Serambi Aceh - Perkembangan Sastra Pada masa ini Aceh

Serambi Aceh - Perkembangan Sastra Pada masa ini Aceh

Sastra di Indonesia sedang mengalami perkembangan, termasuk salah satunya ialah sastra Melayu dari serambi Aceh. Meskipun mungkin tampilan dari sastra Melayu tak seperti dulu, namun sejarah kepenulisan di Aceh telah mengalami peningkatan setelah wafat suri cukup lama. Sastra Melayu di Serambi Aceh memang menjadi keunggulan bagi penduduk di sana dan bahkan sampai sekarang ada beberapa karyanya nan masih dapat kita nikmati.



Serambi Mekah - Tokoh-tokoh Sastra Melayu di Aceh

Tokoh sastra Melayu dari Serambi Aceh yang terkenal, yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin Assumantrani, Nuruddin Ar-Raniry, dan Abdurrauf As-Singkili. Tokoh sastra Melayu ini hayati pada zaman kejayaan kerajaan Aceh Darussalam. Karya dari Hamzah Fansuri nan tercatat ialah Syair Burung Pingai, Syair Burung Pungguk, Syair Bahtera dan Syair Daganh, sementara karyanya nan berbentuk prosa antara lain Asrarul Arifin.

Sastrawan dari Aceh pada kala itu kebanyakan masih dari golongan ulama dan ilmuan, tak seperti sekarang nan telah mengalami perkembangan, sehingga buat menghasilkan karya tidak harus menjadi tokoh ulama. Selanjutnya, tokoh ulama dan juga ilmuan nan ikut meramaikan sastra Melayu ialah Nurudin Ar-Raniry.

Nurudin Ar-Raniry pada saat itu menetap di Serambi Aceh hanya 7 tahun saja dari tahun 1047 H/1637 M sampai 1054 H/ 1644 M. Meskipun singkat, namun bukan berarti tidak ada sumbangan nan berarti bagi sastra Melayu, Syek Nuruddin Ar-Raniry menulis 29 Kitab dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Karyanya nan lain yaitu Bustanus Salatin, Sirathal Mustaqim, Hidayatul Habib, Khaifiatus Salat, Babul Nikah. Tetapi kemudian, karyanya Babul Nikah dan Sirathal Mustaqim dikirim sendiri oleh Ar-Raniry ke Kedah (sekarang Malaysia) sekitar tahun 1050 H/1640 M. Salah satu ulama besar nan berperan di Banten (Jawa) dan Afrika Selatan ialah Syekh Yusuf Al-Maqassari.

Peranan Nuruddin Ar-Raniry terhadap perkembangan sastra Melayu terlihat dari karya-karya nan banyak menggunakan bahasa Melayu. Secara tak langsung, karya-karya Nuruddin Ar-Raniry juga berpengaruh terhadap perkembangan bahasa Melayu nan ada di wilayah Melayu Indonesia, hal ini diungkapkan oleh Dr. Azyumardi Azra.

Bahkan, Nuruddin Ar-Raniry sendiri sempat diklaim sebagai seorang pujangga Melayu pertama. Seorang pakar bahasa Melayu Indonesia menguatkan hal itu dengan menyatakan bahwa bahasa Melayu Klasik Ar-Raniry tak menunjukkan kekakuan seperti nan biasa terlihat dalam bahasa Melayu praklasik. Walapun sebenarnya bahasa ibu Ar-Raniry bukanlah bahasa Melayu.

Apabila kita perhatikan, sebenarnya beberapa karya pujangga baru juga mendapat pengaruh budaya Melayu. Hal ini dikatakan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas bahwa pengaruh kepenyairan hamzah Fansur terus berlanjut sampai abad ke-20.

Pernyataan ini juga di dukung oleh seorang pakar tentang Hamzah Fansuri (Hamzah Fansurilog), yakni Abdul Hadi W.M nan berpendapat bahwa beberapa penyair pujangga baru seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah masih terpengaruh oleh karya Hamzah Fansuri. Hal ini terlihat dari sajak Sanusi Pane nan berjudul “Dibawa Gelombang”, sedangkan dari Amir Hamzah terlihat dari sajak “Sebab Dikau".



Serambi Aceh - Sastra Islam di Aceh

Sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita pelajari terlebih dulu tentang kedatangan Islam di Serambi Aceh, karena masa-masa ini sangat berpengaruh pada global kesusatraan di Serambi Aceh . Sekitar Abad ke-7 atau 13 abad tahun nan lalu, Islam mulai diajarkan di Aceh. Masuknya Islam ini membawa pengaruh kehidupan di masyarakat Aceh, baik dari segi budaya maupun tatanan sosial lainnya.

Para Dai nan berasal dari Arab singgah di sejumlah pelabuhan buat berdagang sebab memang pada masa itu kebanyakan pedagang nan singgah sekaligus Dai nan menyiarkan ajaran Islam. Akhirnya sebab proses di dalam global perdagangan itulah, maka membaurlah pedagang asal Arab ini dengan masyarakat pribumi, bahkan ada nan menikah dan menetap. Banyaknya pedagang ini ada nan secara terang-terang berdakwah buat menyebarkan Islam di Aceh, sehingga salah satu dampaknya ialah adanya perubahan tatanan kehidupan pada masyarakat pada saat itu.

Pengaruh Islam membawa akibat pada bidang kesusastraan. Sebenarnya, penduduk orisinil di Serambi Aceh sebelumnya telah menguasai warisan tradisi lisan habajameun secara turun-temurun. Namun dengan masuknya Islam ini, maka kesusasteraan berkembang cukup pesat.

Menurut catatan DR. Ismail Hamid, hal itu sebab pakar bahasa dan sastra Indonesia berkebangsaan Malaysia, para mubalig dan dai nan menyebarkan Islam memperkenalkan aksara-aksara Arab. Maka dari sinilah perkembangan sastra dimulai, dimana pada saat itu karya sastra nan dihasilkan banyak nan bernuansa Islam dan berisi ajakan buat berbuat baik.

Karya sastra berbentuk prosa disebut hikayat pada zaman ini nan diambil dari bahasa Arab nan bermakna cerita. Kebanyakkan sastra nan dihasilkan ditulis dalam huruf Arab-Melayu dan menggunakan bahasa Aceh. Seiring berjalannya waktu, kesusasteraan jenis hikayat ini berkembang cukup pesat sebab mendapat dukungan dari kerajaan Samudra Pasai nan kala itu menjadi pusat kebudayaan Islam pertama.

Sebelum tahun 1924 atau tepatnya sebelum pemerintah kolonial Belanda berkuasa di Aceh, karya sastra nan dihasilkan di serambi Aceh biasanya ditulis dalam bentuk puisi (narit mupakhok), yaitu kata atau ucapan bersajak seperti pantun, nasib, kisah, dan hikayat. Sedangkan karya sastra nan bertema keagamaan dan berbertuk puisi disebut “nalam” (nazam).

Hikayat di loka ini juga dibagi menjadi hikayat agama, sejarah, safari, peristiwa, jihad, dan cerita (novel). Karakteristik khas dari hikayat tanah serambi Aceh ialah awalan Basmallah, kemudian tokoh-tokoh primer nan bermain dalam hikayat ialah manusia nan patuh pada ajaran Allah, selalu beraklak mulia, berjiwa pahlawan, baik budiman, berpendidikan agama nan paripurna dan menguasai berbagai kitan keagamaan, selain itu juga pandai ilmu hikmat, ilmu mantera dan ilmu politik.



Serambi Aceh - Perkembangan Sastra Pada masa ini Aceh

Kontemporer nan dimaksud di loka ini ialah kekinian, jadi merujuk pada perkembangan sastra nan pada saat ini sedang berkembang di tanah Serambi Mekkah. Jika dulu perkembangan sastra di Serambi Aceh sangat kental dengan budaya Melayu dan Islam, maka buat sekarang sudah lebih lunak.

Berkembangnya bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia telah membuat kesusasteraan juga harus mengikuti sistem penulisan nan ada, sehingga tak lagi memakai huruf Arab-Melayu atau Aksara Melayu. Namun, unsur-unsur Aceh masih inheren pada karya-karya tersebut, seperti cerita tentang budaya Aceh dan cerita sosial masyarakat Aceh.

Sastra di serambi Aceh saat ini sepertinya sedang mengalami pergolakan, seolah sedang terjadi perang kubu. Hal itu sebab ada kelompok atau golongan eksklusif nan menginginkan mazhab buat sastra di Aceh digunakan sebagai wadah buat dakwah keislaman, contohnya FLP (Forum Lingkar Pena). Sementara golongan lain mengatakan bahwa sastra di Aceh harus terlepas dari semua maksud, contohnya Sekolah Menulis Dokarim binaan Komunitas Tikar Pandan.

Kedua kubu ini memiliki paham nan berbeda dalam global kepenulisan di Serambi Aceh. Mungkin kedua kubu ini hanya contoh sedikit dari sekian banyak grup penulisan nan sedang berkembang di Aceh. Namun nan perlu digaris bawahi ialah hanya kedua kubu inilah nan menerapkan arah dan taktik serta mengadakan regenerasi buat mendukung faham mereka.

Salah satu hal nan di luar dugaan ialah meskipun kedua kubu ini saling bertentangan, tetapi para pengikutnya saling bergaul akrab dan seringkali justru mendiskusikan persoalan sastra secara bersama-sama. Kedua gologan ini saling unjuk gigi dalam mengembangkan global sastra, seperti baru-baru ini dari golongan FLP mengeluarkan novel berjudul “Gate Heaven” karya RH. Fitriadi nan isinya kental dengan global keislaman, sedangkan dari golongan sastra buat semua, juga menghasilkan novel berjudul “Lampuki” karya Arafat Nur.

Kemudian, novel “Lampuki” dianugrahi sebagai novel unggulan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 dan memenangkan Anugrah Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2011. Hal nan unik ialah sebelum Arafat Nur mengarang novel “Lampuki”, dahulu dia anggota FLP nan karangannya juga mengikuti mazhab kubu nan dia pilih. Kemudian ketika hendak menulis novel, dia berkonsultasi dengan pendiri Komunitas Tikar Pandan, yaitu Azhari dan rekan-rekan lainnya.

Kemudian, teman-teman dari FLP Aceh sendiri juga mengadakan acara nan meriah guna membahas dan berdiskusi soal novel Arafat Nur tersebut. Hal seperti ini sepertinya semakin memperjelas bahwa perkembangan sastra di Serambi Aceh memang terbagi dalam dua mazhab. Namun, para anggotanya saling berkawan dan saling unjuk gigi dengan cara baik sehingga tercipta saling menghargai nan harmonis.