Rumah Adat Suku Asmat

Rumah Adat Suku Asmat

Suku Asmat ialah satu suku nan mendiami wilayah Papua di Irian Jaya, di Timur Indonesia. Di wilayah itu, selain suku Asmat, terdapat pula suku Dani dan suku Tobati-Enggros. Suku Asmat memiliki dua populasi nan berbeda, baik secara dialek dan cara hidupnya.

Ada populasi nan hayati di pesisir pantai dan ada nan hayati di daerah pedalaman. Suku nan memiliki makanan khas berupa sagu ini, memiliki mata pencaharian sebagai pemburu binatang liar di hutan, seperti babi hutan, ular, burung kasuari, dan lain-lain.



Asal-Usul Suku Asmat

Asal usul Suku Asmatsama seperti suku orisinil di Selandia baru dan Papua Nugini nan berasal dari rumpun Polonesia dengan ciri-ciri fisik rona kulit dan rambut hitam, kelopak mata bulat, hidung mancung dan berperawakan tegap.

Sebagai bagian dari suku bangsa di Indonesia, suku Asmat dalam kehidupan sehari-harinya berlangsung dengan dua kepemimpinan, yaitu pemimpin formal dari unsur pemerintah dan kepala suku nan berasal dari masyarakat.

Seperti suku lainnya di Papua, seperti suku Yohukimo, Jayawijaya dan suku Mappi, kepala adat atau kepala suku memegang peranan sangat krusial dalam tata kelola kehidupan sehari-hari.

Dalam menjalankan program-program resmi pemerintah formal, maka kerjasama dengan kepala suku atau kepala adat ini absolut diperlukan. Tanpa kerjasama dengan kepala suku, program pemerintah dapat kandas di tengah jalan.

Dalam hal pemilihan kepala suku atau kepala adat bagi suku Asmat, bukanlah jabatan nan turun-temurun seperti kebanyakan suku tradisional lainnya. Juga pemilihan kepala suku ini tak mengenal pewarisan tahta kepemimpinan seperti dikenal dalam tradisi kerajaan.

Kepala suku dapat berasal dari suku tertua, marga nan dianggap tua atau bahkan dapat diangkat dari seorang nan dianggap berjasa, seperti nan sukses memenangkan peperangan misalnya. Jadi, setelah kepala suku meninggal, dari unsur-unsur itulah kepala suku baru berasal.

Pada zaman dahulu, sering terjadi peperangan antarsuku atau antarkampung. Mereka saling membunuh. Jika suku Asmat membunuh seorang musuh, mayatnya dibawa ke kampung kemudian dimutilasi menjadi bagian kecil. Lalu, dibakar buat dimakan bersama-sama penduduk kampung. Agak sadis kedengarannya, namun itulah salah satu ragam kebudayaan suku Asmat.

Suku Asmat menyimpan banyak kesenian suku Asmat nan unik. Mereka memiliki pakaian adat sendiri nan kita kenal dengan Koteka. Koteka ini terbuat dari kulit labu. Bentuknya panjang dan sempit. Berfungsi buat menutupi organ reproduksi kaum lelaki.

Begitu juga dengan koteka buat perempuannya, sama-sama bertelanjang dada seperti lelakinya dan mengenakan rok nan terbuat dari akar tanaman kering buat menutupi organ reproduksinya.

Iklim di Papua sangat panas dan mereka hanya menggunakan koteka. Jadi, mungkin inilah nan menyebabkan suku Asmat berkulit hitam. Selain mengenakan Koteka, suku Asmat juga pandai merias atau mewarnai tubuh mereka dengan menggunakan bahan-bahan alami nan sederhana.

Untuk mendapatkan rona merah, mereka menggunakan tanah merah nan dicampur air. Begitupun jika ingin mendapatkan rona putih, mereka membuatnya dari kulit kerang berwarna putih nan dihaluskan kemudian dicampur dengan air.



Kepercayaan Masyarakat Suku Asmat

Suku Asmat berlatar belakang sebagai penganut animisme, sama seperti berbagai suku tradisional di seluruh dunia. Maka, kepercayaan terhadap hal mistik berupa roh leluhur nan menjaga mereka juga masih ada. Kepercayaan mereka itu dituangkan dalam keahlian membuat ukiran kayu tanpa sketsa. Mereka percaya, roh leluhur akan membimbing mereka buat menyelesaikan patung ukiran nan mereka buat.

Nama patung ukiran nan menceritakan tentang arwah para leluhur mereka disebut Mbis. Mbis banyak dijumpai di rumah adat suku Asmat terutama Jew. Dipercaya roh leluhur akan turut menjaga rumah nan mereka bangun dengan adanya Mbis didalamnya.

Masalah kepercayaan, di suku Asmat sebelum masuk para misionaris nan membawa agama Kristen Katolik dan Protestan, bahkan belakangan agama Islam, kepercayaan suku Asmat ialah animisme. Ukiran kayu khas suku Asmat pun tak terlepas dari masalah kepercayaan animisme inilah pada awalnya.

Namun, setelah masuk pengaruh agama, kepercayaan itu sendiri mulai pudar namun tak demikian dengan kerajian ukir kayunya. Hal-hal nan sifatnya magis dan supranatural, menjadi bagian tidak terpisahkan.

Untuk menopang kehidupan sehari-hari, suku Asmat mengenal cara bercocok tanam nan baik terutama berladang. Beberapa jenis komoditas seperti matoa, jeruk, jagung, wortel, keladi telah dikenal dengan baik. Begitu pula dalam hal bagaimana beternak ayam dan babi, bagi suku Asmat bukanlah sesuatu nan dianggap baru.

Tradisi kesenian suku Asmat nan tetap lestari selain seni pahat kayu ialah tradisi berperang. Perang antar suku merupakan hal nan biasa dalam kehidupan suku Asmat, seperti juga suku-suku lain di Papua. Bahkan tradisi perang antar suku ini dapat dibilang sebagai tradisi nan mengerikan.

Bayangkan saja, ketika musuh sukses dibunuh, biasanya mayat musuhnya itu akan dibawa ke kampung, lalu dipotong dan dibagikan kepada seluruh isi kampung buat dimakan.

Bahkan lebih sadis lagi, puluhan tahun ke belakang, setelah terjadi perang antara suku dan musuhnya sukses dibunuh, maka otakanya dibangun dengan daun sago, lalu dipanggang dan dimakan bersama.

Menurut survei terakhir nan dilakukan pemerintah Indonesia, dalam satu kampung dihuni oleh 100 sampai 1000 orang. Secara tradisional masing-masing kampung memiliki satu rumah bujang. Rumah bujang ini merupakan rumah loka dilangsungkannya berbagai upacara adat dan keagamaan.



Rumah Adat Suku Asmat

Rumah adat suku Asmat nan dikenal dengan nama Jew, ialah rumah nan spesifik diperuntukkan bagi aplikasi segala kegiatan nan sifatnya tradisi. Misalnya buat kedap adat, melakukan pekerjaan membuat noken (tas tradisional Suku Asmat), mengukir kayu, dan juga loka tinggal para bujang. Oleh sebab itu, rumah Jew juga disebut sebagai rumah Bujang.

Rumah ini unik sebab dibangun sangat panjang, bahkan hingga mencapai 50 meter. Karena masyarakat Asmat antik belum mengenal paku, maka pembuatan rumah Jew sampai saat ini tak menggunakan paku.

Ada satu lagi rumah adat suku Asmat yaitu, Tysem. Rumah ini dapat juga disebut sebagai rumah keluarga, sebab nan menghuni ialah mereka nan telah berkeluarga. Biasanya, ada 2 sampai 3 pasang keluarga nan mendiami Tysem.Ukurannya lebih kecil dari pada rumah Jew.

Letak rumah Tysem biasanya di sekeliling rumah Jew. Sebuah rumah Jew bisa dikelilingi oleh sekitar 15 sampai 20 rumah Tysem. Bahan membangun rumah Tysem hampir sama dengan bahan pembuat rumah Jew. Semua dari bahan alami nan terdapat di hutan sekitar lokasi suku Asmat berada.



Ukiran Kayu atau Patung

Dalam kehidupannya, suku Asmat memiliki 2 jabatan kepemimpinan, yaitu Kepemimpinan nan berasal dari unsur pemerintah dan Kepala adat/kepala suku nan berasal dari masyarakat. Kapala adat/kepala suku dari suku Asmat sangat berpengaruh dan berperan aktif dalam menjalankan tata pemerintahan nan berlaku di lingkungan ini.

Karena segala kegiatan di sini selalu didahului oleh acara adat nan sifatnya tradisional, sehingga dalam melaksanakan kegiatan nan sifatnya resmi, diperlukan kerjasama antara kedua pimpinan dalam memperlancar proses tersebut.

Suku Asmat juga sangat mahir dalam membuat ukiran kayu atau patung. Walaupun ukirannya tidak terpola dengan jelas, namun setiap ukiran menggambarkan kebesaran suku Asmat dan penghargaan nan besar kepada nenek moyang mereka. Secara kasat mata, ukiran mereka dapat berbentuk perisai (dalam bahasa Asmat disebut Gembes), manusia, atau perahu.

Seni ukir suku Asmat ini amat populer hingga mancanegara. Banyak wisatawan nan mengagumi kesenian suku Asmat ini. Suku Asmat mengerti bahwa ukiran mereka memiliki nilai jual nan tinggi. Maka dari itu, banyak hasil ukirannya mereka jual. BIasanya kisaran harganya dari mulai seratus tribu sampai dengan jutaan rupiah.



Tari Tobe

Siapa nan tidak tahu Tifa? Itulah alat musik tradisional suku Asmat. Bentuknya bulat memanjang mirip seperti gendang. Di permukaan tifa terdapat ukiran, menggambarkan lambang nan diambil dari patung Bis.

Patung Bis ialah patung nan dianggap sakral oleh suku Asmat. Tifa ini biasa dimainkan buat mengiringi tarian tradisional suku Asmat, yaitu Tari Tobe atau nan disebut dengan Tari Perang.

Tari Tobe sering dimainkan saat ada upacara adat. Tarian ini dilakukan oleh 16 orang penari laki-laki dan 2 orang penari perempuan. Dengan gerakan nan melompat atau meloncat diiringi irama tifa dan lantunan lagu-lagu nan mengentak, membuat tarian ini terlihat sangat bersemangat. Tarian ini memang dimaksudkan buat mengobarkan semangat para prajurit buat pergi ke medan perang.

Kebudayaan suku Asmat masih tergolong orisinil dan belum tergerus oleh arus modernisasi. Kebudayaan mereka sangat unik. Adalah tugas kita sebagai rakyat Indonesia buat melestarikan kekayaan budaya nan berlimpah dengan cara mempelajarinya dan menyaksikan pertunjukan-pertunjukan seni daerah di pusat-pusat adat dan kebudayaan nan tersebar di seluruh Indonesia.