Teguh dan Sederhana Sang Tokoh HAM

Teguh dan Sederhana Sang Tokoh HAM

Ketika suatu kasus digiring ke ranah politik, di negeri bernama Indonesia ini segalanya tak hanya menjadi abu-abu tapi nyaris kabur. Nasib nan sama ketika kematian tokoh HAM Indoensia, Munir, 2004 silam. Sampai sejauh ini tidak ada kejelasan tentang motif penghilangan nyawa tokoh HAM nan dikenal vokal dan keras ini. Racun arsenik diyakini menjadi penyebab kematiannya. Tapi tentu saja masalahnya tak sesederhana itu ketika kasus ini mulai melebar ke sana-ke mari, sejumlah tokoh politik tergerus kasus nan menghebohkan ini. Maka semakin kabur pula kejelasan dari kasus pelanggaran HAM berat ini.

Kasus kematian Munir bukan satu-satunya kasus nan terselesaikan. Banyak. Banyak kasus nan menggantung bahkan nyaris tertelan jaman tanpa kejelasan. Kasus Mursinah, wartawan Udin, kasus 1998 dan banyak kasus lain nan semakin runyam dan kabur ketika kasus ini masuk ke ranah politik. Kematian tragis Munir nan terkenal sebagai tokoh HAM nan keras tanpa kompromi ini semakin menambah catatan kelam kasus-kasus nan dipetieskan di negeri nan menganut demokrasi ini.



Misteri Terbunuhnya Tokoh HAM

Upaya pengungkapan kasus kematian tragis Munir, nan juga merupakan tokoh hak asasi manusia (HAM) Indonesia, memang telah membentur dinding keras. Sama seperti kasus pembunuhan wartawan Udin pada 1996 silam, nan hingga kini juga tak menampakkan kejelasan mengenai siapa pelakunya dan dengan motif apa. Tokoh-tokoh figuran nan diharapkan bisa mengalihkan isu telah pula digiring ke pengadilan. Namun apa nan terjadi, bukannya teralihkan malah menambah masalah baru. Ketika beberapa tokoh krusial di negeri ini digadang-gadang ikut terlibat, maka sudah dapat ditebak : kasus kematian tokoh HAM ini juga akan bernasib sama seperti kasus besar lainnya yaitu dipetieskan.

Munir, aktivis HAM ini, dinyatakan meninggal di atas pesawat Garuda pada 7 September 2004, dalam penerbangan menuju Belanda. Munir terbang ke Belanda buat menghadiri suatu konferensi internasional, di mana dia juga ditunjuk sebagai salah seorang pembicara. Maka kematiannya pun menjadi perhatian dunia. Apakah kematian Munir ini juga bagian dari skenario besar global ? Tidak ada nan mencoba menelisik ke arah sana, hanya saja kematian Munir erat kaitannya dengan kasus-kasus besar di tanah air, ini sudah jelas. Sekalipun tidak ada upaya buat mencoba membongkar kaitannya antara kematian Munir dengan kasus-kasus besar seperti tragedi 1998 misalnya. Beberapa tokoh nasional nan juga terkenal lantang, seperti kehabisan kata-kata ketika menghadapi tembok besar kekuasaan nan membentengi kasus kematian tokoh HAM Indonesia ini.

Coba saja simak warta nan muncul terkait kematian Munir ini. Semula dikabarkan bahwa kematiannya disebabkan oleh agresi jantung. Namun, hasil otopsi nan dikeluarkan oleh salah satu rumah sakit di Belanda, menunjukkan bahwa racun arsenik diyakini sebagai penyebab kematiannya. Jadi, kematian tokoh HAM ini jelas disengaja. Tapi disengaja buat apa, tetap saja gelap gulita.

Babakan selanjutnya, Pollycarpus nan juga pilot Garuda didudukan sebagai tersangka dalam kasus ini. Selain Pollycarpus, sangkaan serupa juga ditujukan pada Muchdi P.R., pensiunan Jenderal nan juga mantan kepala Badan Intelejen Negara (BIN). Nah, ketika kasus ini mengarah kepada Muchdi P.R, perjalanannya mulai tersendat dan cenderung berbelok-belok. Sehingga ada kesan sedang mengalihkan ke isu lain.



Kiprah Munir Sebagai Tokoh HAM

Lelaki berperawakan kecil ini, ialah seseorang nan bernyali besar. Dia pulalah nan sukses membongkar skandal penculikan aktivis mahasiswa pada 1998 lalu, dan sekaligus membebaskan beberapa di antaranya.Namanya kian melambung dan banyak disebut orang. Bersama Kontras, dia terus melacak keberadaan aktivis korban penculikan, nan hingga kini tak ada kejelasan nasibnya.

Arek Malang kelahiran 8 Desember 1965 ini mengawali kiprahnya sebagai relawan di LBH Malang tahun 1989. Sambil menulis skripsi buat menyelesaikan kuliahnya di FH Unibraw Malang, Munir aktif melakukan advokasi kasus buruh-buruh di Jawa Timur.

Ketika kasus pembunuhan Marsinah terjadi pada 1993 silam, Munir nan kala itu sudah duduk sebagai Koordinator Divisi Perburuhan dan Hak Sipil LBH Surabaya, juga turut terlibat mengungkap skandal tragis ini. Dalam kasus ini, terungkap bahwa orang-orang nan telah terlanjur dijatuhi dan menjalani hukuman, ternyata bukanlah orang nan membunuh Marsinah. Inilah paras pengadilan negeri ini.

Kasus pembunuhan Marsinah sarat dengan rekayasa dan persekongkolan dalam penanganan hukumnya. Sama persis dengan apa nan terjadi pada kasus pembunuhan wartawan Bernas Udin dan pembunuhan terhadap diri Munir sendiri. Sungguh tragis. Tidak saja tragis dalam menghilangkan nyawanya yaitu menggunakan racun arsenik, tapi juga tragis dalam pengusutannya. Padahal di negeri ini ada segudang pakar forensik, pakar hukum, pakar penyidikan, namun semaunya seperti kehabisan akal. Maka sampai sekarang kasus kematian Munir sang tokoh HAM, tetap saja terselimuti rahasia dan ada kesan biarlah waktu sendirinya nan menentukan. Semakin tragis pulalah nasib kasus ini.



Teguh dan Sederhana Sang Tokoh HAM

Semasa hidupnya, Munir penuh dengan teror dan ancaman. Namun, dia tetap teguh memegang prinsipnya, dan itulah nan membuatnya bernyali besar dan berani. Munir tak mau menyerah kepada teror. Sikap ini membawa pengaruh bagi orang-orang di sekitarnya. Sekalipun di akhir hayatnya ia sendiri tidak dapat mengelak dari teror nan bernama racun arsenik.

Keteguhan Munir ini pula nan menyebabkan sembilan aktivis korban penculikan nan sukses dibebaskan, bersedia menyampaikan pernyataan kesaksian (testimoni) di hadapan publik. Momen ini akhirnya sukses mengungkap bahwa negara ternyata terlibat dalam kasus penculikan ini.

Sekalipun namanya semakin popular, namun dia tetap hayati dalam kesahajaan. Apabila sedang di rumah, Munir juga melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga buat meringankan tugas istrinya.

Ada pengalaman menarik dari sosok Munir. Ketika dia masih aktif di YLBHI Jakarta, motor bututnya hilang. Namun selang beberapa hari, motor itu dikembalikan lagi dan ditemukan pada tempatnya semula. Melihat hal ini, Munir berkelakar; mungkin malingnya sadar bahwa aku lebih miskin dari dia.

Namun sialnya, motor butut Munir hilang lagi buat kedua kalinya. Dan kali ini sang maling tak mengembalikan motor butut Munir. Menyikapi itu, Munir hanya bisa berujar lirih; mungkin maling nan ini lebih miskin dari maling nan pertama. Kesabaran seperti itulah karakteristik lain dari tokoh HAM berambut dan berkumis kemerahan ini.

Pada tahun 2000, Pemerintah Swedia memberikan penghargaan Right Livehood Award kepada Munir, atas jasa-jasanya dalam upaya penegakan HAM. Penghargaan nan berada satu level di bawah penghargaan Nobel ini, juga menyertakan hadiah uang ratusan juta rupiah.

Lantas apa nan dilakukan Munir? Dia menyumbangkan sebagian besar uang itu buat Kontras, dan hanya mengambil sebagian kecil untuknya. Hem, Munir sebagai tokoh HAM Indonesia memang menjadi sosok langka, tidak biasa dan cenderung aneh bagi orang kebanyakan. Tapi sebab sikap seperti itulah semua orang menaruh asa besar bahwa kasus-kasus besar nan berkaitan dengan HAM sedikit demi sedikit akan mulai terungkap. Tapi siapa mengira ia nan memperjuangkan nyawa orang lain itu harus kehilangan nyawa dalam suasana tenang, dalam perjalanan ke negeri Belanda ketika akan menghadiri sebuah acara krusial dan bukan meninggal dalam keadaan huru-hara. Kasus kematian tokoh HAM Indonesia ini seharusnya segera terungkap, sehingga dapat jelas siapa sebenarnya nan menjadi aktor intelektualnya dan apa motif sesungguhnya. Dengan cara begitu akan semakin jelas bagaimana masalah HAM di negeri ini.