Perbedaan Filsafat Agama dan Teologi

Perbedaan Filsafat Agama dan Teologi

Mendengar kata "filsafat" apalagi " filsafat agama ", langsung terbayang tentang kata-kata nan sulit dicerna, membingungkan, menyulitkan, mengada-ada dan membicarakan hal-hal nan tak jelas serta tak mungkin saja.

Atau bisa juga dikenal sebagai keilmuan nan sulit dijangkau oleh kebanyakan orang, ilmu tinggi. Padahal tidaklah demikian. Filsafat sejajar dengan ilmu-ilmu nan lainnya. Meskipun pada dasarnya segala keilmuan merupakan anak dari filsafat.

Termasuk pula dengan agama. Filsafat terdapat dalam ilmu keagamaan. Dalam agama, filsafat digunakan buat mengkaji keilmuan ajaran-ajaran Tuhan secara mendalam beserta juga dengan kitab-kitab-Nya. Namun, seiring dengan perkembangan sains dan teknologi, terjadi pemisahan antara filsafat dengan ilmu keagamaan.

Sebenarnya hal ini ialah sebuah kesalahan besar. Pemisahan antara filsafat dengan agama sama halnya dengan membangun bangunan tanpa pondasi, mudah rubuh.

Pemisahan inilah nan menyebabkan semakin banyak umat beragama nan kurang memahami agamanya. Sehingga banyak sekali terjadi pemakluman atas segala tingkah laku manusia atas dasar pemikiran-pemikiran logis manusia nan -katanya- tak diatur dalam kepercayaan masing-masing.

Padahal agama itu sendiri ialah sebuah panduan hayati di dunia. Mulai dari tata anggaran beribadah hingga bermasyarakat serta berkehidupan rukun dengan alam.

Selain itu, filsafat agama juga berfungsi sebagai alat buat membantu dalam berkerukunan kehidupan beragama. Mengapa? Karena filsafat memiliki peranan buat membuka wawasan berpikir agar bisa bersikap lebih sophisticated, adil, dan apresiatif dalam meneliti berbagai agama dan kepercayaan nan dianut oleh berbagai kelompok manusia.

"Pemisahan filsafat dengan agama membuat manusia modern mengalami kehampaan spiritual, krisis makna dan legitimasi hayati serta mengalami visi dan mengalami keterasingan (alienasi) terhadap dirinya sendiri" - Haidar Bagir

Sedemikian pentingnya filsafat dalam kehidupan beragama, sehingga Tuhan pun (dalam firman-Nya) menyarankan kepada manusia buat terus berpikir. Arti berpikir di sini ialah mengkaji dan menganalisa atau berfilsafat atas segala apa nan terjadi di muka bumi ini.

Agar manusia bisa memahami dan memaknai hayati nan sesungguhnya. Karena agama bukan penghambat dalam menikmati hidup, justru agama membantu manusia buat menikmati hayati tanpa harus merasakan kerugian nan berkepanjangan.

Maka, krusial buat mengkaji ulang kehidupan beragama manusia kekinian. Dengan semakin banyaknya penyimpangan-penyimpangan seperti tindak kriminalitas nan semakin tinggi, percekcokan antar umat beragama, perceraian hingga ketidakseimbangan alam nan mengakibatkan semakin sering terjadinya bala alam di muka bumi ini (termasuk isu global warming ).

Ini semua tak lepas dari ulah manusia itu sendiri. Ulah manusia nan mengesampingkan agama dalam menjalani hidupnya. Ulah manusia nan memisahkan filsafat dalam menjalani keagamaannya.



Agama sebagai Objek Filsafat

Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian nan dipahami secara antagonis oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh karena itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman.

Filsafat membahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran nan diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya sebab agama kadang-kadang tak terlalu memperhatikan aspek logisnya.

Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepan-jangan antara orang nan cenderung berfikir filosofis dengan orang nan berfikir agamis, pada hal filsafat dan agama mempunyai fungsi nan sama kuat buat kemajuan, keduanya tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Untuk menelusuri seluk-beluk filsafat dan agama secara mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa nan dimaksud dengan agama dan filsafat itu.

Agama dan filsafat ialah dua pokok persoalan nan berbeda. Agama banyak berbicara tentang interaksi antara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Dalam agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam).

Yang Kuasa itu disebut Tuhan atau Allah, sedangkan dalam agama ardi Yang Kuasa itu mempunyai sebutan nan bermacam-macam, antara lain Brahma, Wisnu dan Siwa dalam agama Hindu, Budha Gautama dalam agama Budha, dan sebagainya.

Semua itu merupakan bagian dari ajaran agama dan setiap ajaran agama itulah nan menjadi objek pembahasan filsafat agama. Filsafat seperti nan dikemukakan bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran nan sebenarnya itu mempunyai karakteristik sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.

Kata objek dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan target atau sesuatu nan menjadi pelengkap dari suatu aktivitas. Apa saja nan menjadi target dalam suatu aktivitas berarti hal itu menjadi objek dari aktivitas tersebut.

Jika seorang peneliti melakukan penelitian tentang pola hayati masyarakat nelayan di A maka semua pola hayati dan tingkah laku masyarakat nelayan tersebut ialah menjadi objek penelitian. Dengan kata lain setiap nelayan nan ada di lokasi penelitian nan dilakukan itu jelas menjadi objek dari penelitian tersebut.

Isi filsafat itu ditentukan oleh objek apa nan dipikirkan. Karena filsafat mempunyai pengertian nan berbeda sinkron dengan pandangan orang nan meninjaunya, akan besar kemungkinan objek dan lapangan pembicaraan filsafat itu akan berbeda pula.

Objek nan dipikirkan filosof ialah segala nan ada dan nan mungkin ada, baik ada dalam kenyataan, maupun nan ada dalam fikiran dan dapat pula nan ada itu dalam kemungkinan.

Aristoteles mengemukakan bahwa objek filsafat ialah fisika, metafisika, etika, politik, biologi, bahasa. Al-Kindi mengemukakan bahwa objek filsafat itu ialah fisika, matematika dan ilmu ketuhanan.

Menurut al-Farabi, objek filsafat ialah semua nan maujud. Selain nan dikemukakan oleh para filosof di atas, menambahkan bahwa kepercayaan itu termasuk objek pembicaraan filsafat.

Agama ialah salah satu materi nan menjadi target pembahasan filsafat. Dengan demikian, agama menjadi objek materia filsafat. Ilmu pengetahuan juga mempunyai objek materia yaitu materi nan empiris, tetapi objek materia filsafat ialah bagian nan abstraknya.

Dalam agama terdapat dua aspek nan berbeda yaitu aspek fisik dan aspek metafisik. Aspek metafisik ialah hal-hal nan berkaitan dengan nan gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan interaksi manusia dengan-Nya, sedangkan aspek fisik ialah manusia sebagai pribadi, maupun sebagai anggota masyarakat.

Kedua aspek tersebut (fisik dan metafisik) menjadi objek materia filsafat. Namun demikian objek filsafat agama banyak ditujukan kepada aspek metafisik daripada aspek pisik.

Aspek pisik itu sebenarnya sudah menjadi pem-bahasan ilmu seperti ilmu sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu dalam hal ini sudah memi-sahkan diri dari filsafat.

Dengan demikian, agama ternyata termasuk objek materia filsafat nan tak bisa diteliti oleh sain. Objek materia filsafat jelas lebih luas dari objek materi sain. Disparitas itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidikan.

Penyelidikan filsafat nan dimaksud di sini ialah penyelidikan nan mendalam, atau keingintahuan filsafat ialah bagian nan terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat agama ialah aspek nan terdalam dari agama itu sendiri.



Cakupan Kajian Filsafat Agama

Terdapat berbagai batasan tentang filsafat agama dalam berbagai literatur. Harun Nasution (1973: 4) membedakan dua bentuk kajian filsafati tentang agama. Pertama, membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis dengan maksud buat menyatakan kebenaran suatu ajaran agama atau minimal buat menjelaskan bahwa ajaran agama bukanlah sesuatu nan mustahil dan bertentangan dengan logika.

Kedua, memikirkan dasar-dsar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat pada ajaran agama eksklusif dan tanpa terikat pula buat membenarkan ajaran agama tertentu.

Aslam Hadi (1986: 8) juga mengidentifikasi ada dua bentuk kajian filsafati tentang agama. Pertama, filsafat agama membicarakan kepercayaan atau kebenaran agama.

Hal ini terjadi terutama pada abad pertengahn dan pada filsafat Islam serta filsafat India, tetapi tak berbicara pada filsafat saat ini. Kedua, filsafat agama merupakan kajian terhadap hal-hal mendasar dari agama, inilah nan dijaki dalam filsafat agama dewasa ini.

Kattsof (1996: 444) membedakan antara filsafat keagamaan dengan filsafat agama. Filsafat keagamaan ialah suatu filsafat nan disusun berdasarkan ajaran dan kepercayaan agama eksklusif sebagai pendirian-pendirian hakiki.

Sedangkan filsafat agama ialah suatu penyelidikan nan bersifat kritis tentang agama berdasarkan makna istilah-istilah, bahan bukti, dan prinsip-prinsip verifikasi.

Maksud filsafat agama di sini ialah filsafat dalam pengertian nan kedua menurut pendapat Harun Nasution, Aslam Hadi, maupun Kattsof. Filsafat agama pada pokoknya ialah pemikiran filsafati tentang agama, sama halnya filsafat seni ialah pemikiran filsafat tentang seni (Nolan, 1984: 413).



Perbedaan Filsafat Agama dan Teologi

Tema-tema pokok atau mendasar agama ialah juga merupakan objek kajian dalam teologi. Sementara, teologi ialah kajian nan sungguh-sungguh berbeda dengan filsafat agama . Untuk lebih memperjelas apa nan dimaksud dengan filsafat agama, kiranya perlu dijelaskan disparitas filsafat agama dengan teologi.

Terdapat dua disparitas pokok antara filsafat agama dengan teologi (Harun Nasution, 1973: 4). Pertama, filsafat agama tak membahas dasar-dasar ajaran dari agama tertentu, tetapi dasar-dasar agama pada umumnya. Sementara, teologi membahas dasar-dasar ajaran agama tertentu.

Kedua, filsafat agama tak terikat pada dasar-dasar agama tertentu, filsafat agama bermaksud menyatakan kebenaran atau ketidakbenaran dasar-dasar agama. Sementara teologi sudah memberikan klarifikasi atau interpretasi tentang dasar-dasar agama, atau upaya mencari legalitas rasional atas ajaran agama tertentu.