Fasilitas

Fasilitas

Dalam global hukum, kita akrab sekali dengan asas hukum praduga tidak bersalah. Sebagian dari Anda nan memang menggeluti global hukum niscaya sudah mengenal asas hukum tersebut. Akan tetapi, banyak juga nan tak tahu lebih dalam apa saja nan ada di dalamnya. Mulai sejarah diberlakukannya asas ini hingga fasilitas-fasilitas hukum nan dapat didapat si tersangka atau terdakwa dalam penerapan asas praduga tidak bersalah dalam ranah hukum.

Secara permukaan, kita memahami bahwa asas ini merupakan sebuah asas ketika seorang terdakwa atau tersangka tak boleh dinyatakan bersalah sebelum adanya keputusan dari pihak pengadilan. Pada tulisan ini, dibahas lebih lanjut tentang perkembangan asas hukum praduga tidak bersalah ini.



Praduga

Literatur mencatat, asas hukum nan mengedepankan praduga tidak bersalah ini sudah ada sejak abad ke-11. Kemudian, akrab dipakai dalam sistem hukum Common Law di Inggris. Keberadaannya dilatarbelakangi oleh ragam pemikiran individualistik bersifat liberal nan saat itu cukup berkembang pesat. Bahkan, hingga hari ini.

Sebut saja dalam konteks peradilan-peradilan pidana. Asas hukum nan mengedepankan praduga tidak bersalah ini ialah syarat primer dan absolut dalam rangka penetapan sebuah hukum memang sudah berjalan baik dan semestinya.

Dalam artian, persidangan sudah berjalan jujur, adil, dan tak memihak. Inilah nan disebut dengan prinsip due process of law . Asas praduga tidak bersalah tak dapat dipisahkan dari prinsip ini sebab memang ini ialah prinsip fundamental dalam sebuah pengambilan hukum.



Perkembangan

Pakar hukum, Friedman, pernah menjelaskan dengan tegas bahwa prinsip peradilan nan baik tersebut nan sudah melembaga sejak lampau. Bahkan, kini, sudah melingkupi seluruh tatanan dalam bidang kehidupan sosial di masyarakat nan berada di bawah hukum.

Bahkan, dalam global kesehatan dan ketenagakerjaan. Jika terjadi penyaluran hak rakyat atau buruh nan dilakukan tak sinkron kewajiban, terjadilah pelanggaran prinsip due process of law.



Fasilitas

Keberadaan asas hukum praduga tidak bersalah ini, mau tak mau, akan memberikan keringanan tersendiri kepada pihak tersangka atau terdakwa dalam dua hal penting. Kedua hal krusial tersebut ialah sebagai berikut.

  1. Diperbolehkan tak memberikan keterangan nan kelak memberatkan atau merugikan sendiri saat di depan persidangan.
  2. Diperbolehkan buat tak melakukan atau menjawab, baik itu pada saat proses penyidikan maupun persidangan.

Selain itu, jika masalah ini dihubungkan dengan ketentuan pasal 8 UU.No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman mengenai prinsip praduga tidak bersalah, bisa disimpulkan bahwa prinsip itu berlaku buat semua tahapan pemeriksaan.

Ada pun isi UU No. 4 1970 pasal 8 ialah “Setiap orang nan disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan kedepan pengadilan, wajib dianggap tak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan nan menyatakan kesalahan dan adanya putusan hukum nan tetap” (Harahap, 1996:115). Mengikuti pengertian tentang putusan Hakim nan mempunyai kekuatan hukum nan tetap,mengikuti pengertian dalam suatu hukum Acara Pidana, Hukum tetap adalah suatu putusan Hakim dimana tak terbuka lagi buat menepuh upaya hukum nan tersedia bagi si terpidana (Adji, 1990:62).



Efektifkah Praduga Tak Bersalah?

Ungkapan "tidak bersalah sampai terbukti bersalah" telah menjadi klise, namun konsep ini masih hayati dan sehat. Praduga tidak bersalah merupakan konsep asas hukum nan berarti penuduh nan diperlukan buat membuktikan tuduhan melalui jelas, bukti kuat sebelum vonis bersalah nan diberikan oleh Trier fakta terhadap terdakwa.

Hal ini sering disebut sebagai beban pembuktian. Hak-hak terdakwa buat dianggap tak bersalah sampai terbukti bersalah menimbulkan dampak hukum prosedural nan menyatakan apa jenis bukti diperbolehkan buat digunakan buat membuktikan dugaan bersalah. Haruskah Trier fakta memiliki keraguan setelah bukti admissable disajikan, terdakwa harus dibebaskan, atau diucapkan tak bersalah.

Pengadilan pidana bisa didengar oleh seorang hakim dan juri, atau oleh seorang hakim sendiri pada pengadilan di Indonesia. Dalam kasus di mana juri ialah Trier fakta, hakim membuat keputusan nan berhubungan dengan masalah hukum perundang-undangan dan prosedural.

Diterimanya bukti, misalnya, sangat krusial dalam mempertahankan praduga tidak bersalah. Haruskah hakim mengijinkan bukti relevan atau merugikan, juri mungkin tak fokus pada fakta-fakta dari kasus bukan latar belakang, desas-desus atau sesuatu nan sama sekali tak relevan. Terbukti bersalah oleh gangguan semacam itu tak fair play dalam ruang pengadilan paling modern.

Dalam kasus di mana seorang hakim ialah Trier fakta, hakim menentukan diterimanya bukti dan mendengar kesaksian, pameran ulasan dan memeriksa bukti fisik. Hakim sudah telah melihat bukti nan ditawarkan, sehingga beberapa orang merasa bahwa mungkin sulit bagi hakim tak mempertimbangkan bukti, meskipun diterimanya nya.

Untuk alasan ini, pengadilan kejahatan kriminal versi anglo saxon (non Indonesia) dipimpin oleh hakim dan diputuskan oleh juri.

Dalam beberapa kasus, bagaimanapun, ada keadaan nan membuat sulit bagi juri buat mempertahankan asas praduga tak bersalah. Kasus nan melibatkan dikenal luas, menyukai terdakwa, atau terdakwa nan tak ingin bersaksi atas nama mereka sendiri atau mereka nan melibatkan isu-isu hukum nan rumit sering berakhir dalam sidang nan lama.

Meskipun konsep praduga tidak bersalah mungkin terdengar sederhana, tak selalu mudah buat dilindungi pun sisi efektifnya. Demokrasi nan paling modern telah mengakui hak ini, tapi dalam praktek secara luas subjektif. Beberapa negara memiliki hakim investigatif nan menginginkan adanya verifikasi terbalik. Apakah praduga tidak bersalah bisa dipertahankan dalam jenis pengadilan juga masih hangat diperdebatkan.

Banyak orang mengeluh bahwa beberapa forum sering melompat pistol dan menghukum orang-orang nan belum terbukti bersalah atau nan benar-benar telah dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan hukum. Siswa di banyak universitas sudah duluan diusir jika mereka didakwa melakukan kejahatan, terlepas dari apakah mereka dinyatakan bersalah atau tidak.

Perusahaan pemerintag menolak buat mempekerjakan orang-orang nan telah didakwa dengan kejahatan tertentu, meskipun status atau hasil dari pengadilan masih dalam proses. Pengadilan nan mengatur agunan nan tinggi buat menahan terdakwa dianggap risiko penerbangan telah dikritik dengan prinsip ini.

Praktek ini tampaknya bertentangan dengan hak-hak hukum terdakwa dan narapidana, dan dalam kasus ini, praduga tidak bersalah menjadi lebih dari sebuah teori ideal daripada hak dipraktekkan.

Masyarakat demokratis nan paling modern telah menolak praduga bersalah nan mendukung si praduga tidak bersalah itu sendiri. Bagi seseorang nan diminta buat membuktikan mereka tak bersalah telah diklasifikasikan sebagai suatu pertentangan terhadap prinsip-prinsip kebebasan dan pencerahan.

Anggapan Penggunaan bersalah merupakan bagian integral dari penasihat terdakwa dan semacam pertahanan buat mengingatkan hakim dan juri buat fokus pada apakah jaksa dapat membuktikan si terdakwa terbukti bersalah tanpa keraguan, semua masih dalam tingkat perdebatan.

Pun di Indonesia nan situasinya semakin rumit, sebab adanya kasus kasus hukum nan di jual belikan sebagai bagian dari komoditas politik. Asas hukum praduga tidak bersalah dijadikan mainan oleh mereka nan punya uang dan mampu membayar hukum. Di saat pengadilan berlama lama dengan proses, pelaku kejahatan tengah menghilangkan bukti bukti keterlibatan.