Pasang Surut Etnis Tionghoa

Pasang Surut Etnis Tionghoa

Sejarah kemerdekaan Republik Indonesia tak dapat dilepaskan dari peran etnis Tionghoa nan memberikan dukungan tenaga, suplai logistik dan senjata. Keterlibatan etnis Tionghoa dalam upaya perjuangan menegakkan kemerdakaan RI, telah dimulai sejak lama.

Sejak dulu Tionghoa memberikan dukungan tenaga kerja, logistik, dan bahkan senjata. Namun, dalam sejarah kemerdekaan di Indonesia tak pernah disebutkan kiprahnya. Peran mereka pada termin awal berdirinya Republik Indonesia ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah diakui menjadi tanah airnya sendiri nan wajib mereka bela.

Menurut sejarawan Mary Somers-Heidhues alasan primer sebab etnis Tionghoa tak ingin berpihak dalam konflik Indonesia-Belanda. Karena mereka bukan Indonesia dan bukan juga Belanda. Sikap netral ini muncul sebagai produk devide et impera kolonial Belanda dan politik resinifikasi (pencinaan kembali) dominasi Jepang. Yang kedua, banyak sekali orang Tionghoa dan peranakannya nan bersimpati dan berjuang buat Indonesia.



Pahlawan Tionghoa di Balik Kemerdekaan

Sie Kok Liong

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dilaksanakan dirumah seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong atau Muhammad Cia, nan sekarang dijadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda. Ia memberikan izin kepada pemuda buat menggelar kongres sumpah pemuda tersebut di rumahnya dan pemerintah kolonial Belanda memberikan hukuman kepadanya. Tidak ada nan mengetahui bukan?

Kita dapat menduga, hukuman seperti apa nan dijatuhkan pemerintah Kolonial Hindia Belanda kepada Sie Kok Liong nan mengizinkan pemuda Indonesia melaksanakan kongres di rumahnya. Namun demikian, nama Sie Kok Liong atau Muhammad Cia ini seakan mulai terhapus dari sejarah kemerdekaan Indonesia.



Liem Koen Hian

Selain Sie Kok Liong, keterlibatan etnis Tionghoa dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan RI juga dilakukan oleh Liem Koen Hian di Surabaya. Pada 1932, Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI), nan perlu kita catat di loka ini ialah digunakannya istilah Indonesia, nan waktu itu diharamkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Liem Koen Hian sudah mengidentitaskan dirinya sebagai warga negara Indonesia. Liem sendiri ialah salah satu founding fathers Negara Republik Indonesia. Ia berperan dalam perjalanan BPUPKI. Dalam salah satu kedap BPUPKI ia memohon bahwa jika Indonesia sudah merdeka, warga Tionghoa diberi kewarganegaraan RI. Namun sayangnya cita-citanya tak terwujud, entah alasannya apa. Perlu diingat pula, pada saat itu etnis Tionghoa juga mengalami subordinat dan dikategorikan sebagai bangsa Timur Jauh oleh pihak penjajah Hindia Belanda.



Chung Yang Hai Wei Ting Chin

Selain PTI juga ada gerakan bawah tanah nan bernama Chung Yang Hai Wei Ting Chin atau Chungking. Organisasi nan bermarkas di Malang ini dipimpin oleh Yap Bo Chin. Anggota Chungking ribuan orang dan tersebar merata di seluruh pulau Jawa.

Organisasi ini berwatak radikal, tidak sporadis mereka melakukan sabotase terhadap jaringan telepon dan membongkar rel kereta api. Tujuannya buat menghambat proses komunikasi dan pengiriman logistik bagi tentara penjajah di daerah pedalaman.

Peran etnis Tionghoa dalam perjuangan bersenjata buat menegakkan kemerdekaan Indonesia, tampak semakin kentara. Jaringan kolega kelompok etnis Tionghoa ini banyak membantu suplai logistik dan persenjataan nan diselundupkan dari Singapura.



John Lie

John Lie ialah seorang mayor (AL). Ia berperan sebagai nahkoda nan sudah dipercaya oleh pemerintah RI buat menjual komoditas Indonesia dan ditukar dengan senjata-senjata nan nantinya digunakan buat melawan Belanda.

John Lie nan kemudian pensiun sebagai laksamana dan berganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma ini diakui sebagai pahlawan nasional pada tahun 2009 atas jasa-jasanya nan luar biasa terhadap negara RI.



Tan Pen Liang

Tan Pen Liang ialah seorang pengusaha kaya nan berkiprah sebagai penyelundup senjata bagi kepentingan perjuangan RI melawan penjajah khususnya di tanah kelahirannya yaitu di Semarang. Jadi dapat dibilang Tan Pen Liang ini berperan sebagai pembantu finansial ekonomi buat urusan jual beli senjata dan penyelundupan.

Ia nan merupakan penyelundup senjata memang tak tanggung-tanggung. Sudah tiga kali ia bolak-balik dari Indonesia ke Muangthai. Pertama, senjata digunakan buat mempertahankan Semarang dari tentara Jepang (Kido Buntai) nan rencananya akan menggempur Yogya, Solo, dan Semarang.

Kedua, senjata buat diserahkan pada tentara rakyat nan dipimpin oleh Soetardjo Rahardjo pasca pertempuran lima hari di Semarang nan dilatarbelakangi oleh penolakan tentara Jepang terhadap pelucutan senjata dan ditambah dengan kedatangan NICA.

Ketiga, senjata digunakan buat tentara rakyat Bandung pasca peristiwa Bandung Lautan Barah buat berperang melawan pemberontakan TII nan dipimpin oleh Kurtosuwiryo dan Belanda.



Tan Tiang Tjing

Tan Tiang Tjing ialah ayah dari Tan Peng Liang. Pada zaman pendudukan Jepang ia dipercaya duduk dalam forum Jawa Hokaido. Jawa hokaido ialah alat penjalin komunikasi dengan organisasi pendukung kemerdekaan Indonesia.

Jawa Hokaido ini dibina oleh Gunseikanbu nan berkiprah dengan Soetardjo Rahardjo (keponakan Tan Tiang Tjing). Mereka dengan diam-diam berbagi informasi dengan pihak BPKP (Badan Pembantu Keluarga Prajurit) atau Bodjong 89. BPKP ini bergaris nasional dan revolusioner.



Pasang Surut Etnis Tionghoa

Pada masa prakemerdekaan RI, para etnis Tionghoa sudah lama tinggal disini. Malah sebelum pemerintah Hindia Belanda datang. Namun mereka, para etnis Tionghoa masih berkewarganegaraan Kiau-seng dan Hoa-kiau. Kiau-seng ialah orang-orang Tionghoa nan lama tinggal di Hindia Belanda dan dianggap kurang mudun sebab tak menguasai bahasa resmi. Hoa-kiau ialah golongan perantauan nan memang masih murni Tionghoa asli, orang tersebut memang merantau ke Hindia Belanda tapi hanya sekedar sementara lalu pulang kembali ke tanah leluhur.

Namun seiring perkembangan zaman, masyarakat Tionghoa memang memiliki aspirasi politik nan bhineka namun mereka tetap sadar menjadi kelompok minoritas nan hayati di tengah bangsa nan sedang membentuk jati dirinya. Menjelang proklamasi kemerdekaan RI, setidaknya terdapat empat orang etnis Tionghoa nan duduk dalam Badan Penyelidik Upaya Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan seorang dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Sementara itu, pada masa awal-awal kemerdekaan, etnis Tionghoa juga diberi peran politik. Dimana Mr. Tan Po Gwan diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Tionghoa dalam kabinet Sjahrir kedua. Selain itu, dalam kabinet Amir Sjarifoedin diangkat dua menteri dari etnis Tionghoa. Yaitu, Siauw Giok Tjhan nan diangkat sebagai Menteri Negara mewakili etnis Tionghoa dan Dr. Ong Eng Die nan diangkat sebagai Wakil Menteri Keuangan.

Dr. Ong Eng Die ini selanjutnya ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Ali Sastroamidjojo. Selain Dr. Ong Eng Die, Ali Sastroaidjojo juga menunjuk Lie Kiat Teng sebagai Menteri Kesehatan. Peran politik nan diberikan kepada etnis Tionghoa ini bukan melulu pada pemberian jabatan publik. Dalam politik diplomasi melalui serangkaian perundingan pun, pemerintah Indonesia juga menunjuk orang-orang dari etnis Tionghoa buat duduk sebagai anggota tim delegasi. Dalam perjanjian Renville ada Dr. Tjoa Siek In, sementara dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) ada Dr. Sim Kie Ay.

Ketika Indonesia berbentuk Republik Indonesia Perkumpulan (RIS) tahun 1950, terdapat enam orang etnis Tionghoa nan duduk dalam parlemen RIS. Mereka mewakili Negara Republik Indonesia dan Negara-negara bagian nan ada dalam konsep RIS.

Keenamnya adalah, Siauw Giaok Tjhan dan Drs. Yap Tjwan Bing (Wakil Republik Indonesia), Mr. Tan Tjin Leng (Negara Indonesia Timur), Ir. Tan Boen Aan dan Mr Tjoa Sie Hwi (Negara Jawa Timur) serta Tjoeng Lin Seng (Negara Kalimantan Barat)

Bahkan nan mengejutkan, dalam pemilu 1955 banyak orang Tionghoa nan sukses menduduki kursi parlemen dan berangkat dari partai poltik Islam, yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi) serta Tan Oen Hong dan Tan Kim Long (NU).

Pada zaman orde baru, pemerintah melarang segala aktivitas nan berkaitan dengan budaya Tionghoa. Embargo ini bukan hanya membatasi aktivitas politik orang-orang Tionghoa, melainkan juga aktivitas budayanya. Bahkan kontemporer dikeluarkan anggaran bagi orang Tionghoa buat mengganti namanya dengan nama Indonesia. Namun setelah reformasi, etnis Tionghoa memiliki ruang kembali buat mengekspresikan nilai budaya dan kehendak politiknya secara bebas.

Dengan demikian, golongan Tionghoa memang menempati posisi sebagai minoritas perantara. Kedudukan ini berawal sejak berkembangnya zaman kerajaan Islam, misalnya saja orang Tionghoa berperan dalam bidang jual beli serta perekonomian. Jadi, peran apa saja nan sudah diberikan orang Tionghoa buat membantu negara Indonesia ini? Banyak sekali bukan?