Melukis Apa nan Dirasakan

Melukis Apa nan Dirasakan

Begitu banyak hasil karya seni nan diciptakan oleh para artis mancanegara . Hasil karya seninya bernilai tinggi. Terkadang, para penikmat seni baru akan menikmati hasil karya seni tersebut tatkala artis itu sudah tak ada. Rembrandt, Leonardo da Vinci, dan Vincent van Gogh, ialah segelintir artis besar nan karya-karyanya begitu terkenal ke seluruh dunia. Karya-karya mereka dihargai dengan nilai nan sangat luar biasa. Karya-karya itu bahkan dijaga dengan sistem keamanan nan luar biasa. Walaupun banyak juga karya mereka nan dipalsukan, karya nan orisinil tetap saja tersimpan dengan rapi dan latif pada loka nan pantas.

Salah satu seniman mancanegara nan karyanya dan hidupnya cukup menarik perhatian orang banyak ialah Van Gogh. Artis dari Belanda ini memang membuat banyak orang merasa prihatin. Kehidupannya seolah tidak pernah luput dari derita. Ia nan terlahir dari keluarga nan cukup terpandang, ternyata harus melawan nasib nan sangat keras bermain dengan dirinya. Bahkan hingga kematiannya pun menjadi satu kontroversi nan hingga kini masih diperdebatkan. Apapun nan telah terjadi, van Gogh memang telah pergi. Ia telah meninggalkan karya nan indah.



Van Gogh

Apakah pernah ada seorang jenius nan lebih tersiksa daripada pelukis Belanda Vincent van Gogh? Ia hayati dalam kemiskinan, hanya menjual satu lukisan selama hidupnya, yaitu The Red Vineyard nan di ciptakannya pada 1888 dan memotong telinganya sendiri. Dia menciptakan karya seni, tetapi hidupnya sengsara. Ia sering menyendiri dan seolah menikmati sendiri apa nan ia rasakan. Kematiannya dipelajari sebab ada nan berpendapat bahwa tak mungkin seorang Van Gogh mengambil hidupnya sendiri. Ia masih sangat muda dan masih sangat bergairah walaupun kehidupannya sangat papa.

Lukisannya nan begitu latif terkesan sangat sakral. Ia seolah masuk ke dalam lukisannya sendiri dan hayati dalam lukisan itu buat memberikan ruh nan sesungguhnya pada karya nan agung itu. Tidak mengherankan kalau orang-orang nan menatap lukisannya seolah mampu masuk ke dalam lukisan itu sendiri dan menari di sana menikmati hayati khayal nan pernah dibayangkan oleh Van Gogh terhadap lukisannya. Ia memberikan jiwanya kepada setiap karyanya. Ia memberikan semua nan ia punya sehingga lukisan itu seolah bayangan jiwa dan cermin dari ruhnya sendiri.

Van Gogh sangat miskin sehingga ia harus bergantung kepada orang lain. Ia sadarai itu. Ia tahu bahwa hidupnya tak dapat memberikan harta nan banyak kepada keluarganya. Ia pasrah dan ia berusaha memberikan nan terbaik nan dapat dia berikan. Jiwa seni mungkin mengalir begitu saja dalam darah keluarga Van Gogh. Hal ini disadari atau tak disadari membuat ia dan saudaranya bekerja pada bidang nan sama.



Didukung Saudaranya

Vincent van Gogh lahir di Groot-Zundert, Belanda, pada 1853. Van Gogh disejajarkan dengan pelukis Belanda terbesar sepanjang masa, Rembrandt. Dia mengira dapat menjadi seorang menteri seperti ayahnya. Untuk sementara waktu, dia berkhotbah pada penambang miskin dan kemudian dia mulai menggambarnya. Dia ialah seorang pelukis otodidak. Kehidupan keluarganya nan lumayan baik, tak mampu diulangi oleh Van Gogh ketika ia masih hidup. Hartanya ternyata dinikmati oleh keluarganya ketika ia sudah tak bersama dengan mereka lagi.

Suatu kisah nan cukup menyedihkan. Namun, kalau ingin ditarik benang merah, sebenarnya kehidupan nan menyedihkan ini dapat milik siapa pun jua. Hanya saja cara pandang masyarakat barat mengenai harta warisan memang berbeda dengan acara orang timur mengartikan semua hal dalam kehidupannya termasuk tentang harta warisan. Van Gogh dapat jadi sangat puas dengan apa nan telah ia lakukan. Ia rela wafat menjemputnya di usia nan sangat muda. Padahal mungkin ia masih juga ingin menikmati kehidupan nan walaupun getir, masih memberikan kebahagiaan.

Saudara van Gogh, Théo, ialah seorang manajer Goupil Gallery di Paris, Prancis. Théo merupakan satu-satunya orang nan mendukung Vincent. Pada 1886, Vincent pergi menetap dengan Théo di Paris. Di Paris, Vincent menyaksikan lukisan dengan warna-warna cerah oleh seniman-seniman impersionis dan dia mulai melukis dengan warna-warna terang pula. Pengaruh itu cukup tajam membuat karya Van Gogh terlihat lebih menarik dan seolah menyimpan makna nan berbeda dari apa nan dilihat orang secara fisik.



Melukis Apa nan Dirasakan

Van Gogh menciptakan lukisan diri serta melukis kembang dan pemandangan. Warna-warnanya menjadi lebih cemerlang setelah dia pindah ke Perancis selatan pada 1888. Dia menggambarkan kamarnya sendiri dalam Bedroom at Arles dalam rona kuning, biru, dan merah terang. Namun, tak ada nan menyukai lukisannya. Orang mengira bahwa lukisannya tak menarik dan terlalu mencolok. Bagi Van Gogh, warna-warni nan latif itu malah merupakan cermin dari kehidupan nan bergerak maju dan penuh warna.

Tidak ada artis nan melukis seperti Van Gogh. Dia menggunakan rona jelas dan garis rona tebal buat menunjukkan perasaannya mengenai apa nan dia lukis. Dia tak mencoba buat menjiplak subjek dengan sebenarnya. Terkadang, pekerjaannya tampak jeli dan mengancam. Landscape nya penuh dengan bentuk-bentuk bengkok. Ia berusaha menggambarkan semua nan ia lihat dalam bentuk nan sedikit beda agar gambar tersebut memenuhi keinginan banyak orang.

Selalu murung dan gelisah, van Gogh mulai menunjukkan tanda-tanda penyakit mental pada akhir 1880an. Setelah bertengkar dengan sahabatnya, pelukis Paul Gaughin, van Gogh memotong telinganya sendiri. Namun, dia tak pernah berhenti melukis. Beberapa karyanya nan paling latif dihasilkan ketika dia sedang dirawat di rumah sakit saat depresi. Contohnya, Starry Night dan Crows in a Wheatfield.

Emosinya nan meledak-ledak terkadang memang membuat Van Gogh menjadi sosok nan cukup mengerikan. Tidak ada nan mau bergaul dengan orang nan mudah marah. Kemarahan itu ialah teman setan dan hanya mengambil cadangan energi negatif. Kalau saja Van Gogh menyadari hal itu, mungkin ia tak akan membiarkan dirinya tercebur ke dalam perkelahian nan tak perlu. Tetapi, itulah nan terjadi dan membuat namanya seoalh tenggelam oleh tingkah lakunya sendiri.



Sukses di Akhir

Pada Mei 1890, Vincent van Gogh meninggalkan klinik dan pergi ke dokter Paulus Gachet, di Auvers-sur-Oise dekat Paris, supaya dia lebih dekat dengan saudaranya Theo nan baru menikah. Dokter Gachet direkomendasikan oleh Pissaro nan telah merawat beberapa artis sebelumnya. Di sini, Van Gogh menciptakan sketsa satu-satunya, Potret Melankolis Dokter Gachet. Lukisan itu sebagai ungkap rasa kagum dan rasa terima kasihnya kepada sang dokter. Tentu saja nan menerima lukisan itu merasa cukup tersanjung.

Depresi nan dideritanya ternyata semakin parah. Pada 27 Juli 1890, saat berusia 37, Van Gogh menembak dirinya sendiri di bagian dada. Ada versi lain dari kisah bunuh diri artis besar ini. Warta nan beredar ialah bahwa bukti forensik tak menguatkan bukti kalau van Gogh menembak dirinya sendiri. Posisi luka menunjukkan kalau itu bukan tembakan nan disengaja. Dalam versi itu dikisahkan kalau di hari ia tertembak itu, ia sedang melukis di luar ruangan. Lalu datang beberapa keponakannya nan bermain dengan pistol.

Van Gogh diminta mengokang atau diminya buat membersihkan, masih simpang siur, tetapi nan niscaya ialah bahwa tak lama kemudian, van Gogh telah tersungkur di tanah. Ia tak langsung meninggal. Masih ada waktu ketika ia berusaha mengucapkan selamat tinggal kepada semuanya.

Ia pun meninggal dua hari kemudian dengan kehadiran Theo di sisinya. Kata-kata terakhirnya, “ La tristesse durera Toujours ” (kesedihan akan berlangsung selamanya). Kematian Van Gogh begitu menyesakkan dada saudaranya. Van Gogh dimakamkan di pemakaman Auvers-sur-Oise. Theo tak tahan menderita dalam kesedihan ditinggal oelh orang nan sangat dikasihinya. Theo pun kemudian menyusul saudaranya setelah tak mau menerima kepergian saudaranya selama 6 bulan.

Dia meninggalkan 750 lukisan dan 1600 gambar. Théo Van Gogh memastikan semua hasil karyanya tetap kondusif dan secara perlahan-lahan orang-orang mulai mengapresiasi karyanya. Karya Van Gogh menjadi sangat berharga. Pada 1990, sebuah lukisan Van Gogh terjual seharga $82.5 juta. Ini ialah harga paling tinggi nan dibayarkan seseorang buat sebuah lukisan pada lelang seni. Namun, pada 2004, lukisan karya Pablo Picasso memecahkan rekornya dengan penjualan $104 juta. Itulah sekelumit kisah seniman mancanegara nan cukup menyedihkan namun mencengangkan ketika berbicara tentang lukisannya.