Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Ketika seorang Umar bin Khattab nan memikul sendiri sekarung makana buat seorang janda nan mengkritiknya, ia sesungguhnya telah memperlihatkan bagaiman seorang pemimpin harus bertindak. Tidak akan para bawahannya akan mendengarkan perkataannya bila pemerintahan Umar bin Khattab ini bukan merupakan pemerintahan nan higienis . Ketika rakyatnya kenyang, maka Umar akan menjadi seseorang nan paling akhir merasakan kenyang. Kalau rakyatnya lapar, maka Umar akan menjadi orang nan paling lapar.



Gaya Kepemimpinan nan Bersih

Kepemimpinan nan higienis ialah cermin dari pemerintahan nan bersih . Kebersihan satu pemerintahan itu ialah cita-cita semua rakyat dalam sebuah negara. Pemerintahan nan mampu menunjukkan bahwa mereka ialah kumpulan orang-orang nan bersih, akan mampu memberikan kenyamanan bagi masyarakat nan tinggal di dalamnya. Masalahnya, realisasi buat mencapai hal tersebut bagai jauh panggang dari api.

Contoh pemerintahan nan higienis itu cukup sulit ditemui pada zaman sekarang. Mengapa sulit? Tidak banyak pemimpin nan tak gila dunia. Kebanyakan dari para pemimpin itu seolah masuk dalam satu jebakan ide dan logika nan mengatakan bahwa seorang pemimpin itu harus mempunyai uang banyak. Ia harus menjadi seorang dewa penolong bagi para penduduknya. Ia niscaya akan merasa malu kalau tak dapat memberikan apa-apa. Oleh sebab itu, ia akan berusaha buat menjadi kaya. Padahal kalau ia terus terang dengan jumlah pendapatannya, rakyat niscaya dapat maklum ketika ia tak dapat memberikan donasi secara pribadi dalam jumlah nan besar.

Sebagai gantinya, ia akan berusaha membuat peraturan-peraturan nan berpihak kepada rakyat sehingga rakyatnya menjadi kaya dan sejahtera. Ketika Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada para petugas zakat, apakah masih ada rakyatnya nan patut menerima zakat, petugas tersebut menggelengkan kepalanya. Ia mengatakan bahwa semua rakyat nan berada dalam kekuasaan Umar bin Abdul Aziz itu sudah tak ada nan berhak menerima zakat sebab memang mereka telah menjadi pemberi zakat. Kekayaan mereka telah berlimpah. Malahan nan paling tepat menerima zakat ialah sang raja sendiri. Niscaya satu kepuasan tersendiri bagi seorang pemimpin ketika diakhri kepemimpinannya, semua rakyat menjadi sejahtera tidak kekurangan apapun. Itu tandanya keberkahan kepemimpinan nan higienis itu terbayarkan.

Pada zaman perjuangan meraih kehidupan nan lebih baik, Indonesia pernah mempunyai beberapa pemimpin nan terkenal bersih. Di antaranya ialah Muhammad Hatta. Laki-laki nan pernah mengenyam pendidikan di Belanda ini mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden ketika ia melihat bahwa arah perjuangan telah berubah. Ia nan sangat sederhana itu begitu menikmati kesederhanaannya. Saking sederhananya, seorang Muhammad Hatta bahkan tak mampu membeli sebuah sepatu impor, bally, nan sangat terkenal itu. Hingga akhir hayatnya, Muhammad Hatta tetap teguh dengan prinsipnya bahwa hayati ini memang tidak harus menjadi seorang penumpuk harta.

Selain Muhammad Hatta, ada Haji Agus Salim. Laki-laki sangat cerdas ini menguasai 9 bahasa dunia. Ia sangat tegas dalam hal prinsip nan harus dipegang dalam hidup. Keberkahan hayati juah lebih krusial dibandingkan dengan harta nan hanya akan menghambat masuk surga. Kehidupannya nan sederhana bahkan samapai menarik perhatian orang banyak. Orang-orang merasa heran bagaimana seseorang nan sangat cerdas tak mampu membuat dirinya kaya. Kehidupannya nan sangat sederhana itu menjadi satu contoh betapa menjadi seorang pemimpin nan higienis itu tak mudah. Sama dengan kenyataannya bahwa tak mudah menemukan orang nan mau miskin demi cita-cita dan idealismenya nan kuat.



Penyebab Pemerintahan nan Tidak Bersih

Ada beberapa keadaan nan menyebabkan mengapa pemerintahan ini tak dapat bersih. Beberapa hal itu telah sangat dikenal oleh orang-orang nan akrab dengan global pemerintahan. Hal nan paling banyak dijadikan kambing hitam dari terbentuknya pemerintahan nan tak higienis ialah bahwa para pemimpin sekarang ini banyak berasal dan dibesarkan sistem nan tak higienis juga. Sulit mendapatkan orang nan higienis dari pemandian dengan air nan kotor. Kalaupun ia bersih, itu artinya ia telah membersihkan diri dari air nan kotor tersebut.



Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Meskipun KKN ialah problem klasik, faktanya tiga hal ini benar-benar mampu menggoyahkan sebuah negara. Seseorang nan korupsi, artinya menambah daftar panjang penggembosan uang negara. Jika orang ini diadili, ia tak akan tinggal diam; ia akan berkoar buat menggiring “rekan-rekannya” agar senasib dengannya. Seseorang nan terbiasa main kotor, tidak akan mau terjerumus sendiri. Beda dengan orang nan biasa main bersih. Ketika ia harus membela keadilan, ia berani menyimpan informasi nan tak boleh diketahui oleh orang-orang sembarangan. Prinsip dan karakternya niscaya kuat. Ia tidak mudah goyah dengan uang nan hanya berjumlah tak lebih dari puluhan juta rupiah.

Pemimpin nan berkarakter inikah nan belum ada atau pun masih sangat sedikit. Para petinggi nan korup niscaya akan mengorbankan bawahannya demi menutupi jejak dan pihak nan di bawah akan menggencet staf di bawahnya pula. Artinya, kalau korupsi ditumpas, berarti hampir seluruh pejabat nan menangani departemen eksklusif atau BUMN tertentu, akan terjerat. Artinya, sine qua non pencopotan seluruh pejabat. Pembersihan ini akan percuma kalau tak ada komitmen nan sangat kuat bagi semua jajaran pejabat nan bersangkutan. Apa nan dilakukan oleh PT Pusri dengan mengumumkan bahwa semua pejabat dijajaran manajemen PT Pusri dilarang menerima apapun dalam bentuk apapun demi menjadi kebijasanaan dan kepemimpinan nan bersih.

Begitu pula dengan kolusi dan nepotisme. Sudah bukan hal misteri lagi jika di negara kita, sebuah perusahaan induk akan mengirimkan uang sebagai kapital beberapa partai politik ketika tiba masa pemilu. Tujuannya, jika salah satu partai menang, partai tersebut akan terikat pada perusahaan tadi. Membalas jasanya dengan memberikan deal-deal ekonomi demi kemajuan perusahaan tadi selama partai berkuasa, misalnya deal pembukaan hutan buat huma kelapa sawit, pemenangan tender dalam jumlah nan besar, dan seterusnya.

Jika partai berkuasa tak menjamin hal ini atau mengkhianati janji di tengah jalan, perusahaan induk tersebut sudah memiliki kartu truf dengan membongkar kerjasama illegal perusahaan tadi dan partai berkuasa selama pemilu. Biasanya, perusahaan induk ini memecah dananya ke dalam perusahaan-perusahaan anak mereka atau kalau tak mengganti sumbangan dana dengan diatasnamakan pada perseorangan. Jumlah aslinya niscaya melebihi jumlah maksimal dana nan berhak diberikan (misalnya 5 miliar). Dengan demikian, tak akan ada pemilu nan absah dan tak ada presiden atau DPR nan absah sebab semuanya berbuat curang.

Kecurangan semua orang nan ada dalam satu pemerintahan nan diharapkan dapat memberikan cahaya pemerintahan nan higienis menjadi satu mimpi nan mungkin tidak akan pernah terwujud. Selalu saja ada rasa kurang percaya diri kalau tak melakukan kolusi atau korupsi. Mereka sangat takut menjadi miskin. Mereka mengira bahwa kalau miskin, tak akan dihormati oleh orang lagi. Padahal kehormatan itu bukan sesuatu nan diraih dengan uang. Apalagi kalau uang itu bukan uang halal. Kehormatan itu didapatkan dari keberkahan hayati nan ingin diraih. Menjadi higienis walaupun harus miskin hingga wafat akan mendatangkan kehormatan dan penghargaan tersendiri dari orang lain.



Mental Menimpakan Kesalahan

Orang boleh saja berkoar bahwa negara kita sangat kental dengan budaya ketimuran nan penuh ramah-tamah dan sopan santun. Tapi, budaya ini hanya ada di titik luar saja. Di titik dalam, semua orang cenderung tega menjatuhkan orang lain demi gambaran diri atau menimpakan kesalahan pada orang lain. Hal ini sangat berbahaya dalam pemerintahan. Semua orang seakan bangga dan sangat bahagia kalau ada lawannya nan terjebak dalam permainan mereka. Kesedihan dan kejatuhan orang itu seolah menjadi bagian dari kebahagiaan dan kesenangan tersendiri. Bangsa ini berpoles estetika luar, tetapi menanam nanah kebobrokan dari dalam.

Misalnya, klaim keberhasilan akan dilakukan oleh semua pihak nan berpartisipasi, entah presiden atau menteri. Tapi, jika dibalik, jika ada kegagalan, presiden akan menyalahkan menteri dan menteri akan menyalahkan bawahannya. Dengan demikian, tanggung-jawab dapat dihilangkan. Kalau tanggung-jawab saja sudah dipermainkan, tentu semua hal juga dapat dimainkan. Lagi-lagi, pemerintahan yang bersih hanyalah utopia, nan terus diharapkan, tapi entah kapan dapat datang. Menantikan seorang pemimpin nan berani hayati miskin demi prinsip nan ia pegang seperti sebuah mimpi tanpa ujung. Semoga negeri ini akan dilimpahi para pemimpin nan adik dan higienis kelak.