Karier Militer Pasca-Pengakuan Kedaulatan

Karier Militer Pasca-Pengakuan Kedaulatan

Letnan Jenderal Ahmad Yani (19 Juni 1922 - 1 Oktober 1945) ialah pahlawan revolusi nan mati di rumahnya saat akan diculik oleh pasukan nan tergabung dalam Gerakan 30 September.



Masa Muda Letnan Jenderal Ahmad Yani

Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada 1922, merupakan putra pasangan Sarjo bin Suharyo dan Murtini. Pada 1927, Yani dan keluarganya pindah ke Bogor. Di kota hujan ini Ahmad Yani menyelesaikan pendidikan HIS (sekolah dasar) pada 1935 dan MULO (sekolah menengah pertama) pada 1938.

Ahmad Yani kemudian melanjutkan pendidikan ke AMS (sekolah menengah atas) di Batavia. Namun, pada tahun kedua dia keluar dari AMS dan mengambil pendidikan di Dinas Topografi Militer Malang. Namun, masuknya Jepang pada 1942 menghentikan pendidikan militer Yani. Sementara itu, Yani dan keluarganya kembali ke Jawa Tengah.

Pada 1943 Yani bergabung dalam pasukan PETA (Pembela Tanah Air), dan menjalani pendidikan di Magelang. Selanjutnya, Yani kembali mengikuti pendidikan di Bogor buat menjadi hulubalang peleton PETA. Setelah menyelesaikan pendidikan, Yani kembali ke Magelang.



Kehidupan Letnan Jenderal Ahmad Yani pada Masa Revolusi Kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan, Ahmad Yani ikut berjuang melawan Belanda nan berniat menjajah Indonesia kembali. Pada awal masa kemerdekaan, Yani menjadi hulubalang Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Purwokerto.

Pada saat Belanda melancarkan Serangan Militer I (21 Juli 1947 - 5 Agustus 1947), pasukan Yani sukses menahan mobilitas pasukan Belanda di daerah Pingit. Kemudian, ketika Belanda mengadakan Serangan Militer II nan dimulai pada 19 Desember 1948, Ahmad Yani memimpin gerilya dengan menjadi Komandan Wehrkreise II nan beroperasi di daerah Kedu.



Karier Militer Pasca-Pengakuan Kedaulatan

Pada 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Letnan Jenderal Ahmad Yani kemudian bertugas di Tegal, Jawa Tengah. Pada 1952, Yani ditugasi menumpas pemberontakan Darul Islam. Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, Yani membentuk pasukan spesifik bernama Banteng Raiders.

Pada Desember 1955, Letnan Jenderal Yani berangkat ke Amerika Perkumpulan buat belajar di Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Texas. Tahun berikutnya, Yani kembali mengikuti pendidikan di Inggris, tepatnya di Special Warfare Course.

Pada 1958, sejumlah orang nan menuntut swatantra daerah nan lebih luas mendeklarasikan gerakan bernama Pemerintah Revolusioner Kemerdekaan Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatra Barat. Pemerintah pusat menganggap gerakan tersebut sebagai pemberontakan. Ahmad Yani, nan saat itu berpangkat kolonel, ditunjuk jadi hulubalang Komando Operasi 17 Agustus nan bertugas menumpas PRRI.

Sejak sukses menumpas PRRI, karier militer Ahmad Yani makin cemerlang. Pada 1963, dalam usia nan nisbi masih muda, Letnan Jenderal Ahmad Yani diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Abdul Haris Nasution.



Letnan Jenderal Ahmad Yani Menjadi Pahlawan Revolusi

Sejak awal 1960-an Presiden Sukarno makin dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sukarno berusaha memberlakukan doktrin Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Para petinggi PKI bahkan mengusulkan pembentukan Angkatan Kelima dengan mempersenjatai buruh dan tani. Ahmad Yani maupun Nasution menentang usulan PKI tersebut.

Pada 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September berusaha menculik tujuh orang jenderal Angkatan Darat. Sekitar 200 orang bersenjata mengepung rumah Yani di Jalan Latuharhary 6, Jakarta.

Kepada para penculik nan mengatakan akan membawanya menghadap Presiden Sukarno, Ahmad Yani meminta mereka menunggu sebab ia akan mandi dan berganti baju terlebih dahulu. Para penculik bersikeras buat membawa Yani saat itu juga. Yani menjadi marah dan menampar salah seorang tentara penculik tersebut, dan berusaha menutup pintu.

Akan tetapi, Yani kemudian ditembak hingga terbunuh. Jenazahnya kemudian dibawa ke Lubang Buaya, disatukan dengan korban Gerakan 30 September nan lain. Jenazah mereka ditemukan pada 4 Oktober 1965, dan dimakamkan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Pada hari nan sama Ahmad Yani dan enam korban kekejaman Gerakan 30 September nan lain dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi berdasarkan Keputusan Presiden No. 111/KOTI/1965. Pangkat almarhum juga dinaikkan sehingga beliau saat ini dikenal sebagai Jenderal Anumerta Ahmad Yani.



Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Jati Diri Bangsa

Letnan Jenderal Ahmad Yani ialah prajurit nan selalu menimbulkan kontradiksi pada tubuh Partai Komunis Indonesia. Saat dirinya menjabat menjadi Panglima Angkatan Darat dirinya selalu menolak apa saja perintah dari PKI termasuk perintah buat membuat atau membentuk Angkatan darat kelima nan anggotanya terdiri dari para buruh dan tani.

Maka dari itu saat terjadi Gerakan 30 September atau G30S PKI menjadikan Letnan Jenderal Ahmad Yangi sebagai sasaran penculikan dan pembunuhan dengan tujuh perwira TNI lainnya nan tetap bersikukuh buat mengendalikan jati diri bangsa.Lubang buaya, itulah loka dimana para petinggi TNI ini dikubur setelah sebelumnya dibunuh oleh kelompok PKI.

Ahmad Yani sangat dekat dengan Presiden Soekarno, sebab kesetiaan dia kepada sang presiden Jenderal Ahmad Yani pernah berkata jika ada nan berani menginjak bayang-bayang Soekarno harus melangkahi terlebih dulu tubuhnya. Bahkan katanya Ahmad Yani telah dipersiapkan buat menjadi calon pengganti dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Prestasi telah dicapai oleh Ahmad Yani saat terjadi serangan militer Belanda I. Pasukannya nan sedang beroperasi di daerah Belanda Pingit sukses menahan agresi dari Belanda. Dan ketika Serangan Militer Belanda II dia diminta menjadi Komandan Wehrkreise II nan meliputi wilayah pertahanan Kedu. Lalau setelah Indonesia diberi pengakuan atas kedaulatannya, Ahmad Yani diberi y-tugas buat menghancurkan Tentara Islam Indonesia. dan akhirnya Tentara Islam Indonesia itu sukses ditumpas habis olehnya.

Di tahun 1958 Ahmad Yani mempunyai pangkat baru yaitu sebagai Komandan Komando Operasi. Kemudian prestasi lain dia telah meredam pemberontakan dan kembali diangkat menjadi Men / Pangad buat menggantikan Jenderal AH Nasution.

Pada tabggal 1 Oktober tahun 1965 saat subuh sang Jenderal diculik dan dibunuh dengan cara ditembak di depan kamar tidurnya. Lalau setelah dia tewas Ahmad Yani langsung dibawa ke Lubang Buaya ke dalam sebuah sumur tua dengan enam anggota TNI lainnya. tubuhnya nan sudah tak bernyawa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Saat itulah dirinya menyandang gelar sebagai pahlawan revolusi dan pangkatnya dinaikkan satu pangkat lagi.

Demi buat mempertahankan sebuah kesucian atas filsafat negara, Pancasila dai dibunuh secara sadis oleh PKI. Untuk menghargai perjuangan para pahlawan revolusi tepat disebelah mayat-mayat itu ditemukan dibangunlah sebuah Monumen dengan patung para perwira tinggi tersebut. Letnan Jenderal Ahmad Yani dari anumerta Angkatan Darat, Letnan Jenderal anumerta Angkatan Darat Jenderal .S. Parman

Tentara anumerta Mayor Jenderal M.T. Haryono, Mayor Jenderal D.I. Panjaitan.Sutoyo Sdan Perwira Pertama Kapten Angkatan Darat CZI Pierre Tendean.

Sayangnya dengan gugurnya pahlawan-pahlawan revolusi dan kemerdekaan seperti halnya Letnan Jenderal Ahmad Yani sepertinya ideologi bangsa mulai menjadi sesuatu nan tak krusial lagi. Pancasila hanya menjadi pajangan dan hanya sekedar wacana saja tanpa adanya realita dalam menyikapi dan menjalaninya.

Apakah mungkin masih ada orang nan mau dan rela buat wafat demi mempertahankan Negara Republik Indonesia. Berambisi buat memajukan Indonesia walau mungkin kenyataannya tak akan berhasil.