Pemikiran Islam Tradisional

Pemikiran Islam Tradisional

Setelah selesai masa kenabian nan ditutup dengan wafatnya Rasulullah saw. Perkembangan pemikiran Islam dalam sejarahnya telah menunjukkan berbagai varian. Varian-varian itu berupa metode, visi, dan paradigma nan berbeda dari pemikiran nan satu dengan pemikiran lainnya.

Manusia hayati di global menjalaninya sinkron dengan apa nan dia pahami atau pandangan eksklusif terhadap kehidupan dunia. Begitu pula sebagai muslim dituntut agar kehidupannya sinkron dengan anggaran Allah SWT. nan tercantum dalam Alqur’an dan Alhadist. Namun seiring dengan sejarah nan dilalui oleh peradaban Islam, kaum muslimin mengalami berbagai perkembangan pemikiran.

Fenomena seperti ini sebenarnya sudah muncul sejak zaman Rasulullah saw. sampai pada masa Khulafaur Rasyidin. Pada saat itu disparitas pemikiran tak begitu mencolok. Tetapi, pada masa Umayah dan Abasiyyah mulai terasa ada disparitas visi pemikiran. Genre Al-Ra’yi dan Al-Hadist ialah dua visi pemikiran nan sangat mencolok pada saat itu, di samping pemikiran moderat sebagai antitesis dari kedua visi pemikiran tersebut.

Berbagai ekspansi wilayah kekuasaan peradaban Islam mengakibatkan berbagai bangsa dan kebudayaan bergesekan dengan khazanah pemikiran nan dipegang oleh kaum muslim. Ini terjadi pada awal abad 2 Masehi nan tercatat bahwa kekuasaan kaum muslimin telah meliputi wilayah Syam hingga sebagian daerah Afrika. Dengan bertemunya kaum muslimin dengan pemikiran dan filsafat nan dipegang oleh bangsa di luar Arab menjadikan mereka berinteraksi dengannya sekaligus mempelajari pemikiran nan baru dikenalnya.

Setelah hubungan para pemikir Islam dengan pemikiran dan kebudayaan nan baru, muncul ahli-ahli kalam dan para filosof nan mereka berasal dari anak kaum muslimin. Kita mengenal beberapa para pemikir nan populer di tengah-tengah sejarah perkembangan ilmu kalam dan filsafat. Misalnya seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al Kindi, dan Al Farabi. Hingga saat ini karya-karya nan mereka hasilkan masih dipelajari oleh para penuntut ilmu khususnya di bidang filsafat atau ilmu kalam.

Para pemikir muslim bisa menghasilkan banyak karya nan sangat berharga bagi generasi setelahnya. Motivasi beramal buat kehidupan setelah wafat ialah nan mendorong para pemikir, fukoha dan ulama mencurahkan segenap tenaga dan pikiran buat menghasilkan sebuah karya. Yang bisa dijadikan sebagai ilmu nan bermanfaat. Semakin banyak karya nan bermanfaat dihasilkan maka bertambah banyak pula investasi seorang muslim dalam amal jariyah setelah dia meninggalkan kehidupan dunia.

Setiap peradaban ada umurnya, salah seorang filosof muslim mengatakan bahwa sebuah peradaban akan berlalu seperti manusia hayati sampai mati. Peradaban di global tak ada nan kekal artinya semua peradaban akan diganti oleh peradaban nan lain dalam memimpin dan mengendalikan dunia. Pada zaman keemasan peradaban Islam telah dilahirkan banyak ilmuan dan para pemikir nan handal. Melalui buah pikiran mereka kaum muslimin menjadi pemimpin global dengan kekuasaan 2/3 dunia.

Namun saat ini peradaban Islam surut dan telah tergantikan dengan peradaban kapitalisme nan diusung oleh berbagai negara Eropa, dan Amerika sebagai negara adidayanya. Maka tak mengherankan para pemikir islam kalah dengan pemikir barat dalam menghasilkan sebuah karya, sebab memang umat islam sekarang tertinggal jauh dari negara-negara maju.

Berikut ini beberapa masa krusial nan dilalui oleh sejarah pemikiran Islam dalam sejarah.



Kolonialisme

Menurut M. Yusuf Wijaya (2001: 37) keruntuhan kekhalifahan Turki Ustmani dampak kolonialisme Barat, telah memengaruhi perkembangan pemikiran nan lebih variatif. Kolonialisme cukup lama mengendalikan aspek-aspek kehidupan di negara Islam.

Kemunculan revolusi besar-besaran di berbagai negara Eropa sangat mengguncangkan keadaan kaum muslimin pada abad ke 16 Masehi. Revolusi nan berarti perubahan total terhadap pokok-pokok pengaturan negara dan masyarakat. Revolusi nan bermula di Perancis dengan bangkitnya sejumlah para pemikir, filosof, bersama rakyat jelata nan menuntut perubahan sistem kenegaraan, dari sistem kerajaan nan mutlak ke sistem demokrasi. Kemudian revolusi tersebut merembet ke sejumlah negara di Eropa termasuk Inggris, Itali, Spanyol, Belanda dan Portugis.

Sistem sosial nan baru berkembang di Eropa ini mampu mendorong orang-orang Eropa menjadi kaum nomor satu di dunia, jauh meninggalkan kaum muslimin nan masih berkutat pada persoalan intern kenegaraan Turki Ustmani. Berbagai cabang ilmu dan alat-alat canggih ditemukan di sejumlah negara Eropa, terutama di bidang militer dan industri.

Kekalahan dalam bidang pemikiran atau pengetahuan bisa langsung terhadap kekalahan di bidang militer, pendidikan, sosial dan ekonomi. Maka sejak itu negara-negara eropa mencengkeramkan kuku penjajahannya di wilayah-wilayah kaum muslimin. Mulai dari timur yakni dominasi wilayah Indonesia oleh Belanda dan Portugis sampai dominasi Aljazair oleh tentara Perancis. Selama berabad-abad kaum muslimin berada di bawah kekuasaan/kolonialisasi negara Eropa hingga masa-masa kemerdekaan negeri-negeri kaum muslimin di abad ke 19 Masehi.

Diawali oleh kondisi umat Islam nan sangat lemah dampak proses kolonialisasi tu, ditambah kreativitas berpikir nan statis, telah memunculkan gerakan-gerakan pemikiran keislaman nan masing-masing mempunyai visi dan orientasi nan berbeda.

Berakhirnya kolonialisme dan imperialisme Barat di negara-negara Islam telah mengetuk pencerahan umat akan keterbelakangan, kebodohan, kejumudan, dan ketertindasan. Pencerahan ini lebih terasa lagi ketika mengingat kembali masa-masa kejayaan peradaban Islam.

Islam pernah besar dan maju dalam pelbagai dimensi kehidupan. Islam mengalami kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, militer, politik, dan sebagainya. Gerakan-gerakan Islam nan ada sampai saat ini berupaya buat mengembalikan kemajuan peradaban nan telah lama hilang, juga berupaya merevitalisasi khazanah keislaman lama.



Pemikiran Arab

Issa J. Boullata membagi visi pemikiran Arab menjadi dua bagian, yakni progresif-modernis (pembela modernisasi) dan konservatif-tradisionalis (pembela status quo). Progresif-modernis ialah gerakan pemikiran nan mengidealkan tatanan masyarakat Arab nan modern atau berorientasi kemasadepanan. Pola pikir mereka merujuk pada metodologi Barat nan diklaim oleh kalangan mereka sebagai satu-satunya alternatif buat membangun peradaban Arab Modern.

Adapun kelompok konservatif-tradisional ialah gerakan pemikiran nan mempunyai pola pikir kejayaan Islam masa lampau. Untuk membangun kemajuan dan kejayaan peradaban Islam mendatang harus diformat dengan kerangka pemikiran masa lalu nan pernah jaya itu.

Menurut Dr. Muhammad Imarah, ada tiga varian dalam perpetaan pemikiran keislaman ini, yakni tradisional-konservatif, reformis, dan sekuler.



Pemikiran Islam Tradisional

Pemikiran Islam tradisional disebut juga dengan pemikiran salafiah . Kelompok salafiah ialah mereka nan mengajak kembali kepada konduite para ulama salaf, yaitu mereka nan hayati dalam tiga generasi: generasi sahabat Rasulullan sw., Tabi’in, dan Atba Al-Tabi’in. Ulama nan dianggap sebagai tokoh pemikiran salafiah ialah Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taimiyyah.

Karakteristik dari kelompok tradisional ini adalah:
1. Argumentasinya harus jelas diambil dari ayat Al-Quran dan Al-Hadist.
2. Penggunaan rasio harus sinkron dengan nash-nash nan sahih.
3. Dalam konteks akidah harus bersandarkan pada nash-nash saja.

Mereka mempercayai dan hanya menerima nash saja, sebab nash-nash tersebut bersumber dari Allah Swt. Adapun rasio hanya sebagai pembenar, sebagai saksi, bukan sebagai penentu. Jadi, dalam pendekatan kaum tradisional, akal berada di bawah nash dan ia tak bisa berdiri sendiri sebagai dalil, tetapi hanya sekadar buat mendekatkannya kepada Allah Swt.

Beberapa tokoh pemikir tradisional lainnya ialah Muhammad ibn ‘Abd-Wahhab, Abu Al-Ala Al-Maududi, Sayyid Qutbh, dan Khomeini.

Sejalan dengan waktu nan dilalui oleh pemikiran islam tradisional ini mampu menyerap banyak dari kaum muslimin nan mempelajari dan mempraktekkannya secara langsung di kehidupannya. Sebut saja bagaimana corak pemikiran dari Muhammad ibn ‘Abd-Wahhab nan sangat mewarnai para pemikir dan ulama di wilayah Arab Saudi dan negeri-negeri di sekitarnya. Bahkan pemikiran salafiyah ini sudah tak asing di Indonesia.

Memang dalam perkembangan pemikiran Islam ada kalanya sebuah pemikiran akan ditolak ataupun diterima secara langsung oleh masyarakat. Mengaca pada perjuangan Kyai Ahmad Dahlan nan mengenalkan pemikiran bahwa kaum muslimin boleh menerima berbagai pengetahuan dan teknologi berasal dari bangsa penjajah, asalkan pengetahuan tersebut tak bertentangan dengan akidah dan prinsip ajaran Islam.

Maka kita melihat dalam sejarah terdapat banyak penolakan dalam masyarakat terhadap pemikiran nan dibawa Kyai Ahmad Dahlan tersebut. Tetapi lambat laun kaum muslimin di Indonesia bisa menerima gagasan nan diinspirasi oleh Ahmad Dahlan.

Dari pemaparan sejarah perkembangan pemikiran Islam di atas, semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran nan bermanfaat.