Kasus Pelanggaran HAM Pasca G30SPKI

Kasus Pelanggaran HAM Pasca G30SPKI

Hingga saat ini, peristiwa G30S (Gerakan 30 September) dianggap sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM nan sangat berat di dunia. Setelah pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat oleh sekelompok orang nan menurut Orde Baru ialah PKI, terjadi penghitaman besar-besaran terhadap orang-orang nan berafiliasi dengan PKI. Konon, ada jutaan orang tidak berdosa nan menjadi korban pembumihangusan PKI. Bagaimana kasus pelanggaran HAM ini sebenarnya?



Kasus Pelanggaran HAM Awal Konflik G30S

Awal konflik G30S sebenarnya sudah terpicu sejak akhir 1950-an. Gagasan Soekarno membentuk Indonesia melalui tiga entitas penting, Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom) dianggap terlalu menguntungkan PKI. Kalangan agama (Islam) terpecah menjadi dua kubu, yaitu nan setuju dengan Nasakom dan nan tidak.

Kelompok nan tak setuju, terutama Masyumi, mendapatkan agresi dari pemerintah. Misalnya, dalam DPR-GR bentukan Soekarno tak ada wakil dari Masyumi.

Sikap Soekarno nan menganakemaskan PKI juga menimbulkan kecemburuan di kalangan bawah. Secara umum, meskipun ada komunis hijau (komunis Islam) di luar negeri, masyarakat saat itu berpendapat bahwa komunis sama dengan ateis.

Kecemburuan rakyat di akar rumput semakin bertambah sebab PKI mendapatkan keleluasaan buat menyebarkan paham mereka dengan mengkritik atau memperolok ajaran Islam. Misalnya, melakukan pelecehan shalawat Nabi, perusakan masjid, dan penghinaan terhadap beberapa ulama di daerah.

Dalam sebuah sisi, tindakan PKI ini merupakan kasus pelanggaran HAM nan kelak akan dibalas oleh kasus pelanggaran HAM lain terhadap mereka. Kelak, tindak-tanduk PKI nan seperti ini, akan membuat gelombang massa nan begitu besar nan membalas perlakuan mereka pascaperistiwa G30S.

Akan terjadi pembantaian besar-besaran anggota PKI dan mereka nan berhubungan dengan partai merah ini nan "dikoordinasikan" dengan paripurna oleh Orde Baru. Pembantaian ini, terlepas dari kesalahan PKI, tetap saja merupakan kasus pelanggaran HAM.

Selain dengan umat Islam nan merupakan agama mayoritas di Indonesia, PKI juga berkonflik dengan Angkatan Darat. Hal ini disebabkan oleh niatan Soekarno buat membangun angkatan kelima setelah menerima saran dari perdana menteri RRC.

Pihak Angkatan Darat tak setuju dengan ide mempersenjatai rakyat. Akibatnya, mulai terjadi konflik dingin antara Angkatan Darat dengan PKI. Sebaliknya, Angkatan Udara tampak lebih kooperatif dengan PKI.

Detik-detik menjelang kasus pelanggaran HAM pada G30S dan pascakejadian, semakin mendekat. Konflik semakin memanas pada September 1965. Kala itu, muncul isu bahwa Dewan Jenderal, kumpulan Jenderal Angkatan Darat, berniat buat melakukan kudeta.

Di tengah-tengah keadaan genting itu, rakyat dikejutkan dengan kejadian 30 September tahun tersebut. Kala itu, muncul pasukan berseragam Cakrabirawa (Pengawal Presiden) nan menyerang rumah beberapa jenderal Angkatan Darat.

Para petinggi Angkatan Darat nan terdiri dari Letjen Ahmad Yani, Mayjen Raden Suprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono, Mayjen Siswondo Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo menjadi korban pasukan misterius tersebut. Selain itu, ada pula Bripka Karel Satsuit Tubun dan Lettu Pierre Tendean ikut tewas dalam kejadian tersebut.

Di Yogyakarta, agresi juga menimpa Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono pada 1 Oktober 1965 sore hari. Para jenderal nan ditangkap atau dibunuh di Jakarta, kemudian dibawa ke Lubang Buaya, buat disiksa secara keji dan dimasukkan ke dalam sumur kering. Mayat mereka baru ditemukan pada 3 Oktober 1965. Tindakan tak manusiawi ini jelas merupakan kasus pelanggaran HAM.

Aksi pembunuhan para jenderal ini menjadi titik paling penting dalam pemberontakan nan terjadi pada 1965. Kelompok nan mengatasnamakan diri sebagai PKI sempat menguasai studio RRI dan Kantor Telekomunikasi.

Melalui dua wahana primer komunikasi paling primer di Indonesia kala itu, PKI menyiarkan keberhasilan mereka melenyapkan Dewan Jenderal sekaligus mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi. Dalam kata lain, saat itu kelompok tersebut berada dalam posisi mengudeta Indonesia.

Soeharto nan saat itu merupakan salah satu jenderal Angkatan Darat, namun tak menjadi target pembunuhan pasukan berseragam Cakrabirawa, sukses mengambil alih keadaan dalam waktu singkat. Pada 2 Oktober, Angkatan Darat nan dipimpinnya sudah mampu mengendalikan ibu kota.

Soeharto kemudian membuat pernyataan bahwa perebutan kekuasaan PKI (Gerakan 30 September) gagal. Saat itu, rakyat sudah terprovokasi oleh tindakan pembantaian biadab nan dilakukan pasukan berseragam Cakrabirawa.

Tidak peduli salah atau benar, hendak menegakkan keadilan atau menjadi penguasa, sebuah kelompok nan dicitrakan sebagai pembunuh massal niscaya dibenci oleh semua kalangan. Dari sinilah, tercipta image bahwa pelaku kasus pelanggaran HAM seperti PKI layak mendapatkan balasan setimpal.



Kasus Pelanggaran HAM Pasca G30SPKI

Rakyat, terutama golongan Islam nan mayoritas, dianggap inferior ketika PKI berkuasa. Kini, keadaan berbalik. PKI gagal melakukan perebutan kekuasaan dan kekuatan ada di tangan Angkatan Darat nan dianggap lebih bersahabat pada rakyat. Alhasil, Gerakan 30 September bagaikan bumerang bagi PKI. Bisa dikatakan, keberhasilan pembantaian enam jenderal ialah blunder terfatal gerakan tersebut. Mereka dimusuhi rakyat dan kalah propaganda.

Sejak Oktober 1965, gelombang pembersihan terhadap semua hal nan berkaitan dengan PKI semakin besar. Tidak hanya anggota atau pendukung PKI nan terkena getahnya, tetapi juga semua nan “berbau” PKI, termasuk organisasi kemasyarakatan biasa nan berafiliasi dengan partai tersebut. Kelompok pemuda di tanah Jawa, melakukan penyisiran besar-besaran sekaligus pembantaian demi pembantaian terhadap PKI dan sekutu-sekutu mereka.

Tercatat, pada Oktober 1965, terjadi pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah. Bulan berikutnya, giliran Jawa Timur nan melakukan pembersihan. Pada 1965, tepatnya Desember, Bali juga menjadi loka penghancuran PKI.

Tidak diketahui seberapa besar jumlah orang nan dibantai dalam rentetan peristiwa itu. Minimal, ada 500.000 orang. Namun, data nan lebih valid menyebutkan sekitar lebih dari 1 juta orang nan menjadi korban tidak berdosa atas Gerakan 30 September. Suka tak suka, inilah salah satu kasus pelanggaran HAM terberat di Indonesia.

Deskripsi pembantaian semua nan berafiliasi dengan PKI sendiri sangat mengerikan. Ada desas-desus nan menyebutkan, sepanjang pembantaian tersebut, di titik-titik eksklusif sepanjang Sungai Brantas, genre sungai sampai terbendung mayat sebab terlalu banyaknya orang nan dibunuh.

Hal serupa juga muncul di Sumatera Utara. Sungai-sungai dipenuhi mayat dan di mana pun tercium bau mayat nan membusuk. Lalu, siapakah biang keladi atas kasus pelanggaran HAM ini?

Terlalu banyak kebetulan dalam kasus pelanggaran HAM G30S. Hal-hal ini berkelindan dan sulit dilacak penyebab tunggalnya. Apakah G30S benar-benar dijalankan sendiri oleh PKI? Apakah Soeharto nan mengomandoi segala hal demi mendapatkan kepercayaan rakyat dan posisi RI1? Fakta akan semakin bias jika kita menyadari bahwa ada laporan nan menyebutkan CIA dan Amerika Perkumpulan terlibat dalam gerakan ini.

AS jelas memiliki kepentingan buat menghindarkan Indonesia dari rona merah Uni Sovyet atau RRC. Selain itu, isu Dewan Jenderal nan ditiupkan sepanjang 1965 mirip dengan kejadian serupa pada 1973 di Chili. Kala itu, pemberontakan militer juga menggunakan isu adanya Dewan Jenderal nan hendak dibasmi oleh pemerintah, sebelum akhirnya militer berkuasa. Jika melihat dua kebetulan ini, mungkin kita akan percaya bahwa Amerika Perkumpulan ialah dalang dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di dunia, demi melegalkan posisi mereka sebagai negara super power .

Namun, hingga saat ini, kita masih harus berkata bahwa kasus pelanggaran HAM Gerakan 30 September memiliki banyak pemain nan mencari peluang terbaik. Namun, Soeharto menjadi pemain nan paling diuntungkan dampak peristiwa itu. Ketika berada di puncak, Soeharto pun menggunakan strateginya sendiri buat mengenyahkan versus politiknya, baik PKI maupun kelak Masyumi (partai Islam), bahkan meski cara-cara nan dipakainya merupakan kasus pelanggaran HAM.