Budaya Pulang Kampung

Budaya Pulang Kampung

Mendengar istilah ‘kampung’ nan terbayang dalam benak kita ialah sebuah pemukiman sederhana nan tertata sedemikian rupa dengan pemandangan khas; pesawahan, sungai/kali, perbukitan/pegunungan, jalan tanah, dan kebun-kebun nan luas atau beberapa tanah lapang nan belum terpakai. Yang pasti, kampung ialah sebuah daerah nan menawarkan kesejukan dan pemandangan alam nan segar, apalagi bagi pendatang dari kota.



Definisi Kampung atau Desa

Kampung ialah istilah lain dari desa atau udik. Desa, sebagai wilayah administratif nan otonom, mengurusi beberapa pemukiman nan luasnya berbeda-beda. Pemukiman inilah nan kemudian sangat dikenal dengan istilah pedesaan. Menurut PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, desa ialah wilayah nan membatasi pemukiman masyarakat eksklusif dan berwenang mengurusi dan mengatur kepentingan mereka sendiri. Kepentingan mereka terkait dengan masalah adat istiadat atau asal usul setempat.

Desa dipimpin oleh kepala desa. Pada beberapa daerah tertentu, seperti di Kutai Barat, Kalimantan Timur atau di Papua, istilah desa lebih dikenal dengan istilah kampung dan pimpinannya disebut Petinggi atau Kepala Kampung. Sedangkan di Sumatera Barat, desa begitu dikenal dengan istilah nagari. Hal ini terjadi saat diberlakukannya swatantra daerah.

Yang perlu dicatat adalah, bahwa desa bukanlah berada di bawah kecamatan seperti halnya kelurahan. Kecamatan ialah bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, sedangkan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Selain itu, desa juga memiliki hak buat mengatur wilayahnya sendiri. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa bisa berubah menjadi kelurahan.



Suasana Kampung

Desa memiliki karakteristik khas nan unik. Sebagaimana nan telah dijelaskan di atas, karakter desa itu memiliki pertalian nan erat dengan alam. Udara nan sejuk dengan pemandangan pegunungan atau pesawahan nan luas, termasuk kesegaran pendengaran akan suara air nan jatuh atau merasakan sendiri dinginnya air sungai nan masih jernih.

Tak usah heran kalau anak-anak sekolah dari dulu hingga kini selalu dikipasi dengan cerita-cerita pedesaan nan menyejukkan. Bahkan, setelah liburan sekolah dan masuk pada minggu-minggu pertama, tugas nan paling diingat dalam pelajaran bahasa Indonesia ialah mengarang tentang tema liburan ke rumah nenek (yang cenderung ada di desa).

Bagi orang kota, suasana desa nan seperti itu pada akhirnya memunculkan kenangan latif dan keinginan buat kembali lagi. Apalagi hal itu juga distimulasi oleh rutinitas pekerjaan di kota nan memang terkenal padat dan tak pandang bulu. Hampir semua nan bekerja di kota hanya memiliki satu tujuan, yaitu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Dan ketika hari libur tiba (khususnya pas lebaran), semua langsung berbondong-bondong kembali ke tanah kelahiran alias mudik.



Budaya Pulang Kampung

Ketika liburan panjang tiba, khususnya pada hari raya keagamaan seperti Idul Fitri atau libur kenaikan kelas bagi anak-anak sekolah, budaya pulang ke loka kelahiran begitu sangat disorot. Khususnya lebaran, aktivitas ini sangat identik dengan istilah mudik.

Mudik telah menjadi budaya nan turun-temurun di negara kita. Sepertinya masih ada nan kurang kalau lebaran tak mudik. Di sinilah terjadi persaingan ego siapa nan paling berhasil di kota. Mulai dari jenis kendaraan mudik, sampai banyaknya bawaan nan dapat dipamerkan di tepat kelahirannya.

Namun di luar itu semua, tetap saja pesona desa asal seseorang tak dapat tergantikan oleh tempat-tempat wisata nan ada di perkotaan, meskipun desa tanah kelahiran nan dimaksud tidaklah seperti nan dibayangkan banyak orang: ada pegunungan, pesawahan, sungai, pemandangan alam nan segar, dan lain-lain.

Pulang ke tanah kelahiran bukan hanya sekadar tradisi, tetapi ada banyak makna di dalamnya seperti sebagai ajang silaturahmi, buat melepas rasa rindu kepada keluarga, menikmati makanan khas nan rasanya berbeda bila disantap di daerah asalnya, melepas rasa rindu pada suasana desa nan tidak dapat ditemui di kota.

Setiap orang niscaya memiliki alasan tersendiri mengapa sampai tak peduli mengeluarkan banya uang hanya buat melakukan perjalanan ke tanah kelahiran. Salah satu alasan terpopuler ialah rindu suasana di desa, terutama ketika merayakan lebaran. Alasan lainnya ialah buat menikmati makanan khas pedesaan. Ya, makanan khas daerah memang sangat membuat orang terlena-lena sebab hanya bisa ditemukan di loka aslinya.

Suasana pedesaan nan khas, makanan khas, kumpul bersama keluarga besar, dan silaturahmi, ialah alasan-alasan nan membuat seseorang rindu pulang ke tanah kelahiran. Itulah keistimewwaan dari tanah kelahiran seseorang.



Wisata Bakau di Kampung Tua Laine

Desa Laine terletak di daerah administrasi Kecamatan Manganitu Selatan, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara. Loka ini temasuk sebagai perkampungan tua dan di dalamnya berdiri beberapa rumah peninggalan masa lalu nan keasliannya masih tetap terjaga. Desa Laine ini dapat ditempuh selama kurang lebih dua jam dengan menggunakan kendaraan.

Desa Laine memiliki potensi wisata alam sangat luar biasa, salah satunya sungai nan lebar dan sangat panjang. Sungai di desa ini nan mengalir dari arah timur menuju ke muara di bagian barat ialah sebuah sajian estetika alam menakjubkan. Di sebelah kiri dan kanan sungai dipenuhi dengan hamparan hutan bakau nan masih asli. Loka ini sangat ideal bagi mereka para pemburu foto lanskap.

Menelusuri Desa Laine dapat dilakukan dengan menyewa bahtera warga sekitar dan disarankan berangkat menjelang terbitnya matahari. Bermula dari sebuah dermaga kecil tepat di belakang Pasar Laine, telah tersaji di depan mata sebuah pemandangan hutan bakau nan masih asli. Bila cukup beruntung, Anda mungkin saja akan menemukan buaya nan berkeliaran bebas di sungai tersebut.

Usahakan berada di muara saat matahari mulai menampakkan sinarnya dan alam di sekitarnya pun akan menyuguhkan sesuatu nan sangat dahsyat. Air sungai nan tenang sekligus higienis seolah-olah menjadi cermin bagi langit dan juga bakau dengan begitu indahnya. Tak hanya itu, perubahan rona langit nan secara perlahan menggradasi ialah sebuah sajian eksotis.

Membiarkan begitu saja bahtera terbawa arus sungai ialah tindakan tepat dalam menikmati sajian alam nan perawan ini. Bila memiliki nyali, tidak ada salahnya mengajak tukang bahtera masuk menyusuri hutan bakau nan cukup lebat. Setelah itu, sediakan lensa tele nan dipakai buat membidik majemuk jenis burung nan sedang bertengger di antara pohon bakau mencari makan. Jangan lupa juga memerhatikan kepiting bakau nan bercengkarama di antara akar-akar bakau.

Jika hobi memancing, sempatkan waktu sejenak berada di sekitar muara. Simpan bahtera di tepi bakau dan segera keluarkan alat pancing Anda. Rendezvous air sungai dan air bahari ialah sebauh tantangan bagi para pemancing mania. Hal nan semakin membuat jadi mengasyikkan ialah jumlah ikan nan tersedia masih cukup banyak.

Lalu, bagaimana cara menuju Desa Laine? Dari ibu kota Provinsi Sulawesi Utara, Manado, perjalanan dapat ditempuh dengan menaiki bahtera pelayaran ke Tahuna. Di sini, disediakan pelayaran kapal cepat dan pelayaran kapal malam. Dari Tahuna, para wisatawan dapat menyewa mobil buat menuju ke Laine dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Bila ingin menginap, di Desa Laine banyak disediakan loka menginap sehingga para wisatawan tidak usah khawatir.

Bagaimana dengan kampung halaman Anda?