Sejarah Masuknya Wayang Kulit

Sejarah Masuknya Wayang Kulit

Para pencinta wayang kulit tentunya sangat mengenali Semar, Petruk, dan Bagong. Nama tokoh wayang kulit itu sangat terkenal. Bahkan, karakter nan mendalaminya sangat mewakili karakter manusia di global nyata. Wayang kulit merupakan salah satu kesenian tradisional Jawa nan sarat akan hiburan dan pendidikan.



Cerita

Dalam penyampaian cerita wayang kulit di Jawa, terdapat pandangan filosofis nan sangat mendidik masyarakat. Pesan nan disampaikan ingin memberikan konsep pandangan mengenai makhluk Tuhan. Para tokoh wayang diibaratkan manusia dalam area kehidupan nyata, manusia bukan sesuatu nan bebas dari salah.



Tokoh

Para tokoh menggambarkan konduite manusia nan kadang-kadang bertindak galat dan dapat jadi khilaf. Tokoh Panakawan nan diciptakan para budayawan Jawa berfungsi buat memperkuat konsep filsafat bahwa di global ini tak ada makhluk nan benar-benar baik dan benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Ternyata, wayang kulit tak hanya terdapat di Jawa. Kita bisa menemukannya di berbagai negara di Asia, seperti India, Cina,Thailand, dan Malaysia.



Sejarah Masuknya Wayang Kulit

Banyak pendapat mengenai asal mula kemunculan seni teater tua ini. Misalnya, legenda zaman Raja Han Wu Ti di Cina. Berthold mengemukakan bahwa seni wayang ini merujuk pada penayangan bayangan dikelir atau diwarnai buat memanggil roh istri baginda.

Ada dua pendapat kuat nan melandasi keyakinan mengenai asal-usul wayang kulit. Pertama, pendapat para sarjana Barat, yaitu Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt, nan mengemukakan bahwa wayang kulit berasal dari Jawa. Semua istilah-istilah pewayangan berasal dari bahasa Jawa antik (Kuna) nan sudah ada sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Asia Tenggara.

Seni wayang sangat berhubungan erat dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khusunya orang Jawa. Tokoh terpenting dalam pewayangan, seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Gareng, hanya terdapat dalam pewayangan Indonesia.

Kedua, pendapat bahwa wayang kulit merupakan media penyebaran agama Hindu oleh bangsa India. Pendapat ini dikemukakan oleh Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Mereka merupakan sarjana Inggris, nan pernah menjajah India.

Pengaruh itu bisa kita lihat pada kisah-kisah Ramayana dan Mahabrata nan dibawakan dalam wayang kulit. Kisah-kisah perjuangan ini menggambarkan kehidupan masyarakat Hindu nan diadaptasi dari legenda para dewa di India.



Pelajaran Berarti

Banyak nan dapat kita pelajari dari kisah ini, seperti kisah perjuangan buat membela Tanah Air dan sesuatu nan kita anggap benar. Kebaikan selalu bisa menumpas kejahatan dan meyakini sesuatu nan kita anggap sahih itu tak akan pernah salah.

Sejak 1950an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa dan sama sekali tak diimpor dari negara lain. Dengan demikian, wayang kulit sudah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.

Wayang kulit sarat akan pembelajaran falsafah hidup, moral, dan empiris kehidupan manusia. Kesenian nan harusnya tetap dilestarikan oleh para kaum muda sekarang. Jika Anda intip sedikit saja, kisahnya sungguh lebih menarik dari sinetron lebay yang penuh derai air mata.



Cerita Identik

Dalam membawakan suatu cerita dan tokoh dalam wayang, semua wayang mengambil tema tema dalam kitab kitab bendahara dari Agama hindu, kebijaksanaan, serta pragmatisme nan terjalin antara kepercayaan pada Tuhan, keyakinan pada negara, bakti pemimpin dan raja pada rakyat, dan rakyat nan menjaga lingkungan, dalam harmonisasi nan Indah. Ini sama di antara pengisahan wayang, entah dalam wayang kulit atau dalam wayang golek.

Mengutip Sujana, sebagaimana nan di kutip Rizalullah (2003), Pesan pada pertunjukan seni wayang golek biasa atau berbentuk ceritera. "Ceritera pada pertunjukan seni wayang golek, diklasifikasikan menjadi: versi ceritera, makna ceritera, dan pemilihan ceritera". (Soepandi, 1984:6). Dan inipun identik dalam penggambaran nama tokoh wayang wayang kulit itu sendiri.

Versi pesan, dalam kehidupan seni padalangan kini, versi pesan berkembang menjadi 3 macam: "a. Galur/ pakem, b. Sempalan, c. Karangan". (Soepandi, 1984:117). Galur/pakem merupakan pengembangan dari suatu kejadian dalam holistik kitab. Misalnya babad alas amer nan mengisahkan terwujudnya negara Amarta (Pandawa). Dewa Ruci, lakon citra perjuangan Bima mencapai kesempurnaan jiwa. Babab maespati, lakon perjalan Somantri dan Arjuna Sastrabahu sebelumnya lahirnya Batar Rama dan awal penumpasan Dasamuka muda.

Yang dimaksud dengan sempalan, yaitu jika lakon nan ditampilkannya hanya berupa bagian dari varwa kitab nan diambil. Misalnya dari Mahabarata hanya mengambil bagian karna perlaya, Suyudana gugur, Kresna Duta atau Abyasa Palastra saja. Yang paling banyak dilakonkan dalam pagelaran Wayang Golek Purwa sekarang sebenarnya berupa Cerita Karangan.



Cerita Karangan

Cerita Karangan merupakan rekayasa para artis wayang baik di Jawa Barat maupun Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lakon nan dilukiskannya sama sekali tak ada dalam kitab aslinya. Seolah-olah Mahabrata atau Ramayana hanyalah nama-nama peran wayangnya dan negaranya. Sedangkan kejadian dan permasalahannya hanyalah rekayasa semata. Dari rekayasa tersebut lahirlah lakon-lakon dalam padalangan seperti Gatotkaca Sewu, Pergiwa Pergiwati, Dawala Gugat, Astrajingga Rabi dll.

Makna Pesan, pada dasarnya makna pesan berangkat dari pola-pola nan sudah baku, baik pola menurut struktur plot maupun pola menurut struktur adegannya. Pola-pola tersebut tak hanya merupakan susunan ceritera nan menarik saja, namun disamping itu juga harus mengandung maksud-maksud simbolis.

Umpamanya di dalam pola Dewa Ruci, sang pujangga memberi petunjuk kepada siapapun nan mempelajari atau mencari jalan ke arah tercapainya "kawruh kasempurnaan, yaitu ilmu pengetahuan menuju usaha kesempurnaan hidup". (Sujana, 1991:8). Segala ceriteranya dari kitab Mahabarata dan Ramayana, maka dalam pagelaran wayang golek selalu dikisahkan tentang kontradiksi antara Kurawa dan Pandawa, yaitu dua keluarga nan selalu mempersalahkan negara Hastinalaya/ Astina. Dalam lakon apapun antara lain selalu hadir tokoh Pandawa (Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Samiaji/ Darmakusumah).

Begitu juga para putra Pandawa (Gatotkaca, Abimayu, Antareja, Jaka Tawang). Dari pihak Kurawa selalu tampil penghasut kekacauan (Dorna, Sakuni, Karna, dan Dursasana). Begitu juga Suyudana nan dianggap pimpinan paling tinggi keluarga Kurawa nan jumlahnya 100 orang. Sebagai penasihat Pandawa (Kresna dan tokoh tambahan sebagai wakil rakyat; Semar, Astrajingga, Dawala, Gareng).

Jika basis ceriteranya mengambil Ramayana, maka dalam lakonnya antara lain akan tampil dari Keluarga Kudus seperti Rama, Lesmana, Wibisana, nan dibantu oleh tentara kera, dibawah pimpinan Hanoman, disamping raja-raja kera Sugriwa dan Sobali. Musuh pertentangannya tampil seperti Rahwana/ Dasamuka, Kumbukarna, Sampakanaka, Indrajit.

Sedangkan tokoh Panakawan Togog dan Saragita, adapun inti pertentangannya berasal dari perebutan isteri Batara Rama, yaitu Dewi Shinta.

Pemilihan Pesan, perlu disesuaikan dengan latar belakang maksud dan tujuan pertunjukan. Atau dengan kata lain, ceritera nan ditampilkan mengambil inti peristiwa atau kejadian nan menyebabkan perlunya diadakan pertunjukan. Umpamanya pada upacara ruwatan, tidak bisa tak ceritera nan ditampilkan ialah Nurwakala.

Sementara pada upacara perkawinan biasanya menampilkan ceritera dalam nama tokoh wayang kulit seperti : Parta Krama, Jaladara Rabi, Gatotkaca Rabi, Kurapati Rabi, dan sebagainya. Demikian juga pada upacara-upacara khitanan, tujuh bulanan, sedekah bumi, dan lain-lain, ceritera nan diambil perlu menyesuaikan dengan latar-belakang upacara itu. (Sujana, 1991:8).