Negara Sebagai Penguasa Penindas

Negara Sebagai Penguasa Penindas

Benarkah ada kekuasaan negara di global saat ini? Pertanyaan ini dapat dilihat dari dua sisi nan berbeda. Jika kita melihat dari kacamata secara umum, dapat jadi negara-negara di global memang hanya sebatas memiliki "nama" mengingat negara seperti Amerika Perkumpulan (atau Rusia kadang-kadang) dapat mengatur negara lain dengan seenaknya sendiri.

Tapi, jika kita melihat dari kacamata bahwa negara dimanfaatkan oleh oknum-oknum eksklusif buat memperkaya diri, negara memang berkuasa dalam menelantarkan atau mengadu domba rakyat.



Peran Amerika Serikat

Sebenarnya, sudah banyak tindakan AS nan mencampuri politik dalam negeri sebuah negara. Sebagai contoh, kita dapat membandingkan penghancuran Orde Lama dan penggulingan Salvador Allende dari Cili. Percaya atau tidak, dalam pemberontakan di kedua negara nan jangka waktunya cuma sebentar (Indonesia pada 1965 dan Cili pada 1973), sama-sama dimunculkan isu Dewan Jenderal nan hendak memberontak.

Bedanya, dalam Gestapu Indonesia, Dewan Jenderal nan katanya mau memberontak itu malah lebih dulu ditekuk, diculik, dan dibunuh oleh pasukan berseragam Cakrabirawa (entah Cakrabirawa nan sebenarnya atau bukan), nan kemudian memunculkan nama Soeharto sebagai orang nan dapat menaklukkan "PKI" pemberontak 1965. Sementara itu, di Cili, Dewan Jenderal benar-benar memberontak dan sukses mengangkat Augusto Pinochet.

Uniknya, menjelang perebutan kekuasaan 11 September hingga 13 September 1973, beredar kartu-kartu kecil di kalangan perkumpulan buruh dan jenderal-jenderal konservatif. Kartu-kartu kecil tersebut berisi kata "Jakarta Se Acerca" (Jakarta Sudah Mendekat). Kartu ini seolah menjadi frekuwensi bahwa CIA tengah menyampaikan pesan maha penting: sebentar lagi perebutan kekuasaan nan sama dengan perebutan kekuasaan 30 September 1965, berlangsung di negeri ini.



Negara Sebagai Penguasa Penindas

Terdapat definisi negara sebagai "bentuk pengakuan bahwa masyarakat di dalamnya terlibat dalam pertentangan nan tidak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa masyarakat telah terpecah belah menjadi segi-segi nan antagonis nan tidak terdamaikan dan masyarakat tersebut tak berdaya melepaskan diri mereka dari keadaan nan sedemikian rupa".

Maka, tidak heran kalau buat mempertahankan negara ini intelijen mana pun akan dengan rela menciptakan "musuh bersama" nan menakutkan. Bukankah mudah saja memancing umat beragama berperang dengan sesamanya nan agak berbeda (hanya beda agama)? Hal ini tak hanya terjadi di luar negeri, tetapi juga di Indonesia.

Kalau tak demikian ada perang antarsuku atau perkelahian golongan berbeda nan sebenarnya "cuma" akal-akalan intelijen meninggikam negara". Dengan adu domba kelompok nan bertikai ini, nan untung ialah segelintir orang nan mengatasnamakan negara.