Tokoh Nasional dari Jawa Barat: Raden Oto Iskandar di Nata

Tokoh Nasional dari Jawa Barat: Raden Oto Iskandar di Nata

Bagaimana perjuangan rakyat Jawa Barat dalam menempuh dan berpartisipasi memerdekakan bangsa ini? Para pahlawan asal tatar pasundan pun tak mau ketinggalan. Ada beberapa nama tokoh nasional nan telah ikut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia nan berasal dari Jawa Barat. Para tokoh nasional ini telah dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia.



Tokoh Nasional dari Jawa Barat: Laksamana R. E. Martadinata

Laksamana Bahari Raden Eddy Martadinata ialah seorang tokoh Angkatan Bahari TNI nan dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Ia terlahir di Bandung, tanggal 29 Maret 1921 dan sempat mengenyam pendidikan pelayaran di Sekolah Pelayaran Tinggi.

Sayangnya, pendidikannya tak selesai sebab pendudukan Jepang di tanah air. Ia terpaksa melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pelayaran Tinggi miliki Jepang. Karena prestasinya nan cemerlang, ia diangkat menjadi guru bantu dan kemudian menjadi Nahkoda Kapal Pelatih.

Beberapa waktu kemudian, dengan semangat kemerdekaan ia mengumpulkan para pemuda nan pernah belajar di Sekolah Pelayaran Tinggi buat menghimpun kekuatan dalam merebut kapal-kapal Jepang di Pasar Ikan, Jakarta. Dan mereka berhasil. Tak berhenti sampai di situ, R. E. Martadinata juga mengambil alih kekuasaan atas beberapa kantor Jepang di kawasan Tanjung Priok dan Jalan Budi Utomo Jakarta.

Setelah Indonesia merdeka, R. E. Martadinata aktif di ALRI (Angkatan Bahari Republik Indonesia). Ia berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman dalam dan luar negeri. R. E. Martadinata terlibat dalam pertempuran Serangan Militer Belanda II di Aceh, saat itu ia diberi jabatan sebagai Wakil Kepala Staf AL Daerah Aceh. Tugasnya ialah menjalankan pendidikan staf AL dan mengoordinasikan masuknya senjata dari luar negeri guna membantu perjuangan tentara Indonesia.

Sebagai penghargaan atas jasanya menggempur Belanda, R. E. Martadinata diangkat menjadi komandan. Di tahun 1953, ia mendapatkan akses pendidikan militer di Amerika Serikat, tepatnya di United States Navy Post Graduate School. Begitu pendidikannya selesai, tokoh nasional dari Jawa Barat ini diberi tugas buat mengawasi pembuatan kapal perang RI Soerapati dan RI Imam Bondjol di Italia selama 3 tahun.

Di akhir tahun 1950-an, ia menjabat sebagai Menteri Angkatan Bahari Republik Indonesia. Di bawah kepemimpinannya, Angkatan Bahari Indonesia menjadi salah satu pasukan nan disegani oleh negara-negara lain, termasuk Belanda nan saat itu merongrong kebersatuan Irian Barat dengan Indonesia.

Sayangnya, kariernya sebagai Menteri Angkatan Bahari terhenti dampak keputusannya menghadapi pemberontakan G30S/PKI di tahun 1965. Saat itu, ia menyatakan mengutuk gerakan pemberontakan tersebut dan hendak bekerja sama dengan Angkatan Darat buat menumpasnya. Rupanya keputusan ini membuat Presiden Soekarno geram sehingga ia dimundurkan dari jabatannya sebagai Menteri. R. E. Martadinata kemudian melanjutkan kariernya sebagai duta besar Indonesia buat Pakistan.

Sang tokoh nasional kemudian menemui ajalnya pada 6 Oktober 1966 di wilayah Riung Gunung, Jawa Barat. Saat itu helikopter nan ditumpanginya mengalami kecelakaan. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Namanya diabadikan sebagai pahlawan nasional.



Tokoh Nasional dari Jawa Barat: Raden Dewi Sartika

nilah Kartini-nya Jawa Barat. Raden Dewi Sartika ialah tokoh nasional di bidang pendidikan dan pemberdayaan perempuan nan perjuangannya menginspirasi banyak orang di Jawa Barat buat mendirikan sekolah spesifik perempuan.

a terlahir di Bandung, 4 Desember 1884 di keluarga ningrat. Meskipun lahir dari seorang keluarga ningrat, Dewi Sartika tak tertarik terhadap pemerintahan Belanda. Keluarganya nan berpendidikan membuatnya bisa mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Ini ialah hal tidak lazim nan dilakukan orang tua zaman dahulu kepada anak perempuan mereka: menyekolahkannya. Namun keluarga Dewi Sartika mengabaikan opini publik dan tetap mementingkan pendidikan bagi sang tokoh nasional dari Jawa Barat ini.

Ketertarikannya buat memajukan rakyat memicu dirinya buat mengajar rakyat Parahyangan, khususnya kaum perempuan. Setidaknya ia ingin para perempuan mampu membaca dan menulis. Berawal dari perjuangan kecil di halaman belakang rumahnya pada tahun 1902, Dewi Sartika mendirikan sekolah spesifik perempuan nan dinamainya Sakola Istri. Muridnya pun hanya sedikit. Ini ialah sekolah spesifik perempuan pertama se-Hindia Belanda.

Seiring berjalannya waktu, semakin banyak perempuan nan ingin mengenyam pendidikan. Murid-murid Dewi Sartika semakin membludak. Untuk itu ia mendirikan sekolah nan lebih besar menggunakan uang tabungan pribadinya. Ia juga mendapat donasi dari 2 orang saudaranya buat menambah tenaga pengajar.

Sekolah nan semakin besar ini rupanya menginspirasi kaum ningrat di wilayah lain di Jawa Barat. Lama-kelamaan, menjamur Sakola-Sakola Istri lainnya di berbagai daerah di Jawa Barat. Rupanya Dewi Sartika menginspirasi banyak orang dengan gagasannya mengenai sekolah spesifik perempuan.

Di tahun 1914, nama sekolah perempuan Dewi Sartika diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri. Nama ini diabadikan menjadi nama sebuah jalan di pusat kota Bandung sekarang. Sekolah sang tokoh nasional semakin maju. 25 tahun setelah pendiriannya, Dewi Sartika mendapat bintang jasa dari pemerintah Hindia Belanda di bidang pendidikan dan pemberdayaan perempuan. Nama sekolah pun diganti menjadi Sakola Raden Dewi.

Sang perempuan nan menjadi inspirasi ini mati di Tasikmalaya pada 11 September 1947. Saat itu ia sedang dalam perjalanan kembali ke Bandung setelah mengungsi dampak peristiwa Bandung Lautan Barah 2 tahun sebelumnya. Di perjalanan, ia jatuh sakit cukup parah sehingga harus digotong dan mendapatkan perawatan intensif. Sayangnya, ia tidak mampu bertahan sampai ke Bandung dan menghembuskan napas terakhirnya di Tasikmalaya.

Raden Dewi Sartika dimakamkan di Tasikmalaya. Tiga tahun kemudian, jenazahnya dipindahkan dan dimakamkan secara lebih layak di kompleks pemakaman bupati Bandung nan terletak di Jalan Karang Anyar, Bandung.



Tokoh Nasional dari Jawa Barat: Raden Oto Iskandar di Nata

Raden Oto Iskandar di Nata, berjuluk si Jalak Harupat. Ia terlahir di Bandung pada 31 Maret 1897. Sebagaimana kedua tokoh nasional Jawa Barat nan dibahas sebelumnya, pria ini juga terlahir di keluarga bangsawan.

a mengenyam pendidikan di sekolah Belanda di Bandung dan melanjutkannya di sekolah buat pendidikan guru. Setelah pendidikannya selesai, ia menjadi guru di sebuah sekolah Belanda di wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah. Tak lama kemudian ia kembali ke Bandung dan mengajar di sekolah Belanda di kota tersebut.

Selain menjadi tenaga pendidik, ia juga terlibat dalam konvoi perjuangan kemerdekaan. Ia aktif terlibat di Budi Utomo cabang Bandung dan Pekalongan sebagai wakil ketua cabang. Ia juga terlibat dalam sebuah organisasi budaya Sunda bertajuk Paguyuban Sunda. Organisasi ini fokus di bidang pendidikan, kepemudaan, pemberdayaan perempuan, ekonomi, politik, dan sosial budaya. Keaktifannya di Paguyuban Sunda berlangsung pada tahun 1928 - 1942.

Di tahun 1930 - 1941, Raden Oto Iskandar di Nata menjabat sebagai anggota DPR-nya Hindia Belanda. Eksistensinya di organisasi seolah tidak pernah berhenti. Ia menjadi pemimpin surat kabar Tjahaja di tahun 1942 - 1945, di masa pendudukan Jepang. Ia juga aktif menjadi anggota PPKI dan BPUPKI buat mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, Raden Oto Iskandar di Nata menjabat Menteri Negara pertama. Tugasnya ialah membentuk angkatan bersenjata bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR) dari lascar-laskar pejuang rakyat nan ada di berbagai wilayah di Indonesia.

Sayang, akhir hayat sang tokoh nasional cukup nahas. Ia diculik dan dibunuh oleh salah satu lascar rakyat nan tak puas oleh kebijakannya dalam membentuk BKR. Syahdan lascar tersebut bernama Laskar Hitam. Raden Oto Iskandar di Nata tewas terbunuh di Banten pada 20 Desember 1945.

tulah beberapa tokoh nasional Jawa Barat nan diangkat menjadi pahlawan nasional. Selain ketiga tokoh di atas, masih ada tokoh-tokoh lainnya, yaitu Ir. H. Djuanda, Prof. Dr. Mr. Kusuma Atmadja, RH. Zaenal Mustopa, RH. Iwa Kusuma Sumantri, R. Gatot Mangkoepradja, KH. Noer Ali, dan KH. Abdul Halim.