Model

Model



Demokrasi Punya Siapa?

Sistem politik suatu negara akan mempengaruhi semua sendi kehidupan mulai dari soal makan hingga soal-soal nan lebih rumit lainnya. Yang menjadi masalah ialah ketika disetiap sendi kehidupan itu terjadi korupsi nan membuat kesengsaraan rakyat semakin menjadi. Bayangkan kalau buat menikah saja, calon pengantin bahkan harus membayar hingg 1,5 juta rupiah. Uang sebesar itu baru buat penghulu. Belum lagi uang buat saksi, buku nikah, dan administrasi lainnya.

Sangat sulit menemukan orang nan melayani tanpa mengharapkan bayaran lebih ajas jasanya. Aparat pemerintah tidak ubahnya dengan pialang atau calo di kantor-kantor. Membayar pajak kendaraan pun begitu. Misalnya, membayar pajak sebuah sepeda motor keluaran tahun 2010, 250 ribu. Tetapi kenyataannya, pemilik kendaraan membayar hampir 300 ribu rupiah. Yang tertera di tanda pembayaran tentu saja 250 ribu. Sedangkan sisanya? Oknum aparatlah nan mengambilnya.

Inikah negeri demokrasi? Demokrasi diartikan sebagai pemilihan oleh rakyat, dari rakyat, dan buat rakyat. Karena katanya semua dari rakyat, lalu nan akan terpilih mulai kongkalingkong dengan orang-orang nan mau memilihnya. Setelah itu mereka mulai berjamaah dalam mengambil uang dan semua sumber daya nan dapat diambil selagi mereka berkuasa. Tidak heran kalau banyak nan berebut buat memegang kekuasaan.

Saat telah berkuasa, pikiran tak sempat lagi buat memikirkan bagaimana mensejahterakan rakyat. Yang terpikirkan ialah bagaimana mengambil dana nan telah dikeluarkan ketika akan mendapatkan jabatan itu. Generik sekali hal ini terjadi. Akhirnya, pembangunan memang tak merata dan pejabat banyak nan hanya terima laporan tanpa pernah turun tangan. Demokrasi menjadi sesuatu nan membuat banyak orang tidak berdaya. Siapa nan berkuasa, ia akan mendapatkan apa nan ia inginkan. Rakyat itu tak lebih dari orang-orang nan harus membayar upeti. Entah sampai kapan masalah korupsi akan tuntas. Banyak rakyat nan masih mempunyai hati nurani nan mau bergerak dan membuat hentakan menolak pemimpin korupsi.

Yang terjadi ialah gerakan itu tak sukses sebab nan akan menjabat telah banyak membeli dukungan dari banyak orang sehingga gerakan nan higienis itu hanya seperti busa di bahari nan banyak tetapi terhempas lagi. Kalaupun ada pemimpin nan baik dan benar-benar berkomitmen, ia akan diganggu dengan banyak tantangan nan akan membuatnya kelelahan. Ia seolah berjalan sendiri dan tak mempunyai pendukung nan kuat. Hal ini tentu saja menjadi sesuatu nan sangat menyedihkan.

Banyak orang baik nan tak mau masuk politik sebab kejamnya politik dan tak tahan dengan benturan-benturan nan membuat dirinya merasa monoton berdosa dan bersalah. Beda dengan apa nan terjadi di Mesir saat ini. Para pemimpinnya banyak nan hafizd. Mereka nan menghapal Al-Quran tentu saja akan sangat berhati-hati dalam bergerak. Mereka tentunya berupaya buat memberikan nan terbaik kepada orang-orang nan dipimpinnya.

Kalau saja negeri ini memang demokratis secara jujur, maka pelayanan kepada masyarakat akan sangat bagus. Masyarakat tak harus mempersiapkan uang lebih sebab semua anggaran ditulis dan iumumkan secara terbuka sehingga semua mengetahui berapa nan harus dibayar. Ada kamera pengintai dan semua akan bersikap jujur sebab mereka tahu kalau mereka mengambil uang nan lebih dari nan ditetapkan, artinya mereka telah melakukan pencurian.

Awalnya mungkin hal ini akan sulit sebab moral telah rusak. Namun, lama-kelamaan, kejujuran ini akan menjadi suatu karakter nan inheren pada diri setiap orang sehingga mereka selalu berusaha jujur setiap saat di manapun. Betapa indahnya negeri nan latif ini ketika diisi oleh orang-orang nan jujur dan hanya ingin mengharapkan kejujuran. Jargon ‘Jujur itu Hebat’ seharusnya telah ada lama. Walaupun masih menjadi gerakan nan baru, diharapkan bahwa kejujuran benar-benar harus inheren pada setiap orang agar kehidupan ini menjadi kondusif sentosa.

Tidak mudah mendapatkan negeri nan demokratis dan jujur tanpa keinginan bersama buat mendapatkan kejujuran itu. Pemimpin harus rela menghabiskan banyak waktu mengamati, mengawasi, dan menegakkan peraturan. Kalau pemimpin tak mampu melakukannya, maka anak buahnya akan menyepelekan apa nan telah dijadikan peraturan. Lihatlah dengan apa nan terjadi dengan rokok. Embargo rokok tak menjadikan orang menghargai nan tak merokok.

Mereka masih saja merokok di manapun. Bahkan di rumah sakit sekali pun. Hal ini sebab tak ada upaya penegakan peraturan. Lihat apa nan terjadi di Singapura. Peraturan tegak sebab memang ada konsekuensi berat nan akan diterapkan kalau tak mau mengikuti peraturan. Hal ini tentu saja akan sangat melelahkan pada mulanya. Tetapi lihatlah apa nan terjadi dalam jangka nan sangat panjang. Singapura menjadi negara nan sangat tertib hampir disegala bidang. Sistem politiknya mungkin tak sebebas di Indonesia.

Kehidupan rakyatnya cukup baik. Singapura nan tak mempunyai sumber daya alam nan berlimpah itu mampu menghidupi rakyatnya dengan baik. Bahkan banyak orang nan meu hayati di Singapura. Demokrasi terkadang menyuburkan kolusi dan korupsi. Nepotisme masih dapat diterima ketika nan ditunjuk memang mempunyai kemampuan nan baik. Tetapi kalau sudah menyangkut kolusi dan korupsi, orang akan menjadi sangat geram.



Gerakan Jujur

Sudah hampir 13 tahun Indonesia menganut sistem politik demokrasi. Pascareformasi 1998, pengakuan dari forum internasional perlahan diperoleh. Indonesia jadi role model bagi transisi demokrasi nan stabil. Kestabilan nan harus dibayar mahal oleh banyak orang. Negara ini mengalami krisis kepemimpinan. Banyak pemimpin nan tak sadar kalau ia ialah pemimpin nan bertanggung jawab terhadap semua aspek nan terjadi di negeri ini. Pemimpin negeri ini sering sibuk sendiri agar bisa memperoleh banyak fasilitas.

Saat pemilihan generik akan diadakan, semua calon pemimpin turun ke rakyat. Mereka begitu perhatian dan akan memberikan berabgai hal nan dibutuhkan oelh rakyat. Bahkan kalau ada undangan pernikahan atau sunatan atau apapun, mereka minimal akan mengirimkan karangan kembang nan cukup besar. Padahal harga karangan kembang itu cukup mahal.



Model

Model sistem politik demokrasi beragam. Demokrasi di AS akan berbeda dengan demokrasi di Malaysia. Demikian pula Indonesia. Sistem politik demokrasi di Indonesia memiliki karakter khas. Meniru demokrasi Paman Sam tak selalu kompatibel dengan sistem politik lokal. Berikut ini karakter sistem politik demokrasi di Indonesia.

* Multi partai. Jumlah partai di Indonesia melimpah ruah. Euforia reformasi membuat pendirian Parpol kian mudah. Angkanya pernah sampai 30an lebih. Kini, DPR tengah menggodok regulasi buat membatasi Parpol secara nature. Parlimentary threshold salah satu anggaran buat mendorong pengecilan jumlah partai politik.

* Pancasila. Model pancasila hanya dimiliki Indonesia. Unity in diversty. Berbeda-beda Tunggal Ika. Sistem politik demokrasi patuh pada konstitusi (Pancasila). Pancasila bak payung bagi semua golongan di Indonesia.

* Presidensial. Demorasi Indonesia adalah demokrasi presidensial. Namun, pertentangan sering mengiringi. Legislatif kerap memotong wewenang pemerintah. Misalnya, penunjukkan panglima TNI, duta besar, dan sebagainya. Di negara penganut presidesial, lazimnya presiden memilih langsung.


* Koalisi. Meski menganut presidensial, tabiat politik bak parlementer. Kini, ada sekretariat gabungan. Dihuni Golkar, PPP, PKS, dan Demokrat. Kerancuan sistem politik ini telah berlangsung sejak lama.



Perjalanan

Perjalanan Indonesia dalam mengawal sistem politik nan demokrasi terbilang terjal. Publik terhenyak ketika menengok beberapa kasus. Sebut saja, kasus Munir, tragedi Trisakti, dan sebagainya. Penuntasan agenda HAM berjalan ditempat. Padahal, demokrasi mensyaratkan penghargaan terhadap hak asasi manusia.

Bocoran Wikileaks mengungkapkan pembunuhan Munir melibatkan institusi (aparatur) negara. Meski belum dapat dikonfirmasi kevalidan data, hal itu membuat Indonesia tercoreng di mata internasional. Freedom house dalam rilisnya mengapresiasi kemajuan demokrasi di Indonesia. Kebebasan berkumpul, kebebasan pers, atau kebebasan bersuara.

Akan tetapi, paradoksal di dalam negeri. Forum masyarakat seperti Imparsial, Kontras, dan AKBB, mengecam kebebasan beragama di Indonesia. Pemerintah dipandang absen dan gagal merawat kebhinekaan. Namun, citra secara utuh, Indonesia telah mengalami peningkatan signifikan. Meski banyak celah sana sini, sistem politik di negeri ini berkembang dan tumbuh.