Tokoh PKI - Tan Malaka: Pahlawan Nasional dengan Bayang-bayang PKI

Tokoh PKI - Tan Malaka: Pahlawan Nasional dengan Bayang-bayang PKI

Partai Komunis Indonesia (PKI), merupakan salah satu partai besar dengan paham komunisme nan pernah ada di Indonesia. Sebelum merdeka, banyak tokoh PKI nan berjasa terhadap konsep dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, diantaranya nan bernama Tan Malaka.

Tan Malaka ialah seorang tokoh PKI yang dikenal orang sebab buku-bukunya. Buah pikirannya nan dituangkan dalam buku mampu membuka pemahaman masyarakat terdidik akan pentingnya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Selain buku-buku, Tan Malaka juga melakukan tindakan konkret membantu masyarakat melawan ketertindasannya dengan mengajarkan baca tulis dan perjuangan di Lebak Banten.

Karya-karya dan perjuangan Tan Malaka menjadikannya mendapat julukan Bapak Republik Indonesia, julukan ini diberikan oleh Muhammad Yamin seorang pakar bahasa saat itu. Muhammad Yamin bukan tanpa maksud tentunya memberikan julukan ini, Tan Malaka ialah orang pertama nan menuliskan konsep Republik Indonesia, dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada tahun 1925, duapuluh tahun sebelum Indonesia merdeka dan setelah dirinya menjadi tokoh PKI nan kuat pada tahun 1921.

Tan Malaka dilahirkan di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat pada tanggal 2 Juni 1897 kota nan jauh dari konvoi PKI. Nama Tan Malaka merupakan gelar pemberian nan diterimanya pada tahun 1912. Waktu kecil Datuk Tan Malaka ini bernama Ibrahim dan merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Ibra ialah nama panggilannya.

Ayahnya bernama Rasad berasal dari puak Chaniago, bekerja sebagai seorang pegawai rendahan yaitu Mantri nan bertugas mendistribusikan garam. Sedangkan ibunya bernama Sinah, berpuak Simabur. Keluarga ini menempati sebuah rumah gadang milik kaum nan dilengkapi surau, kolam ikan, dan lumbung padi.

Tan Malaka kecil tumbuh selayaknya anak laki-laki Minangkabau, bermain di siang hari lalu mengaji selepas magrib dan tidur di surau. Suatu kelaziman bagi anak laki-laki di desanya nan segan buat menginap di rumah ibunya. Pendidikan agama dan kegiatannya mengaji semasa kecil menjadikan Tan Malaka ialah tokoh PKI nan hafal Al-Quran.

Bahkan, Tan Malaka pernah berpidato di Kongres Komunis Internasional ke-4 di Moskow tahun 1921, dia berkata "Ketika menghadap Tuhan Saya muslim, tapi manakala berhadapan dengan manusia Saya bukan muslim". Beberapa kisah masa kecil Tan Malaka bisa ditemukan dalam bukunya "Dari Penjara ke Penjara 1".

Tan Malaka kecil, meskipun bandel sangat dikagumi kecerdasannya oleh para guru di Sekolah Kelas Dua. Oleh sebab itu, guru-gurunya merekomendasikan Tan Malaka buat melanjutkan pendidikan Ke Sekolah Guru Negeri buat guru-guru pribumi di Fort de Kock nan ada di Bukittinggi. Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah lanjutan bagi Sekolah Kelas Dua setelah menempuh pendidikan selama lima tahun.

Sekolah lanjutan Fort de Kock mendapat julukan sekolah raja, artinya hanya anak-anak ningrat dan anak pegawai berpangkat tinggi nan bisa bersekolah di sekolah guru ini. Hal ini menjadi sulit bagi Tan Malaka sebab ayahnya hanya seorang pegawai biasa.

Namun berkat kegigihan guru-gurunya, Tan Malaka menggunakan asal-usul dari keluarga ibunya sebagai alasan kelayakan Tan Malaka melanjutkan ke sekolah tersebut. Selain itu, Tan Malaka pendahulunya ialah salah satu pendiri Pandan Gadang dan membawahi beberapa datuk. Fakta tersebut kemudian ditambahkan dengan keterangan mengenai kecerdasan Tan Malaka nan luar biasa.

Ketika bersekolah di Fort de Kock, sang tokoh ini mendapat panggilan lain, Horensma nan merupakan pembimbingnya dalam orkes sekolah memanggilnya Ipie. Nilai-nilainya nan baik meskipun lebih sering bermain menjadikan Horensma bangga terhadap anak bimbingannya ini. Horensma menyarankan agar Tan Malaka belajar ke Belanda.

Atas donasi Kontrolir di Suliki, warga mengumpulkan 30 gulden setiap bulan buat biaya sekolah Tan Malaka di Belanda, Rijkskweekschool dan jaminannya ialah harta keluarga Tan Malaka. Ia harus kembali setelah tiga tahun dan membayar utang itu dengan gajinya. Pada kenyataannya, utang tersebut dilunasi oleh Horensma dan Tan Malaka hanya dua kali mencicil kepadanya.

Belanda ialah rantauan pertamanya ke luar negeri nan kemudian membawanya merantau ke sebelas negara dan menguasai delapan bahasa yaitu Minang, Indonesia, Belanda, Rusia, Jerman, Inggris, Mandarin, dan Tagalog. Di sekolah ini pula Tan Malaka berkenalan dengan sosialisme nan menjadikannya seorang tokoh PKI.



Tokoh PKI - Tan Malaka: Tokoh nan Keluar dari PKI

Tan Malaka dikenal sebagai tokoh PKI sebab penguasaannya atas teori marxisme dan jabatan nan pernah diembannya sebagai Ketua PKI pada tahun 1921 hingga 1922. Pada tahun 1926-1927, PKI kelompok Prambanan nan berisikan tokoh Partai Komunitas Islam seperti Semaun, Alimin Prawirodirdjo, Musso, dan Darsono mendeklarasikan planning pemberontakan di Solo awal tahun 1926.

Sebagai salah seorang dari tokoh PKI, Tan Malaka tak menyetujui pemberontakan ini bahkan berupaya mencegahnya. Menurut pemikiran Tan Malaka, pemberontakan ini harus dikesampingkan terlebih dahulu sebab kekuatan konvoi nan masih belum cukup matang. Masih diperlukan pembenahan organisasi partai buat menggalang basis massa nan kuat dan meluas, bahkan di luar kelompok komunis.

Sebagai tokoh nan paling terkemuka saat itu, Tan Malaka menganjurkan buat sementara waktu pemimpin-pemimpin gerakan memperkuat organisasi dan tetap melakukan aksi-aksi pemanasan dan agitasi di loka masing-masing. Anjuran ini telah disampaikan Tan Malaka kepada tokoh PKI lain, seperti Alimin dan kawan-kawannya.

Anjuran Tan Malaka kepada tokoh PKI kelompok Prambanan nyatanya tak digubris. Mereka tetap menjalankan pemberontakan tersebut nan akhirnya menyebabkan kehancuran partai dan aktivis partai banyak nan di penjara atau diasingkan ke Digul oleh pemerintahan Belanda.

Gagalnya pemberontakan ini kemudian menjadikan Tan Malaka sebagai tokoh PKI nan berkhianat. Pemimpin-pemimpin PKI pun mengeluarkan Tan Malaka dari partai. Sebagai seorang tokoh nan dikeluarkan dari partainya, Tan Malaka tak menyerah. Partai baginya hanya alat perjuangan. Hal ini menunjukkan bahwa Tan Malaka ialah seorang Marxis nan nasionalis, kemerdekaan Indonesia ialah tujuan utamanya.

Dalam sebuah kongres komunisme di Moskow, Tan Malaka menyampaikan bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai melalui kolaborasi kelompok komunis dengan kelompok Islam. Hal ini tentu bertentangan dengan pandangan organisasi komunis saat itu, namun di sisi lain hal ini memperlihatkan bahwa Tan Malaka memiliki jiwa nasionalisme nan lebih kental daripada fanatisme terhadap ideologi komunismenya. Oleh sebab itu, dikeluarkan dari partai nan menjadikannya seorang tokoh PKI baginya bukanlah akhir dari perjuangan.



Tokoh PKI - Tan Malaka: Pahlawan Nasional dengan Bayang-bayang PKI

Berkat perjuangan dan gagasannya dalam meraih kemerdekaan Indonesia, sang tokoh PKI Tan Malaka mendapatkan gelar dari Presiden Sukarno sebagai pahlawan nasional. Sayangnya, nama Tan Malaka sebagai pahlawan nasional tak banyak diketahui oleh generasi penerus bangsa.

Gelarnya memang tak pernah dicabut, hanya saja sejak masa Orde Baru nama Tan Malaka nan dikenal sebagai tokoh PKI ditenggelamkan. Orde Baru nan sangat anti-Komunisme dan PKI telah menutup informasi bahkan menabukan sosok Tan Malaka, meski ia telah keluar dari partai tersebut namun bayang-bayang tokoh PKI tetap inheren pada sosoknya.

Gelar pahlawan nasional bagi Tan Malaka memang sudah selayaknya diberikan bagi Bapak Republik Indonesia ini, betapa tidak, bila melihat perjuangan seluruh hidupnya diberikan bagi Indonesia. Presiden Sukarno banyak belajar mengenai revolusi dari tokoh PKI nan paling mengerti soal revolusi ini. Bahkan, Sukarno membuat testamen nan berbunyi "..jika aku tiada berdaya lagi, maka aku akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang nan telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka".

Pada perkembangan selanjutnya, justru pada masa pemerintahan Sukarno, Tan Malaka di penjara selama dua setengah tahun tanpa adanya pengadilan. Pada masanya pula, Tan Malaka dengan bayang-bayangnya sebagai tokoh PKI dieksekusi wafat oleh anggota TNI di Kediri. Di Desa Selopanggung, Semen, Kabupaten Kediri tahun 1949. Di kaki Gunung Wilis, loka itu didatangi seratusan tentara. Di dalam rombongan itu terdapat seorang laki-laki nan tangannya diikat dan setumpuk buku nan dipanggul oleh beberapa serdadu.

Rombongan tentara ini ialah Pasukan Batalion Sikatan. Seorang saksi mengatakan laki-laki nan diikat tangannya, ditawan di lumbung padi bersama buku-bukunya. Tak lama kemudian terdengar suara tembakan dan nan ditawan tak pernah terlihat lagi. Itulah peristiwa eksekusi nan dilakukan terhadap Tan Malaka, seorang tokoh Partai Komunis Islam, Bapak Republik, dan Pahlawan Nasional.

Eksekusi ini dilakukan saat terjadi serangan militer Belanda dimana Sukarno dan Hatta dipenjara. Eksekusi ini dilatarbelakangi ketika Sukarno dan Hatta, dimana Tan Malaka beranggapan bahwa Testamen nan diberikan Sukarno dan Hatta kepada dirinya harus segera digunakan. Oleh sebab itu, ia dan anak buahnya menyebarkan pamflet mengenai dirinya sebagai pengganti sementara Sukarno.

Namun, tindakan ini dianggap berbahaya dan TNI mengeluarkan pengumuman jika Tan Malaka ditemukan harus dilakukan tindakan militer. Tindakan tersebut kemudian diartikan sebagai eksekusi mati. Dampak dari tindakan eksekusi ini, Sukarno dan Hatta marah sekaligus sedih, hingga kemudian memberikan gelar pahlawan nasional bagi sosok nan dibayang-bayangi sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia ini.

Meski kisahnya pernah ditutup kedap pada masa Orde Baru, bahkan dilarang dimasukkan dalam buku-buku pelajaran, tapi pernyataan Tan Malaka nan berbunyi "Suaraku akan lebih keras dari dalam kubur daripada di atas bumi" terbukti. Masyarakat terus mempelajari sosoknya, baik sebagai tokoh PKI maupun sebagai pahlawan nasional nan dilupakan. Karya-karya buah kecerdasan pemikiran dalam buku-bukunya juga masih relevan digunakan hingga saat ini.