Aku, Ya Seperti Ini!

Aku, Ya Seperti Ini!

Artikel berikut akan mengetengahkan bahasan mengenai kumpulan kata-kata latif nan tak tepat. Bila disuruh memilih, kita tentu akan memilih kumpulan kata-kata latif nan enak didengar daripada sebaliknya. Tak salah memang. Sudah menjadi insting kita sebagai manusia nan mudun bila lebih menyukai kumpulan kata-kata latif daripada nan kasar. Namun, tidak tahukah kita bahwa tidak semua kumpulan kata-kata latif nan enak didengar tersebut berakibat positif.

Kita harus dapat membedakan kumpulan kata-kata indah nan mengandung semangat dan kumpulan kata-kata latif nan melenakan sehingga membuat kita “cepat puas” dan tak mau berusaha lagi. Apa saja kumpulan kata-kata latif nan memiliki makna melenakan itu sehingga semangat kita dapat turun?



Ya Sudahlah!

“Ya sudahlah!” dapat dianggap sebagai bagian dari kumpulan kata-kata latif sebab memang menenangkan kita terhadap suatu hal nan sebelumnya membuat kita galau dan risau. Tapi, coba saja bila kita ucapkan monoton setiap kali ada masalah, tentu semangat kita akan ikut turun. Kita juga jadi mudah mencari pembenaran. “ Ya sudahlah ya, wong emang sulit !” begitu misalnya.



Terserah!

Kata “terserah” juga sebenarnya tak masalah. Namun, ada di saat-saat eksklusif di mana kita tak dapat menggunakan kata “terserah”. Seperti misalnya, hal nan ditanyakan pada kita berhubungan dengan prinsip hayati kita, “ Agamamu apa sih ?” dan kita jawab “ terserah !” atau “ Menurut kamu free sex itu seperti apa ?” dan kita jawab “ Terserah”

Kumpulan kata - kata latif menjadi tak latif lagi bila dipergunakan di loka dan kasus nan salah.



Aku, Ya Seperti Ini!

Kumpulan kata-Kata latif juga dapat bermakna mencari pembenaran terhadap diri sendiri. “Aku ya seperti ini ! atau “ Aku memang kayak gini kok! ” Ini mengindikasikan bahwa kita tak mau belajar dari orang lain. Itu artinya kita juga merasa bahwa diri kita lebih hebat dibandingkan dengan orang lain.



Mau Bagaimana Lagi?

Hampir sama dengan nan sebelumnya, “ Mau bagaimana lagi !” mengindikasikan bahwa kita tak mau berusaha buat menjadi lebih baik. Kita sudah puas dengan kondisi kita saat ini dan tidak mau berusaha buat menjadi nan lebih baik lagi. Kita stagnan dan tak mau bergerak. Padahal, bumi saja berotasi atau bergerak.

Tak semua kumpulan kata-kata latif dapat membangkitkan semangat. Kenyataannya ada juga beberapa kata-kata nan maknanya mungkin kalem dan lembut namun justru membuat kita menjadi letoy . Padahal, kata-kata nan kita ucapkan dalam kondisi apa pun, dapat mengubah pola pikir kita. Misalnya saja, saat kita sedang santai, coba ucapkan kata-kata nan kurang berkenan. Sedikit banyak kita akan tertular menjadi nan kita ucapkan.

Pun ketika kita sedang marah, katakan kumpulan kata-kata latif nan kira-kira dapat membuat kita tenang. Katakanlah terus-menerus. Apa nan terjadi kemudian? Kita menjadi tenang. Kata-kata memang menjadi “obat bius” paling ampuh buat diri manusia.

Di samping kumpulan kata-kata latif nan tak tepat di atas, ada juga beberapa kata nan mungkin sering diucapkan oleh orang-orang di sekitar kita kepada kita dengan tujuan buat menenangkan, namun nan terjadi ialah sebaliknya. Beberapa kata di antaranya ialah sebagai berikut.



Dia Tak Lebih Baik Darimu

" Dia tak lebih baik darimu ." Kumpulan kata-kata indah tersebut seolah-olah memberikan kita kekuatan dan asa agar kita bersemangat dan tak putus asa. Padahal, kata-kata seperti itu dapat berakibat kita meremehkan orang lain dan merasa bahwa diri kita sahih sedangkan orang lain salah.

“Kamu lebih cantik .”

Kamu lho lebih pintar."

Kamu lho lebih kaya .”

Kumpulan kata-kata latif di atas mungkin terdengar menarik dan membuat kita terbang melayang-layang. Kepercayaan diri kita nan tadinya kendor juga dapat terbentuk kembali. Namun, percayalah, bahwa dalam jangka panjang, kumpulan kata-kata latif semacam itu justru berakibat negatif bagi kita. Kita akan memandang orang lain lebih lemah atau rendah daripada kita. Kita akan menjadi seseorang nan kurang menghargai orang lain.

Secara tak sadar, kita terbentuk dari kata-kata nan ditujukan pada kita, entah pengaruh itu hanya 1%. Seperti misalnya ketika seorang ibu berkata setiap hari pada anaknya “Kamu bodoh”. Begitu setiap hari. Maka, anak nan tadinya pintar akan menjadi tak pintar, sebab alam bawah sadarnya menyuruh ia buat menjadi seperti nan dikatakan oleh ibunya.



Seharusnya Kamu nan Lebih Berhak!

"Seharusnya Kamu nan Lebih Berhak!"

Pernahkah sahabat atau kerabat mengatakan kata-kata di atas kepada kita? Kumpulan kata-Kata latif di atas mungkin bermaksud buat menghibur kita nan sedang sedih. Namun, akibat dari kita nan menerimanya dapat lain, yaitu akibat negatif.

Misalnya, kita mengikuti sebuah kontes kecantikan. Dalam kontes tersebut, sahabat kita juga mengikutinya. Secara kasat mata, semua orang juga tahu bahwa kita lebih cantik daripada sahabat kita nan mungkin terlihat sederhana. Namun, fenomena berbicara lain. Dewan juri mengatakan bahwa pemenangnya bukan kita melainkan sahabat.

Sebenarnya kita sudah legowo, namun provokator mulai berdatangan dengan mengatakan “Seharusnya kamu lebih berhak menjadi pemenang sebab kamu lebih cantik !” atau kata-kata sejenis. Awalnya kita nan sudah ikhlas tersebut dapat berubah menjadi sebaliknya sebab kata-kata nan provokatif. Padahal, orang-orang nan berkata seperti itu juga tidak bermaksud menjadi provokator sebab mereka hanya ingin menghibur kita saja.

Akibatnya, perasaan kita jadi dipenuhi dendam, benci, dan iri. Interaksi kita nan awalnya baik-baik saja dengan sahabat kita nan menjadi pemenang tersebut menjadi rusak sebab perasaan nan tak terduga. Kumpulan kata-Kata latif dapat berubah menjadi bumerang.



Kamu Paling

Biasanya kumpulan kata-kata latif seperti “ Anakku emang nan paling pintar .” atau “ Kamu memang paling keren.” diucapkan oleh orangtua kepada anaknya. Alasannya beragam. Dapat sebab orangtua nan begitu menyayangi anaknya. Dapat juga buat membuat anaknya percaya diri. Namun, apa pun itu, kata “paling” akan berakibat kurang baik dalam jangka panjang bila didengar atau diucapkan terus menerus. “ Anakku paling cantik. ” misalnya.

Kumpulan kata-kata latif di atas dapat membuat anak besar kepala dan merasa dirinya paling cantik. Merasa cantik tentu boleh sebab manusia dilahirkan dalam keadaan nan sebaik-baiknya. Tapi, merasa paling, apa pun itu, akan menumbuhkan bibit-bibit kesombongan. Seperti kata pepatah bahwa di atas langit masih ada langit .



Bagaimana Menyikapi Kumpulan Kata-kata Latif nan Tidak Tepat?

Lalu, bagaimana menyikapi kumpulan kata-kata latif nan dapat menjadi momok atau bumerang bagi kita sendiri tersebut?

  1. Bersikap wajar. Ketika kita menemui kesulitan di tengah jalan, jangan langsung berkata “ Ya sudahlah !” atau kata-kata sejenis. Karena, sekalipun kumpulan kata-kata latif tersebut dapat menenangkan, tapi bila tak “kuat”, kita dapat terpengaruh buat menjadi tak bersemangat. Ada nan berkata bahwa “ Bila kita keras terhadap kehidupan maka kehidupan akan lunak terhadap kita. Sebaliknya, bila kita lunak terhadap kehidupan, maka kehidupan akan keras terhadap kita.
  1. Bersikap cuek . Kadang, bersikap cuek dan tak terlalu memikirkan kejadian jelek nan baru saja kita alami juga akan membuat kita tak terpengaruh terhadap kumpulan kata-kata latif nan diucapkan oleh orang lain namun dibumbui hal-hal nan bersikap provokatif.

Ternyata, tidak semua kumpulan kata-kata latif itu menyenangkan dalam artian memiliki imbas nan positif. Memang, tidak selamanya nan terlihat baik itu baik, begitu pula sebaliknya. Disuntik ketika sakit tentu saja tidak menyenangkan, tapi efeknya kita dapat sembuh. Sama halnya dengan kata-kata, kita tentu akan memilih kata-kata nan baik dan membangkitkan semangat. Namun, ketika itu tidak didapatkan, kita akan lebih memilih kata-kata nan apa adanya dan lugas namun berakibat positif daripada kumpulan kata-kata indah dan manis namun berakibat negatif.