Fenomena Pembantu Rumah Tangga di Luar Negeri

Fenomena Pembantu Rumah Tangga di Luar Negeri

Selamatkan nasib pembantu rumah tangga! Belum lama ini, pemerintah dihebohkan dengan tuntutan para buruh. Tuntutan buat menaikkan Upah Minimum Regional (UMR). Beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, Tangerang, Banten, Surabaya dan kota-kota lainnya, para buruh turun berdemo ke jalan-jalan. Pemerintah pun mengabulkan. Nasib mereka sedikit membaik. Lalu, bagaimana dengan nasib para pembantu rumah tangga?



Pembantu Rumah Tangga, Kelas Pekerja nan Terlupakan

Sebagai salah satu kelas pekerja, pembantu rumah tangga sebenarnya satu kelompok dengan para buruh. Yaitu kelompok nan rentan dengan perlakuan ketidakadilan para kaum kapitalis (pemilik modal). Kalau di global buruh pemilik modalnya ialah pemilik pabrik, maka bagi pembantu rumah tangga, pemilik kapital ialah majikannya.

Disebut rentan, sebab para buruh dan pembantu rumah tangga cenderung punya posisi tawar menawar nan rendah dalam bekerja. Mereka umumnya jadi objek dan harus lapang dada menerima perlakuan tak menyenangkan.

Hanya saja dibanding buruh, pembantu rumah tangga termasuk kelompok pekerja nan nasibnya lebih riskan. Kok bisa? Ada banyak faktor penyebabnya. Pertama, pembantu rumah tangga umumnya berpendidikan rendah. Lulusan SMP, SMA, bahkan ada nan hanya SD atau malah tak pernah mengecap pendidikan. Kedua, jika buruh punya organisasi buruh nan menjaga hak-hak mereka, maka pembantu rumah tangga tak ada. Ini berpengaruh kepada minimnya konservasi jika mereka mengalami perlakuan tak adil dari majikan.

Dari segi peraturan pemerintah pun, belum berpihak kepada para pembantu rumah tangga. Perhatian terhadap profesi mereka masih sangat kurang. Lihat saja, jika buruh punya peraturan penggajian nan layak (UMR), libur mingguan, perlop tahunan, tunjangan hari raya (THR), maka tak bagi pembantu rumah tangga. Tak hanya itu, jam kerja mereka juga amat panjang. Bahkan boleh dibilang 24 jam sehari (dikurangi waktu tidur) mereka habiskan buat bekerja.

Penghargaan terhadap mereka pun tergantung ‘belas kasihan’ dari majikannya. Apalagi adanya pandangan salah kaprah mengenai fungsi dan status pembantu rumah tangga. Banyak nan beranggapan bahwa mereka bukan kelas pekerja profesional. Hanya sekadar ‘pembantu’, babu atau jongos nan minus buat dihargai.



Regulasi buat Pembantu Rumah Tangga

Kebijakan perundang-undangan (regulasi) nan berpihak kepada pembantu rumah tangga, jadi kebutuhan mendesak. Bukan lagi sesuatu nan dapat ditawar-tawar. Mengapa? Karena semakin banyak saja jumlah korbannya. Mereka tak saja menerima upah sangat rendah (200 ribu sampai 300 ribu rupiah per bulan), waktu kerja tak terbatas dan jenis nan dikerjakan sangat beragam, tapi juga seringnya mendapat perlakuan melecehkan dari banyak majikan.

Salah satu forum swadaya masyarakat nan peduli terhadap nasib mereka, yaitu Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mengungkapkan data memiriskan. Bahwa dalam kurun waktu 2000 - 2007, tercatat sebanyak 412 kasus kekerasan yanag dialami pembantu rumah tangga dari majikan mereka. Data ini boleh dianggap seperti kenyataan gunung es. Sedikit nan terungkap, tapi fenomena sesungguhnya jauh lebih banyak dan tak terungkap.

Berkaitan dengan jumlah, walaupun belum ada data resmi mengenai jumlah pembantu rumah tangga di Indonesia, tapi diperkirakan ada sekitar tiga hingga empat juta orang. Jumlah nan menempatkan mereka sebagai kelompok pekerja perempuan terbesar.

Berangkat dari data-data ini, pemerintah sudah seharusnya cepat tanggap. Memang, saat ini sudah ada payung hukum UU Nomor 13 Tahun 2003 nan mengatur tentang Ketenagakerjaan. Tapi, undang-undang ini hanya mengatur interaksi industrial (pekerja formal). Pembantu rumah tangga digolongkan sebagai pekerja informal. Ini berarti, UU tersebut tak mengakomodir kepentingan mereka.

Lalu, keberadaan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Awalnya UU ini memberi angin segar akan konservasi bagi pembantu rumah tangga terhadap perlakuan majikan nan tak manusiawi. Tetapi, di lapangan UU itu kehilangan tajinya. Majikan nan seenak udelnya memperlakukan pembantu, tetap saja tidak dapat dijerat dengan UU tersebut.

Dua payung hukum nan sudah ada ini, boleh dibilang melempem ketika dihadapkan dengan masalah nan membelit pembantu rumah tangga. Para aktivis kemanusian pun bergerak. Bersama-sama mereka meminta pemerintah, khususnya anggota dewan buat merancang dan secepatnya mensahkan UU baru nan melindungi hak pekerja informal tersebut.

Pemerintah pun menanggapi permintaan para aktivis. Pada tahun 2010, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memasukkan persoalan pembantu rumah tangga ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun hingga kini (2012), UU baru nan dinanti tidak jua muncul dan disahkan. Bahkan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) sebagai pihak nan paling bertanggungjawab terhadap masalah ini, justru terkesan tidak ambil peduli.



Fenomena Pembantu Rumah Tangga di Luar Negeri

Keapatisan pemerintah terhadap nasib pembantu rumah tangga juga kentara ketika mengurusi masalah mereka nan bekerja di luar negeri (pekerja migran). Sudah terlalu banyak warta nan menghiasi berbagai media nasional maupun internasional. Warta miris tentang para pekerja migran tersebut. Bukan hanya gaji nan tidak dibayar, tapi perlakuan kasar dari majikan, bahkan banyak kasus pembantu rumah tangga nan dibunuh. Ini semua sebab minim atau bahkan tak adanya konservasi hukum dari negara.

Padahal, mengacu pada data dari International Labor Organization (ILO), Indonesia temasuk negara nan jumlah pekerja migrannya terhitung besar, yaitu mencapai enam juta orang. Sebagian besar ialah perempuan dan berprofesi sebagai pembantu rumah tangga.

Dari jumlah tersebut, uang nan mengalir dari pekerja migran ke dalam negeri atau diistilahkan dengan remitansi, terbilang sangat besar. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penempatan dan Konservasi Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), remitansi tahun 2008 mencapai Rp 70,7 triliun. Adapun tahun 2009, jumlah remitansi senilai Rp 56,8 triliun dan 2010 sebanyak Rp 57,4 triliun.

Jumlah uang nan fantastis buat negara berkembang seperti Indonesia, dan jadi pilar perekonomian bangsa. Hal ini sangat beralasan. Survei dari Bank Global pada tahun 2010 menguatkannya. Bank Global menyebutkan bahwa remitansi jadi salah satu sumber penghasilan terbesar bagi negara-negara berkembang. Termasuk punya kontribusi nan konkret dalam menurunkan angka kemiskinan.

Hanya sayangnya, fakta-fakta tersebut tak membuat pemerintah jadi ngeh dan bersikap peduli terhadap nasib pekerja migran. Mereka nan sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu, bernasib layaknya ampas kelapa. Setelah puas diperas dan diambil santannya, mereka dibuang dan dicampakkan begitu saja. Ironis. Coba bandingkan dengan pemerintah Filipina. Meskipun sama-sama negara nan banyak menyuplai tenaga kerja ke luar negeri sebagai pembantu rumah tangga, tapi negara peduli terhadap nasib mereka. Contoh kecil saja, besaran gaji pembantu rumah tangga Filipina sangat besar jika dibandingkan dengan pembantu dari Indonesia.

Di Malaysia, pembantu dari Filipina dibayar 1.400 ringgit per bulan. Sedangkan pembantu dari Indonesia, tidak sampai sepertiganya, hanya 400 ringgit per bulan.Hal dapat terjadi sebab dari pemerintah Filipina sudah menetapkan baku gaji bagi pembantu rumah tangga nan bekerja di luar negeri. Tidak seperti di Indonesia.Yang pemerintahnya tak mempunyai kebijakan seperti itu.

Tentu saja, kenyataan memiriskan ini harus jadi catatan krusial bagi kita semua. Pemerintah nan kuat dan punya perhatian dalam melindungi warganya, harus dibangun. Para stake holder (pemangku kebijakan) pun harus segera bergerak menyelamatkan nasib pembantu nan bermasalah di luar negeri. Itu harus dimulai dari sekarang.