu saja semua itu dilakukan dengan meminimalkan perubahan cerita dan juga adegan nan ada di film dari adegan dan cerita novel.



Tips Agar Tidak Kecewa

Agar kita tak merasa kecewa setelah menonton film adaptasi, ada baiknya Anda mempersiapkan diri sebelum ke bioskop. Menarik sekali tips-tips nan diberikan oleh Jonru, salah satu penulis Indonesia, nan bergerak di bidang sekolah menulis lewat global maya. Ada pun tips-tips sebagai berikut.

• Bekal Pertama

Kita harus sadar bahwa kita akan menonton FILM, bukan membaca NOVEL. Sekali lagi, film dan novel jauh berbeda. Mustahil dapat memindahkan adegan novel utuh dalam film.

• Bekal Kedua

Dalam kasus film Ayat-ayat Cinta , novelnya ialah karya Habiburrahman EL Shirazy, sementara filmnya ciptaan dan karya pengarah adegan muda Hanung Bramantyo. Jadi, jangan pernah beranggapan film Ayat-ayat Cinta pun karya Habiburrahman EL Shirazy.

• Bekal Ketiga

Ini juga harus disiapkan. Mohon lupakan diri Anda sendiri barang sejenak sebelum hendak berangkat ke bioskop buat menonton film adaptasi dari novel. Anggap saja bahwa Anda sama sekali tak pernah membaca novel tersebut. Jika ini tak dilakukan, bersiaplah buat kecewa.

Novel dan film tetap menjadi sebuah hal nan berbeda meski lahir dari imajinasi. Sekali lagi, ada kompromi-kompromi nan sudah disebut di awal nan niscaya harus dilalui. Jadi, sudahlah. Tak usah kecewa. Nikmati saja koleksi film Indonesia nan diangkat dari novel tanpa perlu membanding-bandingkan film dengan buku sebab kedua hal tersebut sangat-sangat berbeda.