Gusdur Sang Anak Pesantren nan Getol Guyon

Gusdur Sang Anak Pesantren nan Getol Guyon

Hingga era awal 1990-an pesantren masih dianggap remeh oleh berbagai kalangan nan mengandalkan pendidikan formal. Konon, anak-anak pesantren cenderung kurang pintar dan sedikit nakal. Namun, di antara pandangan negatif ini, Abdurrahman Wahid atau Gusdur menjadi titik tolak perubahan pesantren. Beliau berasal dari pesantren, hayati buat pesantren, sekaligus membawa semangat pendidikan dan kemodernan di pesantren.



Sang Anak Pesantren Belajar Islam

Gusdur lahir dengan nama orisinil Abdurrahman ad-Dakhil Wahid. Nama depannya diambil dari nama Abdurrahman Ad-Dakhil (Abdurrahman Sang Penakluk) dari Dinasti Umayyah, salah satu ikon krusial dalam penyebaran Islam ke Eropa, terutama Spanyol.

Lahir pada 1940 di Jombang, Jawa Timur, Gusdur dibesarkan di global pesantren. Beliau mewarisi darah biru NU sebab sang kakek, Wahim Hasyim, nan orang pesantren, ialah pendiri organisasi Islam terbesar di global ini.

Sejak kecil Gusdur sudah melahap semua bacaan, dari kitab kuning hingga buku-buku sekuler, termasuk karangan Karl Marx nan oleh beberapa kalangan fundamentalis dianggap tabu. Pada 1954, Gusdur tak lulus SMP. Beliau kemudian pindah ke beberapa loka buat melanjutkan sekolah. Misalnya, di Pondok Pesantren (Ponpes) Krapyak (Yogyakarta), Ponpes Tegalrejo (Magelang), dan Ponpes di kampung halamannya sendiri, Pesantren Tambakbesar, Jombang.

Kecerdasan nan dimiliki Gusdur membawa beliau mampu mendapatkan beasiswa dari Menteri Agama. Gusdur berangkat ke Mesir buat berkuliah di Universitas Al-Ahzar pada 1963. Namun, di sini Abdurrahman Wahid terkendala dengan metode belajar universitas terpopuler di global Islam tersebut. Keadaan diperburuk dengan pekerjaan baru dari pemerintah pascaterjadinya G30S. Kala itu Gusdur diminta membuat laporan tentang kegiatan mahasiswa Indonesia di luar negeri; nan oleh pemerintah dikhawatirkan akan tersusupi ideologi Marxis.

Sang anak pesantren kemudian terpaksa melanjutkan kuliah di Universitas Baghdad. Perjalanan menuntut ilmu Gusdur diibaratkan sinkron dengan pepatah sufi, "Carilah ilmu bahkan meski hingga ke negeri Cina". Gusdur tak memilih informasi apa saja nan harus didapatkannya. Bahkan, dalam sebuah kesempatan, pada 1979, Gusdur menemukan titik tolak pemahamannya tentang universalisme agama.

Kala itu, ia membaca buku Ethica Nechomochea karya Aristoteles. Begitu membaca buku ini, Gusdur berlinangan air mata. Ia baru menyadari betapa mulianya ajaran Islam dari sebuah buku nan lahir jauh-jauh hari sebelum Nabi Muhammad saw diutus Allah Swt.. Seorang muslim seharusnya peka atas ketidakadilan sosial, menghargai agama lain, dan mengutamakan persatuan seluruh manusia daripada perpecahan antarkelompok. Dalam sebuah kesempatan, sang anak pesantren mengaku, seandainya tak membaca buku tersebut, bukan tak mungkin ia akan menjadi seorang fundamentalis.

Pemahaman Gusdur tentang Islam nan sifatnya universal inilah nan kelak menjadi tongkat pedoman dalam mengatasi keberagaman di negara kita. Misalnya, Gusdur membuat hari Imlek sebagai hari libur, satu hal nan tidak pernah terbayangkan di masa Orde Baru. Atas jasa beliau ini, pernah suatu ketika saat datang ke Cina, Gusdur dipuja dan dilayani habis-habisan oleh pemerintah Cina. Padahal sang anak pesantren kala itu tak menjabat presiden. Gusdur juga dipuji oleh pemerintah Perancis dan Inggris sebagai pribadi nan membawa status Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam ke dalam termin dapat dipahami oleh global Barat.



Gusdur dan Perubahan Pesantren

Sebagai cucu pendiri NU sekaligus calon pemimpin organisasi Islam terbesar di global ini, Gusdur sangat banyak membantu perkembangan pesantren menjadi bentuk nan lebih modern. Pada 1960-an, pernah ada kasus, para politikus NU protes kepada pemerintah. Alasannya, dengan pendidikan mereka nan bukan pendidikan formal, politikus tadi hanya duduk di pos-pos nan kurang penting. Hal ini menjadi bukti bahwa saat itu, politikus NU dan kebanyakan putra pesantren, belum mampu bersaing dengan kelompok lain.

Gusdur datang buat mengubah pola pikir tersebut. Beliau mendatangi daerah demi daerah, membina kader NU mati-matian. Bahkan, buat hal ini, Gusdur rela mengundurkan diri dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) agar dapat fokus membangun NU dan pesantren. Hasilnya, saat ini, banyak orang pesantren nan tak kalah, bahkan mengungguli mereka nan mengenyam pendidikan formal.



Gusdur Sang Anak Pesantren nan Getol Guyon

Entah berapa banyak guyonan nan meluncur dari bibir Gusdur. Beliau sering menertawakan diri sendiri buat memberi nasihat kepada orang lain. Dengan demikian, orang nan diberi nasihat, tak merasa tersindir atau sakit hati.

Dalam hal ini, pernah Gusdur berjumpa dengan pemimpin Kuba, Fidel Castro. Dalam sebuah candaan demi meredakan ketegangan, Gusdur berkata bahwa semua presiden Indonesia gila. Presiden pertama, Soekarno, gila wanita. Presiden kedua, Soeharto, gila harta. Presiden Ketiga, B. J. Habibie, benar-benar gila. Sementara itu, Gusdur, sering membuat orang gila sebab nan memilih juga orang-orang gila. Fidel Castro tertawa renyah dan mengakui bahwa ia ialah tipe B. J. Habibie sekaligus Gusdur.

Guyonan pesantren ala Gusdur mampu membuat Fidel Castro nan garang, dapat melunak, bahkan mengakui "kesalahan" dengan bahagia. Pernah pula, Gusdur meminta para peserta ceramah beliau buat bersalawat. Begitu selesai, Gusdur bergurau, dengan bersalawat Nabi, ia mengetahui berapa banyak nan mengikuti ceramahnya, mengingat ia tak dapat lagi melihat dengan baik. Gusdur mungkin saja bermaksud agar umat Islam lebih menghargai Nabi Muhammad saw. Jadi, salawat bukan hanya sekadar tempelan. Guyonan sang anak pesantren tak hanya menggelitik perut, tetapi juga mampu membuat orang lebih cerdas dalam bersikap.



Gusdur Sang Anak Pesantren dan Keajaiban

Berkaitan dengan keajaiban, Gusdur kadang disebut sebagai seorang wali, hamba Allah Swt. nan mendapatkan kemurahan-Nya dengan mukjizat nan tidak terduga. Gusdur pernah berseloroh, bahwa beliau bukan wali, melainkan wali murid. Namun, ada saja kejadian unik tentang keajaiban nan menyertai sang anak pesantren. Misalnya, masalah tidur. Banyak orang nan mengeluhkan atau malah menertawai Norma Gusdur buat tidur dalam sebuah acara. Bahkan, dalam sidang kabinet, beliau terbiasa memejamkan mata. Uniknya, Gusdur tak pernah salah dalam menanggapi pembicaraan orang lain.

Sebagai contoh, pernah suatu ketika, Perdana Menteri India, Rajvaje, berdiskusi dengan beliau seputar masalah negara masing-masing. Saat Gusdur tertidur, sang ajudan berusaha menegur beliau. Namun, nyatanya saat PM India selesai berbicara, Gusdur langsung menyambung perkataannya dengan tepat, seolah-olah beliau sangat mengawasi jalannya pembicaraan.

Kasus itu tak hanya sekali. Banyak orang nan menyaksikan sendiri kemampuan Gusdur buat merekam pembicaraan orang lain, meski seakan keadaan beliau seolah tertidur nyenyak. Atas dasar hal inilah seorang teman Gusdur nan beragama Kristiani, menyebut sang putra pesantren seperti Santo di agamanya.

Keajaiban lain dari Gusdur ialah kemampuan beliau dalam membaca masa depan. Pada awal 1990-an, beliau pernah mengemukakan kepada beberapa teman dekat, bahwa sebentar lagi Gusdur akan menjadi presiden. Tentu saja kebanyakan orang menganggap ucapan tersebut hanyalah lelucon. Atau, kalau tak Gusdur tengah stres berat. Namun, nyatanya beliau memang menjadi presiden. Bahkan, dalam dua tahun masa pemerintahan sang putra pesantren, Indonesia mengalami masa nikmatnya berdemokrasi nan sesungguhnya.